Thursday, July 17, 2014

Menjenguk Pak Suroto: Korban Tabrak Lari di Saudi

Wajah Pak Suroto mengguratkan senyuman ketika Sahabat Insan menjenguknya pada Jumat 11 Juli yang lalu. Di bangsal paling pojok ruang mahoni, Pak Suroto terbaring tak berdaya. Sudah 40 hari dia dirawat di salah satu rumah sakit milik Pemerintah tersebut. Meskipun dokter mengatakan bahwa ia sudah diperkenankan pulang, dengan keras hati Pak Suroto menolak. 


Pak Suroto sebelumnya adalah buruh migran yang bekerja di Arab Saudi. Di sana, ia bekerja sebagai supir. Sudah 6 tahun Pak Suroto mengais rezeki. Malang, suatu hari ketika hendak menyeberang, ada mobil yang dengan sengaja menabraknya. Padahal, posisi Pak Suroto waktu itu masih berdiri di pinggir jalan dan belum menyeberang jalan.

Majikan Pak Suroto ini tergolong baik karena dia mau bertanggung jawab dan membawanya ke rumah sakit di Jeddah. Di rumah sakit, dia sempat koma selama satu minggu. Kemudian Pak Suroto harus menjalani perawatan termasuk operasi selama satu setengah bulan. Pihak rumah sakit membebankan biaya yang luar biasa besar yakni 332.000 real, jika di rupiahkan, sekitar 1 miliar lebih. Sementara majikannya hanya mampu membayar uang muka rumah sakit yakni sebesar 25.000 real. Karena majikan tak dapat membiayai penuh pengobatan, Pak Suroto pun keluar dari rumah sakit. Padahal besi berupa pen, penahan tulang, belum dilepas. Pen tersebut sempat mengalami penundaan dilepas sampai 4 bulan dari jadwal yang seharusnya karena kendala biaya.

Pada saat pemulangan Pak Suroto dibantu oleh Mas Ali dan Mas Eko dari Buruh Migran Indonesia Saudi Arabia (BMISA) perwakilan Jakarta. Keduanya merupakan mantan TKI yang pernah bekerja di Saudi. Karena dibantu teman-teman BMISA juga rekan-rekan media, BNP2TKI berjanji menanggung pengobatan Pak Suroto sampai sembuh. Maka pengobatan pun dilanjutkan di Jakarta, di salah satu rumah sakit milik pemerintah.

Di rumah sakit, dokter mengatakan Pak Suroto baru boleh menapakkan kaki setelah 6 bulan. Kendati sudah boleh pulang, dia bersikeras ingin diterapi agar bisa berjalan kembali. Namun, selama di rumah sakit, terapi hanya dilakukan 2 kali seminggu. Itu pun hanya sebentar karena banyak pasien lainnya juga. Kami melihat Pak Suroto sudah frustrasi karena merasa tidak ada kemajuan pada kakinya. Dia secara tidak langsung memohon bantuan pengobatan terapi untuk kakinya, sehingga dapat kembali berjalan seperti sedia kala.

Sahabat Insan juga sempat berjumpa dengan istri Pak Suroto. Selama di rumah sakit, istrinyalah yang menjaga Pak Suroto setiap waktu. Padahal, tidak ada tempat yang memadai untuk istirahat. Pak Suroto juga sempat bercerita bahwa istrinya tengah sakit karena kelelahan.

Walaupun BNP2TKI menanggung biaya rumah sakit, tetapi untuk biaya akomodasi bagi istrinya, atau pekerjaan selanjutnya bagi Pak Suroto tidaklah ditanggung. Sementara mereka memiliki anak yang masih usia sekolah. Mas Ali dan Mas Eko menyampaikan kepada kami, barangkali Sahabat Insan dapat membantu Pak Suroto dan keluarga untuk memberikan keterampilan atau mencarikan pekerjaan ketika dia sudah keluar dari rumah sakit. 

Ketika Sahabat Insan menanyakan keadaan Pak Suroto, ternyata pada tanggal 15 Juli lalu, ia sudah pulang ke kampung halaman istrinya di Rengasdengklok. Mas Ali dan Mas Eko mengatakan bahwa mereka kini tengah memikirkan cara untuk membantu Pak Suroto sembari mengumpulkan donasi. Dengan terbuka, Sahabat Insan pun berusaha menjawab harapan mereka.


Bacaan Terkait:






Wednesday, July 9, 2014

Ingatan yang Hilang

Entahlah. Apakah kehilangan ingatan atau menderita amnesia merupakan suatu berkah atau justru malapetaka. Apabila masa lalu kita penuh dengan penderitaan atau berbagai kejadian kelam, bukankah amnesia menjadi suatu berkah? Namun, apabila kita juga tidak ingat pada orang-orang yang kita sayangi, sehingga tidak dapat lagi berjumpa dengan mereka, bukankah itu hal yang sangat menyedihkan?

Ketika Sahabat Insan berkunjung ke Shelter Sahabat Insan, Jumat, 4 Juli 2014 yang lalu, selain Riki dan ibunya, kami juga berjumpa dengan Sri dan Yanti. Kami kenal baik dengan Yanti karena sebelumnya Sahabat Insan pernah menjenguknya beberapa kali di rumah sakit.



Selama kurang lebih setengah tahun, Yanti mendekam di salah satu ruang dalam rumah sakit milik Pemerintah karena dianggap mengalami gangguan kejiwaan. Yanti, mantan buruh migran tersebut, tidak ingat sama sekali tempat tinggalnya, keluarganya, di mana ia bekerja dan lain sebagainya. Dia tidak ingat sama sekali masa lalunya.

Sahabat Insan berusaha menampungnya di shelter karena pihak rumah sakit kebingungan mencari tempat penampungan untuknya. Perawat di sana mengatakan bahwa panti-panti yang mereka carikan tidak ada yang mau menampung Yanti.

Sebelum kami membawa Yanti ke shelter, pihak rumah sakit mengatakan Yanti telah mencuri uang sejumlah 400 riyal. Bagaimana mungkin seseorang yang menderita amnesia dapat mencuri uang berjumlah 400 riyal? Padahal semua barang-barang milik pasien dititipkan kepada perawat di sana. Laporan yang diadukan perawat tersebut terdengar mustahil di telinga kami.

Sementara Yanti, merasa bahwa uangnya sejumlah 400 riyal itu adalah miliknya yang tertinggal di rumah sakit. Pada hari Minggu, 22 Juni 2014, saat Yanti meninggalkan rumah sakit, kepala perawat yang ia titipi uang tersebut tidak masuk. Dengan alasan tersebut, maka Yanti tidak dapat memperoleh uangnya itu.

Ketika Yanti bertemu dengan kami di shelter, wajahnya tersungging senyum. "Kok bisa ke sini Mbak? Kan yang biasa datang ke rumah sakit," celetuknya riang. Dia masih ingat kami satu per satu. Yanti memang tak punya banyak cerita seperti Sri. Tetapi, dia mengungkapkan kepada kami bahwa dia lebih senang berada di Shelter Sahabat Insan karena lebih bebas, daripada di rumah sakit yang hanya mengurungnya.

Sri dan Yanti keduanya saling menghibur satu sama lain. Mereka membersihkan shelter, menonton televisi, sesekali membantu memasak, atau menghibur diri dengan berfoto melalui ponsel yang dimiliki Sri. Kondisi Sri memang jauh lebih baik, ketimbang Yanti.

Sri, anak tunggal asal Bima tersebut masih ingat perjalanan panjang sampai akhirnya dapat kembali ke tanah air. Sri sebelumnya bekerja selama 1 tahun 3 bulan di Oman. Dia melarikan diri dari rumah majikannya ke KBRI dibantu temannya. Seperti kebanyakan buruh migran lainnya, dia tidak betah di rumah majikan karena majikan perempuannya sangat galak, sedangkan majikannya yang laki-laki seringkali mengganggunya. Akan tetapi, haknya berupa gaji tetap dibayar oleh majikan.

Itu adalah kali kedua Sri bekerja. Sebelumnya, dia bekerja di Qatar selama 3 tahun. Waktu itu, Sri meninggalkan anak perempuan satu-satunya di usianya yang baru 3 tahun. Kini, anaknya dirawat oleh ayahnya. Usai bekerja di Qatar 3 tahun, Sri sempat pulang ke kampung halaman. Sri bercerita bahwa tak lama sesampainya di rumah, dia dicerai oleh suaminya. Setelah urusan perceraian selesai, tak sampai 2 minggu berada di kampung halaman, Sri bermigrasi kembali untuk bekerja di Oman.

Cerita macam ini bukan pertama kali Sahabat Insan dengar. Banyak suami yang menceraikan para pekerja migran ketika mereka pulang. Bahkan ada dari suami mereka yang ternyata sudah menikah lagi. Salah satu alasan yang kerap dilontarkan karena mereka tidak mendapat kabar dari istrinya. 

Sebelum sampai ke Shelter Sahabat Insan, Sri sempat dirawat di rumah sakit yang sama seperti Yanti. Sri mengaku sakit batuk pilek. Namun, jika hanya batuk pilek, tak mungkin dia dirawat sampai 3 minggu. Menurut Mbak lili, Peduli Buruh Migran, Sri dirawat karena sakit paru-paru.

Saat Sri bercerita, ada beberapa kisah yang dia katakan terasa janggal. Beberapa kisah masih suka berubah-ubah. Kami dapat memaklumi mengingat tekanan dan beratnya pekerjaan yang dulu dia alami, bekerja tanpa hari libur, perlakuan semena-mena majikan, jauh dari sanak keluarga dan kerabat. Setidaknya sekarang, kesehatannya sudah membaik. Melalui ceritanya yang begitu bersemangat, lucu, dan tawanya, kami tahu bahwa perlahan-lahan Sri berusaha untuk memulihkan dirinya sendiri.

Di akhir perjumpaan kami, Sri mengatakan bahwa dia tak ingin lagi bekerja ke luar negeri, “Capek Mbak,” keluh Sri. Dia berharap di kampungnya dia bisa mencari nafkah. Walaupun masih belum tahu pekerjaan apa yang dilakoninya nanti.

Monday, July 7, 2014

Fun With Refugee



Siang itu, mereka terlihat begitu gembira. Wajah-wajah berseri penuh tawa terlukis. Para muda-mudi dengan penuh semangat berusaha keras membangun rumah dari sedotan berwarna kuning dengan bekal selotip. 

Beberapa perempuan paruh baya yang ditandai dengan kerutan-kerutan di wajah, duduk di teras rumah menonton mereka. Kompleks itu memang telah disewa khusus bagi para pengungsi. Pemiliknya adalah seorang bapak baik hati, penduduk asli di wilayah itu.

Rumah yang mereka bangun dari sedotan plastik dengan penuh perjuangan itu adalah mimpi mereka. Mereka bermimpi untuk menemukan tanah, memiliki tempat tinggal, dan memperoleh hidup yang aman, nyaman, dan layak. Mereka memiliki mimpi tentang kehidupan yang lebih beradab, lebih manusiawi, dan bahagia.

Jumat, 20 Juni 2014, merupakan hari yang istimewa sebab kita memperingati World Refugee Day. Bersama dengan kawan-kawan JRS (Jesuit Refugee Service), Sahabat Insan berjumpa dengan para pencari suaka dan pengungsi untuk merayakan World Refugee Day.

Mari kita coba bayangkan. Bagaimanakah rasanya apabila kita hidup dalam situasi mencekam, penuh ketakutan, kemudian terlunta-lunta karena tidak memiliki tempat tinggal, dan jauh dari rasa aman dan nyaman, serta tidak memiliki status kewarganegaraan? Bagaimanakah rasanya bila kita terpisah dari keluarga, saudara, kerabat yang kita cintai dan berada di tempat asing yang berbeda bahasa dan adat istiadatnya?

Itulah yang dialami saudara-saudari kita para pengungsi. Hari itu, kami disambut ramah oleh seorang Bapak asal Sudan. Berulang kali dia mengucap,”Alhamdulillah”. Kami pun merasakan ucapan syukurnya kepada Sang Pencipta atas kehidupan yang boleh dia kecap kini. Kendati bahasa Inggris-nya terbatas, kami tetap dapat memahaminya.

Bapak asal Sudan itu sebatang kara. Dia meninggalkan tempat asalnya karena di tanah kelahirannya terjadi konflik yang tak kunjung usai antara para pendatang dan penduduk asli. Para pendatang merasa penduduk asli lebih rendah dari mereka. Konflik pun tak terhindarkan, sehingga ia terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya untuk mencari suaka, tempat tinggal yang lebih aman di negara ketiga. Proses tersebut membutuhkan waktu yang panjang. Sudah 2 tahun ia tinggal di Indonesia.

Selain lomba membangun rumah dari sedotan untuk muda-mudi, JRS juga mengadakan lomba-lomba lain seperti mewarnai untuk anak-anak, futsal, rebut bangku, dan membagikan kenang-kenangan untuk mereka. Semua yang datang terlihat begitu gembira. Kebanyakan pengungsi berasal dari Afganistan. Ada juga yang berasal dari Pakistan, Sri Lanka, dan Sudan. Negara-negara tersebut merupakan tempat yang rawan konflik atau tengah dilanda perang, sehingga banyak orang terpaksa meninggalkannya untuk mencari suaka di negeri lain.

Anak-anak sedang lomba mewarnai


JRS dan Perjalanan Panjang menjadi Refugee

Sebelum sampai ke Indonesia, para pengungsi itu telah pergi dari tanah kelahirannya beribu-ribu mil jauhnya. Setelah menjual segala harta milik, mereka menjumpai agen yang dapat membantu mereka sampai ke negara ketiga. Banyak dari mereka ditipu dengan iming-iming bahwa mereka akan secara mudah mendapatkan status Pengungsi dari UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) di Indonesia.

Karena belum menandatangani Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol 1967 tentang status refugee, Indonesia tidak dapat memberikan perlindungan internasional kepada refugee. Sebagai dampaknya, apabila tertangkap karena melanggar aturan imigrasi Indonesia, mereka akan dimasukkan ke dalam Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim). Rudenim berada di bawah Direktorat Jenderal Imigrasi. Tempat itu tak ubahnya seperti penjara yang mengurung para pencari suaka dan pengungsi, termasuk perempuan dan anak-anak. Di sana mereka kehilangan kebebasan dan terancam hak asasinya.

Mereka yang beruntung yang kami jumpai adalah pencari suaka dan pengungsi yang tengah ditemani oleh JRS. Sejak 2012, JRS Indonesia menemani para pencari suaka dan refugee di Yogyakarta, Pasuruan, Medan, dan Jawa Barat. Di Yogyakarta misalnya, JRS mendampingi para pengungsi selama mereka menunggu proses penempatan ke negara ketiga (resettlement) melalui pelatihan bahasa Inggris, komputer, dan berbagai kegiatan rekreasi dan budaya.

JRS berperan membantu para pengungsi selama menjalankan proses Refugee Status Determination (RSD) atau Penentuan Status Pengungsi dari UNHCR. Untuk menjalani proses tersebut, mereka membutuhkan waktu berbulan-bulan, bahkan dapat lebih dari 1 tahun. Status itu mereka butuhkan supaya mereka mendapatkan perlindungan internasional dari UNHCR Indonesia dan dapat ditempatkan di negara ketiga yang mau menerima mereka. Apabila sudah mendapatkan status tersebut, mereka bisa mendapatkan bantuan biaya hidup dari UNHCR atau IOM (International Organization for Migration). Selama mereka belum mendapatkan status tersebut, banyak dari mereka yang bertahan hidup dengan bersandar pada bantuan pengungsi lain yang masih punya cukup bekal atau  telantar di jalan-jalan tanpa makan-minum dan rumah.

JRS menggunakan definisi “pengungsi de facto” yang mencakup semua pengungsi lintas batas negara yang terpaksa meninggalkan negaranya karena ketakutan yang mendasar akan penganiayaan karena alasan ras, kebangsaan, agama, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik tertentu” dan “menjadi korban konflik bersenjata, kebijakan ekonomi yang keliru, atau korban bencana alam.” Termasuk juga dalam definisi ini adalah mereka yang disebut pengungsi internal (Internally Displaced Persons), yakni warganegara yang “terpaksa meninggalkan kampung halamannya karena alasan kekerasan yang sama yang dihadapi oleh pengungsi pada umumnya, tetapi mereka tidak melintasi batas-batas negara”.

Menurut data UNHCR Indonesia, pada akhir Januari 2014, terdapat 10.466 pencari suaka dan refugee yang ada di Indonesiaa. Sekitar 1.878 orang ditahan di 14 rumah detensi imigrasi yang tersebar dari Medan sampai Jayapura. Kurang lebih 4.000 orang di antaranya berada di Jawa Barat dan 1.500 di Jakarta. JRS pada tahun 2013 telah menemani, melayani, dan membela hak 800 pencari suaka dan refugee yang ada di Indonesia.

“Di Indonesia saja masih banyak orang susah, tetapi malah membantu orang di negara lain,” cerita salah satu kawan dari JRS kepada kami perihal anggapan masyarakat terhadap pekerjaan mereka. Kata-kata itu tak akan telontar seandainya banyak orang mau tahu dan belajar berempati. Kendati demikian, masih banyak masyarakat Indonesia yang menunjukkan keramahtamahan kepada para pengungsi dan pencari suaka. Solidaritas yang dibangun telah melampaui batas negara, suku, agama, ras, dan pandangan hidup. Semua berdasarkan rasa kemanusiaan yang ada dalam hati. Tindakan ini tentu memberikan harapan kepada para pengungsi.

Maka, memperingati Hari Pengungsi Sedunia, 20 Juni 2014 yang lalu, Sahabat Insan turut mendukung dan berdoa untuk para pengungsi tersebut. Paus Fransiskus mendorong supaya terjadi perubahan sikap dari setiap pribadi terhadap kaum migran dan pengungsi. Perubahan dari sikap defensif dan takut, dari ketidakpedulian dan marjinalisasi, yang merupakan segala tipikal budaya membuang atau menyingkirkan, menjadi sikap yang didasari oleh budaya perjumpaan, sebagai satu-satunya budaya yang mampu membangun dunia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih bersahabat.

Gambar anak-anak di dinding, banyak dari mereka yang menggambar rumah.


Untuk bacaan lebih lanjut:              

Wednesday, July 2, 2014

Riki, Anak Mantan Buruh Migran Penderita Hidrosefalus

Dengan kepala yang lebih besar dari ukuran anak normal lainnya, Riki terbaring di tempat tidur Shelter Sahabat Insan. Kendati demikian, keceriaan anak laki-laki dengan berat 9 kg itu tetap terlihat saat kami menyapanya, Jumat, 27 Juni 2014, yang lalu. Riki menggerak-gerakkan tangan dan kakinya seolah ingin mengajak kami bermain bersama. 


Di usianya yang telah 1 tahun, harusnya dia sudah bisa berjalan atau paling tidak merangkak seperti bayi normal lainnya. Namun, kondisi kepala yang membesar tak memungkinkan Riki merangkak atau berjalan. Jangankan untuk merangkak, ketika digendong saja Riki kesulitan untuk mengangkat kepalanya sendiri. Sebab ada cairan di kepalanya yang kalau dibiarkan dalam waktu lebih lama lagi akan berdampak lebih buruk daripada keadaannya yang sekarang.

Kedua orangtua Riki adalah buruh migran yang telah bekerja di Malaysia. Selama 4 tahun bekerja, mereka memiliki dua orang anak. Riki, yang tengah menderita hidrosefalus adalah anak yang bungsu, sedangkan kakaknya masih berusia 3 tahun. Dua bulan lalu, karena orangtuanya kesulitan untuk mengobati Riki di Malaysia, bersama dengan kakaknya, mereka pulang ke Indonesia. Riki dan kakaknya tidak pulang bersama-sama dengan ibu atau ayahnya. Mereka pulang  didampingi oleh staf dari KBRI.

Kami sama sekali tidak dapat membayangkan anak usia 3 tahun dan 1 tahun itu pulang tanpa ditemani orangtua mereka. Anak-anak itu, terpisah cukup lama dari orangtua mereka. Ibunya tak dapat pulang bersama mereka karena harus mengurus dokumen-dokumen yang masih kurang kelengkapannya. Kemudian, ketika sampai di tanah air, kakak Riki dibawa pulang ke rumah kakek neneknya di Bekasi. Sementar Riki ditampung sesaat di Rumah Perlindungan Sementara Anak (RPSA). Selama di RPSA, Riki pernah dibawa ke Tumah Sakit Pasar Rebo untuk diperiksa. Namun, setelah itu, tidak ada tindakan berarti yang mereka lakukan. Ibu Riki menduga alasannya karena biaya. RPSA akhirnya merujuk Riki ke Peduli Buruh Migran.

Ibu Riki baru kembali ke Indonesia sekitar 2 minggu yang lalu. Kini, Riki dan ibunya berada di Shelter Sahabat Insan menanti pertolongan. Sahabat Insan bersyukur karena memperoleh bantuan kereta bayi bekas untuk Riki. Sebab ibu Riki sangat kesulitan menggendong Riki, sehingga ia hanya bisa berada di atas ranjang, jarang sekali pergi keluar rumah. 

Pada tanggal 23 Juni yang lalu, Riki juga telah dibawa ke Rumah Sakit Carolus. Menurut dokter, fungsi-fungsi alat tubuh Riki dalam keadaan baik. Dokter yang memeriksa saat di Rumah Sakit Pasar Rebo pun mengatakan bahwa jika Riki cepat ditolong, kemungkinan sembuh akan lebih besar. Namun, biaya yang dibutuhkan untuk mengobati Riki tidaklah sedikit. Sahabat Insan kini sedang berusaha mengumpulkan bantuan untuk bayi mungil tersebut.

Ketika Sahabat Insan menanyakan pada ibu Riki perihal ayahnya, kami semakin iba pada kondisi keluarga mereka. Sebab, sampai dengan saat ini, ayah Riki masih mendekam di penjara, di Malaysia. Entah apakah karena tertangkap polisi saat razia atau karena hal-hal lain. Meskipun banyak persoalan yang menimpa mereka, ibuRiki tetap memiliki harapan yang besar untuk kesembuhan anak bungsunya tersebut.