Friday, December 11, 2009

Pastor Jhon Jonga menerima Yap Thiam Hien Award 2009

Pastor Jhon Jonga menerima Yap Thiam Hien Award 2009



Penerima Yap Thiam Hien Award 2009 itu adalah Pastor Johanes Jonga yang biasa disapa Pastor Jhon. Dia adalah rohaniwan Gereja Katolik yang saat ini bertugas di Kabupaten Keerom, Papua. Dewan juri memilihnya karena komitmen dan rekam jejak yang panjang dalam perjuangan hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya di Papua. Bukan sekadar penghargaan, baginya ini adalah peringatan bahwa pelanggaran hak azazi manusia masih terjadi di bumi cendrawasih sampai sekarang.

Saat menerima penghargaan, Kamis (10/12) malam, Pastor Jhon banyak berbicara tentang persoalan HAM yang belum selesai di tanah Papua. Akses masyarakat untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan masih sangat sulit. Hak-hak kelompok perempuan dan anak diabaikan. “Pembangunan fasilitas sarana publik seperti jalan, ruang sekolah, sarana kesehatan, pasar rakyat, jembatan tidak terselenggara sesuai kebutuhan” kata pria asal Flores, Nusa Tenggara Timur ini.
Pastor Jhon Jonga juga mengkritik pelaksanaan kebijakan otonomi khusus. Alih-alih dilaksanakan dengan kesunguhan, menurutnya, otsus hanya jadi ajang bagi-bagi kekuasaan politik elit lokal. Distribusi kewenangan dan pertanggungjawaban keuangan yang tidak jelas, melahirkan meluasnya praktek korupsi. Semangat pemekaran pun terus berjalan, tetapi lebih pada kepentingan pembagian kekuasaan.

Represif Aparat

Dalam kata sambutannya dia juga menyoroti praktek kekerasan demi kekerasan aparat terhadap warga asli Papua. Sampai saat ini masih terjadi dan belum diselesaikan. Seringkali kekerasan dilakukan dengan mengatasnamakan pemberantasan separatisme. Masyarakat ketakutan, karena siapa saja bisa ditangkap digeledah atau fotonya dipasang di ruang intelejen sebagai target operasi. Perlakuan serupa itu, diakui Pastor Jhon, pernah dialaminya. Teror aparat terhadap warga asli papua mengatasnamakan penjagaan terhadap NKRI. “Apakah hal tersebut, bukan menjadi selubung untuk menutupi praktek-praktek bisnis ilegal di tanah papua yang kaya raya?”
Bagi Pastor John, perespektif pendekatan pusat terhadap Papua harus diubah. Sudah cukup, warga papua dianggap musuh. Jangan lagi setiap orang dicurigai sebagai separatis. Langkah awal penyelesaian konflik di tanah papua adalah dengan menghargai eksistensi orang asil Papua sama sederajat dan bermartabat dengan rakyat Indonesia lain. “Praktek-praktek penyiksaan dan diskriminasi harus dihentikan dan segera membuka dialog,” tuturnya.


Melampaui Tugas Pastoral


Pastor Jhon Jonga saat ini sebagai seorang Katekese Kabupaten Keerom, Merauke, suatu wilayah yang merupakan perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini. Dia datang ke Papua pada 1986 dan ditugaskan di paroki St Stefanus, Lembah Baliem, Wamena. di Papua. Setelah itu dia melanjutkan pelayanannya, di Kokonao, Kabupaten Mimika, Timika (1994-1999), kemudian pindah ke distrik Waris, Keerom (2001-2007) dan akhirnya saat ini di distrik Arso, Keerom sejak Januari 2008.
Dalam sambutan Pidato ketua dewan Juri Yap Thiam Hien Award melukiskan sebagai Pastor yang bekerja melampaui tugas-tugas pastoralnya. Sangat aktif dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat. Hampir semua persolan yang dihadapi masyarakat dibelanya. “Ada sedikit pun perlakuan tidak adil, atau tindak kekerasan, dia pasti memprotes,”. Sampai-sampai di disebut sebagai pastor OPM, pihak gereja pun terkesima keaktifan Pastor Jhon. Kaum perempuan dan anak-anak banyak dibela dan diperhatikannya. Bahkan, Pastor Jhon menghafal nama anak-anak kecil di lingkungan pelayanannya, permasalahan, potensi dan bakat mereka. Tidak heran, karena perhatiannya tersebut, Pastor Jhon dicintai umatnya yang merupakan masyarakat Papua.
Pernah suatu saat pada 1999, Pastor Jonga ditahan dan diinterogerasi di Kantor Polisi Mimika. “Karena mendengar itu, ibu-ibu suku Amungme dan Komoru turun ke jalan dan mengepung kantor polisi. Penghargaan Yap Thiam Hien Award, tidak hanya sebuah puja-puji bagi Pastor Jhon, tetapi lebih dari itu harus menjadi peringatan tentang Papua. Masih banyak pekerjaan rumah soal HAM yang belum dikerjakan.
Selain itu diberikan penghargaan yang sama kepada Almahrum Fauzi Abdullah yang merupakan pejuang bersahaja. Beliau adalah seorang yang membela hak-hak kaum buruh.



Penghargaan Lifetime Achievement Yap Thiam Hien Award 2009 yang pertama kali diberikan kepada Fauzi Abdullah, aktivis yang konsisten dalam pendampingan gerakan penyadaran hak-hak buruh, yang baru meninggal dunia di Bogor, Sabtu (28/11). Ozi, demikian rekan-rekannya memanggil.
Ozi lahir di Bogor, 15 November 1949. Ia menikah dengan Dwi Purwanti tahun 2000 dan menghasilkan satu orang anak yang baru sekolah kelas tiga SD dari pernikahannya. Hingga meninggal, lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia itu masih bergiat di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) sebagai Ketua Dewan Federasi. Ozi yang selalu tampil bersahaja juga kerap mendiskusikan sajak-sajak dan buku sastra bersama rekan-rekannya.
Koordinator Kontras Usman Hamid mengungkapkan rasa kehilangannya. Menurut dia, Ozi berperan besar dalam membangun sistem organisasi yang lebih demokratis di Kontras. ”Bang Ozi yang pernah memfasilitasi perubahan Kontras dari yayasan menjadi federasi, sekitar tahun 2002 hingga 2004. Termasuk berperan besar dalam pembenahan internal dan eksternal Kontras,” kata Usman.
Meski perannya sedemikian besar, dia lebih banyak di balik layar. Bagi Usman, almarhum setia dengan hal-hal yang dilakukan, di antaranya mendorong transformasi sosial. ”Juga mendampingi kaum buruh di masa Orde Baru,” tutur Usman.
Dalam sebuah rekaman acara penyerahan penghargaan bagi Fauzi Abdullah Todung Mulya Lubis selaku ketua Dewan Juri Penghargaan Yap Thiam Hien menuturkan “Fauzi Abdullah adalah bukan orang yang terkenal dan sering muncul di media masa dan banyak orang yang tidak mengenalnya, tetapi kegigihannya dan konsisten membela hak-hak sipil kaum buruh membuat dewan juri mengambil keputusan bahwa Fauzi Abdullah pantas menerima penghargaan ini”.

Penyadaran masyarakat

Nursyahbani Katjasungkana mengenang mulai bekerja sama dengan Ozi tahun 1980, saat pertama kalinya masuk LBH. Ketika itu, Ozi yang sudah lebih dulu di LBH memegang bagian nonlitigasi. ”Fauzi Abdullah adalah guru bagi saya dalam mengenalkan pentingnya peningkatan kesadaran hukum masyarakat,” kata Nursyahbani.
Ozi, kata Nursyahbani, bukan hanya sebagai pemikir dan perumus yang membicarakan konsep bantuan hukum dan penyadaran masyarakat, namun juga mampu mengimplementasikannya. ”Saya beruntung memperoleh banyak hal dari dia. Konsep bantuan hukum itu saya terapkan di LBH-APIK,” ujar Nursyahbani, yang kini menjadi Dewan Pembina Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK).
Penghargaan diberikan langsung oleh Ketua Dewan juri Bapak Todung Mulya Lubis dan didampingi Bapak Ifdhal Kasim Ketua Komisioner Komnas HAM, serta diterima oleh pihak keluarga Istri Almahrum Fauzi Abdullah Dwi Purwanti beserta putra tunggalnya. 
Untuk memenuhi undangan penghargaan ini ke KWI, dua perwakilan PKR-KWI Billy Joseph Bibianus dan Corry Korita Neryceka hadir dalam malam penganugerahan Yap Thiam Hien 2009 yang dilangsungkan di Hotel Borobudur Jakarta. (Billy PKR-KWI).