Sunday, March 19, 2017

Diskusi Buku "LEFT BEHIND CHILDREN" Bersama Para Pemerhati Perempuan


Sebagai persiapan pertemuan JCAP yang akan diadakan di Jepang pada akhir Maret 2017 nanti, Sahabat Insan mengadakan pertemuan untuk membahas lebih dalam buku "Left Behind Children". Diskusi ini dimaksudkan untuk mendapatkan tanggapan dan masukan atas buku tersebut, terutama dari kelompok yang sebagian besar selama ini berjuang untuk hak-hak perempuan Indonesia. Pertemuan ini diadakan di rumah Ibu Saparinah Sadli pada tanggal 7 Februari 2017.


Mengawali acara tersebut, Romo Ignatius Ismartono, SJ memperkenalkan Sahabat Insan kepada para undangan sebagai sebuah lembaga non-profit yang memberikan perhatiannya kepada buruh migran.


Romo Benny Juliawan, SJ sebagai editor buku "LEFT BEHIND CHILDREN" kemudian memberikan ringkasan singkat mengenai isi dan tujuan buku tersebut dibuat. 


Sebagai bahan diskusi, Romo Benny kemudian menulis poin-poin yang dapat dikembangkan untuk ditanggapi sebagai berikut:

1.   Mengapa buku ini ditulis
·         Serikat Yesus di Asia Pasifik melihat fenomena migrasi sebagai salah satu penanda zaman ini. Kemajuan teknologi komunikasi, transportasi dan informasi memungkinkan mobilitas manusia melintasi batas geografis dan negara secara mudah. Tapi migrasi juga mengandung banyak resiko terutama bagi kalangan yang lemah, termasuk pengungsi, pencari suaka dan buruh migran.
·         Ada 7 lembaga di kalangan Serikat Yesus yang bekerja untuk kelompok rentan ini: Tokyo Migrants Desk, Yiutsari, Rerum Novarum Center, UGAT Foundation, Sahabat Insan, JRS dan JSS Australia.
·         Buku ini merupakan hasil kerjasama lembaga-lembaga tersebut untuk mengenali lebih dekat persoalan terkait keluarga buruh migran. Metodenya adalah etnografis, n-kecil, memotret kasus-kasus secara mendetil untuk memberi daging pada konsep “transnational families”.

2.   Keluarga migran
·         Asia ini ditandai oleh migrasi secara masif. Hampir 30% populasi migran dunia ada di Asia. Tiongkok, Filipina, Vietnam dan Indonesia menempati peringkat 25 besar negara pengirim migran. Bangkan Tiongkok dan Filipina masuk 10 besar. Koridor migrasi paling padat juga ada di Asia: Tiongkok ke Hong Kong (2,2 juta), Indonesia ke Malaysia (1,4), Malaysia ke Singapura (1,1). Pekerja asing semakin banyak: 3% Thailand, 10% Hong Kong, 21% Malaysia, 40% Singapura. Asia Pasifik juga mempunyai 21,5 juta pekerja rumah tangga (41% dunia).
·         Rezim migrasi tenaga kerja di Asia hanya mengenal pekerja sebagai individu, dilarang membawa keluarga sehingga perpisahan keluarga tak terelakkan.
·         Di Indonesia, tiap tahun sekitar 400-600 ribu orang berangkat mengadu nasib ke luar negeri. Total ada sekitar 4-6,5 juta orang buruh migran Indonesia (BMI) di luar negeri.

3.   Keluarga transnasional
·         Keluarga BMI mengalami praktik berkeluarga yang tidak lazim. Orangtua entah salah satu atau keduanya terpisah dari anak. Strategi: pengasuhan jarak jauh (alat komunikasi), pengasuhan oleh kerabat, pergantian peran gender ayah-ibu, pengasuhan lintas generasi.
·         Keluarga transnasional: transformasi relasi ibu-anak, relasi antargender, relasi lintas generasi, praktik sehari-hari keluarga vs lembaga keluarga, materi sebagai ungkapan kasih sayang.
·         Migrasi tenaga kerja menantang lembaga keluarga tradisional. Perubahan peran, kegagapan laki-laki, konsumerisme, pengasuhan lintas generasi, internalisasi perubahan peran gender dalam diri anak-anak.
·         Resiko lain: perpecahan keluarga, kehilangan orangtua
·         Apa yang terjadi pada anak-anak buruh migran? Jutaan jumlahnya di Indonesia.

Setelah pemaparan materi dari Romo Benny, para undangan kemudian memberikan tanggapan sesuai dengan pengalaman, pengetahuan dan pemikirannya.



Berikut kesimpulan yang ditulis oleh Ibu R Astuti Sitanggang sebagai koordinator pertemuan tersebut:


Perpindahan Penduduk dari satu daerah ke daerah lain telah terjadi sejak awal, dengan berbagai alasan yang terutama untuk mempertahankan dan atau mendapat kehidupan yang lebih baik. Gerakan migran yang lumrah ini, semakin besar dan deras selain telah melewati batas Negara dan Samudra. Tidak lagi per-kelompok keluarga dan kelompok Desa, namun kelompok per-orangan yang meninggalkan sebagian besar anggota keluarganya didaerah asal. Pada saat itulah bermunculan keadaan dan kondisi yang tidak diduga, dimulailah hambatan dan masalah, tidak hanya bagi keluarga yang ditinggalkan, namun berkembang menjadi masalah Desa dan komunitas menjadi masalah Bangsa dan Negara.
Tidak ada pilihan bagi keluarga calon migran ketika lowongan pekerjaan yang tersedia adalah untuk perempuan. Maka sebagian (besar) perempuan yang ber-migran itu meninggalkan anaknya, bahkan sekalipun berusi 2 minggu – 2 tahun, dibawah pengasuhan dan pengawasan suami, kakek dan nenek dari anak ataupun adik atau kakak perempuan dari pekerja migran. Kebiasaan pribadi dan komunitas untuk mengasuh anak, dicabut begitu saja sehingga terjadi kegamangan perempuan yang ibu ini berhubungan dengan anaknya sehingga migran perempuan yang ibu ini, rentan akan kekerasan psykis dari suami dan keluarga serta anaknya ketika bertumbuh besar.
Situasi ini bukan hal yang mudah dilalui oleh pihak suami dimana keinginan menjadi pencari nafkah utama keluarga, diserahkan kepada istri dan pihak suami memerlukan waktu dan peneguhan untuk menjadi pengasuh tunggal dari anak dan melakukan kegiatan – kegiatan diranah domestik. Tidak jarang suami gagal dan melakukan “kekerasan” kepada istrinya, baik dengan cara penggunaan uang penghasilan istri secara tidak produktif atau bahkan meninggalkan keluarganya. Hal yang sama terjadi pada kakek dan nenek dari anak yang ditinggalkan, juga pada adik – kakak migran perempuan yang ibu itu, bahkan terlebih lagi anak yang ditinggalkan, yang dipaksa berkembang dan hidup dalam keluarga yang berbeda dari anak – anak lain.
Inilah yang terjadi dikomunitas kecil, keluarga batih. Bila keadaan dan pola ini diletakkan dalam komunitas Desa kemudian Bangsa, maka pola besar dan dampak besar akan terjadi menjadi cara hidup baru dan budaya baru, keluarga transnasional, global care chains. Ketika keluarga – keluarga dan masing – masing anggota keluarga migran tidak mampu mengatasi perubahan dan berubah, maka lambat namun pasti kehancuran bangsa akan terjadi.
Mendapati kejadian dan kisah yang sama diberbagai tempat, perlu dan harus segera dilakukan persiapan untuk migran perempuan yang Ibu dan pembekalan tentang yang sebaiknya dilakukan terhadap pasangan dan anak yang akan ditinggalkan. Demikian pula halnya pada pasangan migran perempuan, perlu persiapan dan masa transisi mengemban tanggung – jawab sebagai pengasuh tunggal anak dan pekerjaan – pekerjaan diranah domestik. Perlu waktu, pembicaraan dan kesepakatan pasangan dan keluarga tentang pengurusan keluarga dan tata cara baru yang akan diterapkan agar cita – cita dan maksud tuk ber-migran, keluarga yang berhasil dengan tingkat kehidupan lebih baik, dapat tercapai dengan baik. Usaha ini tidak terlepas dari peran dan andil Pemerintah dan peran kelompok – kelompok Pemerhati Swasta.
Oleh karena gerakan tuk ber-migran tidak dapat dilarang dan tidak terhentikan, sekalipun banyak berita – berita negative, maka selain perlunya persiapan – persiapan yang disebut diatas, cerita dan pengetahuan tentang pekerja migran yang sukses dan anak pekerja migrant yang meraih kesuksesan, akan membuka wawasan khususnya keluarga migran, untuk meraih dan menjadi sukses.. Dirasa perlu untuk mengedepankan hal – hal dan cerita yang positif agar tercipta dan terpola perubahan menuju hubungan yang harmonis diantara Pekerja migran – pasangannya dan anak – anaknya yang kemudian akan menciptakan keluarga – keluarga yang sehat dalam lingkaran Bangsa yang aman dan sejahtera. Semoga …. 



Saturday, March 18, 2017

Para Tokoh Agama Menandatangani Deklarasi Anti Perbudakan Modern


Hari Selasa, 14 Maret 2017, Mgr Ignatius Suharyo sebagai Ketua KWI menandatangani Deklarasi Anti Perbudakan Modern oleh perwakilan seluruh Tokoh-tokoh Agama di Indonesia. Penandatanganan seruan anti perbudakan modern tersebut dilakukan di Istana Wakil Presiden Republik Indonesia dan disaksikan oleh Wakil Presiden sendiri, Bapak H.M. Jusuf Kalla. Tokoh-tokoh agama lain yang turut mendandatangani deklarasi tersebut adalah: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Muhyidin Junaidi,  Ketua PB NU KH Marsyudi Syuhud, Ketua PP Muhammadiyah Suyatno, Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia Mayjen (Purn) Wisnu Bawa Tenaya, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Henriette Hutabarat Lebang, Perwakilan Wali Budha Indonesia Banthe Victor Jaya Kusuma dan Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Uunk Sendana Unggaraja.


Acara ini diselenggarakan oleh Universitas Paramadina dan Walk Free Foundation (WFF). Seperti yang tertera dalam web nya http://www.walkfreefoundation.org/, lembaga non-profit ini memiliki visi untuk mengakhiri perbudakan modern secara global, dengan pendekatan lintas sektor melalui kombinasi antara implementasi langsung, keterlibatan masyarakat akar rumput, dan bekerja dalam kemitraan dengan para pemuka agama, pebisnis, akademisi, LSM dan pemerintah di seluruh dunia. Termasuk diantaranya membangun basis pengetahuan yang kuat untuk menginformasikan tindakan, mendorong perubahan legislatif di negara-negara kunci, serta mengoptimalkan kekuatan bisnis dan agama. Dalam kesempatan tersebut, Bapak Jusuf Kalla menyampaikan bahwa penandatanganan deklarasi yang berlangsung di Istana Wapres ini menunjukkan Pemerintah Indonesia sepakat dengan gerakan tokoh-tokoh agama yang menentang perbudakan modern dalam berbagai bentuk, antara lain perdagangan manusia. Pemerintah sendiri sebenarnya telah membuat berbagai kebijakan untuk melindungi para pekerja Indonesia, namun ternyata masih banyak pelanggaran yang terjadi.  Kepada para pemuka agama, beliau berharap agar melalui agama, masyarakat dapat dididik untuk menghentikan perbudakan modern melalui tata nilai yang diajarkan tanpa henti.


Bersama tokoh-tokoh agama yang ada di Indonesia, Bapak Uskup menyatakan bahwa beliau bergabung dengan gerakan anti perbudakan modern ini karena, manusia adalah citra Allah dan sebagai warga negara Indonesia beliau ingin mengamalkan Pancasila, teristimewa sila yang kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam foto itu Bapak Uskup sebagai Ketua KWI didampingi oleh Romo I. Ismartono, SJ, sebagai Direktur Sahabat Insan, sebuah lembaga Jesuit Indonesia yang memberi perhatian kepada buruh migran dan korban perdagangan manusia bersama ahli hukumnya Ibu Astuti Sitanggang SH dan Ibu Rita Serena Kolibonso. Selain tokoh-tokoh agama di Indonesia, acara tersebut juga dihadiri oleh para Duta Besar termasuk Duta Besar Vatikan.

Di tengah-tengah acara, ditayangkan video  tentang acara serupa yang digelar di Vatikan pada tanggal 2 Desember 2016 berjudul  "Faith Leaders Sign Joint Declaration To End Modern Slavery, Vatican City Italy" Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik, bersama-sama dengan pemimpin Katolik Anglikan, Ortodoks serta Budha, Hindu, agama Yahudi dan Islam menandatangani Deklarasi Bersama Pemimpin Agama Melawan Perbudakan Modern. Momen ini menjadi istimewa karena cukup langka melihat para pemimpin agama di dunia bisa saling bertemu dan bersama-sama menandatangani sebuah kesepakatan untuk memperhatikan sebuah isu kemanusiaan yang sama.   



Dalam kesempatan yang sama, diluncurkan Global Freedom Network (GFN) di Indonesia, sebuah organisasi lintas agama yang yang berkomitmen untuk menghapus perbudakan modern melalui pelibatan para pemuka agama di seluruh dunia. Pimpinan GFN Andrew Forrest menyampaikan harapannya bahwa aksi ini akan menginspirasi negara-negara lain terutama di kawasan pasifik dalam perlawanan terhadap perbudakan modern. Dari Global Slavery Index Tahun 2016, sebanyak 45,8 juta orang di dunia masih berada pada perbudakan modern. Berada pada situasi yang sama, di Indonesia, angka ini adalah 736.100 orang.


Pada akhir acara, Elizabeth Morris dari Walk Free Foundation, melalui pesan singkat kepada Romo Ismartono menyampaikan apresiasinya atas kehadiran Sahabat Insan. "Thank you Father - it was great to see you yesterday and meet the wonderful women from Sahabat Insan. I plan to be in touch soon as Mr Forrest wants me to work on a practical action plan.  Liz".




Wednesday, March 15, 2017

Refleksi Artikel: Perlindungan Terhadap Buruh Migran



Perlindungan Terhadap Buruh Migran
Oleh: Giasinta Angguni

Saya memilih tiga buah artikel dari Kompas dengan judul: ‘Perlindungan TKI Dimulai dari Desa’ (24 Agustus 2016); ‘RUU Perlindungan Pekerja Migran’ (9 September 2016); dan ‘Ima Matul Maisaroh: Pendekar Anti Perdagangan Manusia’ (20 Desember 2016). Ketiga artikel ini menarik perhatian saya karena saya ingin mengetahui sudah sejauh apa langkah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam melindungi warganya yang menjadi buruh migran.

Dalam artikel pertama, Desa Majasari di Kabupaten Indramayu menerapkan regulasi untuk memberi perlindungan bagi warga desa yang menjadi buruh migran. Meski kewenangan terkait TKI berada di pemerintah pusat, namun aparat desa bisa menjadi garda terdepan yang memastikan bahwa warganya menempuh prosedur yang tepat untuk menjadi TKI. Regulasi ini dibuat setelah melihat keadaan bahwa banyak warga desa Majasari yang tertipu karena menempuh jalur perekrutan tidak sesuai prosedur. Peraturan desa mewajibkan pihak perekrut (agen penyalur), pihak sponsor, serta calon TKI melapor ke desa. Selain untuk mengecek kelengkapan dokumen, aparat desa akan memastikan bahwa TKI tersebut baik-baik saja selama bekerja di luar negeri. Pihak desa juga akan membantu mengadvokasi bila ada warganya mengalami masalah saat menjadi buruh migran.  

Buat saya, ini hal yang menarik dan inspiratif. Inovasi yang dibuat oleh Desa Majasari perlu dicontoh juga oleh desa-desa lain di Indonesia. Akan lebih baik lagi jika dilakukan juga oleh pemerintah pusat.

Terkait dengan peran pemerintah, di artikel kedua saya berusaha memahami mengenai UU no 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.  Dalam UU tersebut, para buruh migran hanya dilihat dari konteks bisnis dan penempatannya oleh agen penyalur. Maka dibuatlah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI). RUU ini haruslah menempatkan para pekerja migran sebagai subyek yang berhak memperoleh perlindungan dari pemerintah Indonesia. Selain itu, RUU PPMI juga perlu membahas mengenai kewajiban pemerintah dalam mencegah dan menangani buruh migran yang pergi melalui jalur yang tidak sesuai prosedur.

Saya sungguh berharap ada langkah-langkah nyata dari pemerintah untuk terus memberi perlindungan para buruh migran agar tidak ada lagi kasus penyiksaan dan ketidakadilan yang mereka alami. 
 
Di artikel ketiga saya membaca sepak terjang Ima Matul Maiasaroh, korban human trafficking asal Kabupaten Malang. Ima diiming-imingi bekerja di AS dengan gaji yang tinggi pada tahun 1997. Saat itu umur Ima baru 17 tahun. Ia pun pergi ke AS dengan harapan dapat membantu perekonomian keluarga. Sayangnya, sampai di sana Ima justru diperbudak dan disiksa. Ia harus bekerja 12 jam tanpa digaji selama tiga tahun. Ima berhasil kabur dan mendapat perlindungan dari lembaga penghapusan perbudakan di AS. Ia pun akhirnya menjadi aktivis yang melawan perdagangan manusia. Ima pun menjadi Dewan Penasihat Gedung Putih terkait masalah human trafficking.

Pengalaman buruk Ima ketika menjadi buruh migran justru berhasil membuatnya berbuat sesuatu agar kasus tersebut tidak menimpa orang lain. Saya salut dengan kegigihan Ima dalam memperjuangkan penghapusan perbudakan.