TEST

Saturday, June 28, 2025

Renungan Harian Hari Sabtu

 


Bulan Juni, bulan Cinta pada Bumi, bulan Laudato Si sudah tinggal satu minggu. Mari kita akhiri dengan doa seminggu: Semoga meskipun bulan Juni berlalu, api semangat mencintai Ibu Bumi, Rumah kita Bersama, tetap menyala.



Friday, June 27, 2025

Renungan Harian Hari Jumat

 


Bulan Juni, bulan Cinta pada Bumi, bulan Laudato Si sudah tinggal satu minggu. Mari kita akhiri dengan doa seminggu: Semoga meskipun bulan Juni berlalu, api semangat mencintai Ibu Bumi, Rumah kita Bersama, tetap menyala.

Wednesday, June 25, 2025

Renungan Harian Hari Rabu

 


Bulan Juni, bulan Cinta pada Bumi, bulan Laudato Si sudah tinggal satu minggu. Mari kita akhiri dengan doa seminggu: Semoga meskipun bulan Juni berlalu, api semangat mencintai Ibu Bumi, Rumah kita Bersama, tetap menyala.

Tuesday, June 24, 2025

Renungan Harian Hari Selasa


Bulan Juni, bulan Cinta pada Bumi, bulan Laudato Si sudah tinggal satu minggu. Mari kita akhiri dengan doa seminggu: Semoga meskipun bulan Juni berlalu, api semangat mencintai Ibu Bumi, Rumah kita Bersama, tetap menyala.

 

Monday, June 23, 2025

Refugee Voices 2025: Ruang Aman, Panggung Harapan Bagi Pengungsi

Jakarta, 21 Juni 2025 — Peringatan Hari Pengungsi Sedunia 2025 menghadirkan sebuah perayaan yang sarat makna dan harapan bertajuk "Refugee Voices: A Month of Stories and Solidarity". Bertempat di M Bloc Space, Jakarta Selatan, kegiatan ini menjadi ruang aman yang mempertemukan para pengungsi, komunitas lokal, aktivis kemanusiaan, serta masyarakat umum dalam suasana penuh semangat solidaritas. 

Renungan Harian Hari Senin

 


Bulan Juni, bulan Cinta pada Bumi, bulan Laudato Si sudah tinggal satu minggu. Mari kita akhiri dengan doa seminggu: Semoga meskipun bulan Juni berlalu, api semangat mencintai Ibu Bumi, Rumah kita Bersama, tetap menyala.

Sunday, June 22, 2025

Renungan Harian Hari Minggu

 


Bulan Juni, bulan Cinta pada Bumi, bulan Laudato Si sudah tinggal satu minggu. Mari kita akhiri dengan doa seminggu: Semoga meskipun bulan Juni berlalu, api semangat mencintai Ibu Bumi, Rumah kita Bersama, tetap menyala.

Friday, June 20, 2025

Menulis Sejarah Tanpa Luka: Sebuah Kekeliruan Moral

Di tengah wacana penulisan sejarah nasional baru oleh tokoh politik Fadli Zon, muncul kekhawatiran mendasar tentang masa depan ingatan kolektif bangsa. Pernyataannya yang menolak memasukkan peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa pada Mei 1998 ke dalam narasi sejarah resmi bukan hanya problematis, tetapi juga berbahaya secara etis dan politis.

https://www.christianbook.com/ethic-for-enemies-forgiveness-in-politics/donald-shriver/9780195119169/pd/119169

Dalam bukunya An Ethic for Enemies: Forgiveness in Politics (1995), Donald W. Shriver Jr. menyampaikan bahwa pengampunan dalam ranah politik tidak bisa dilepaskan dari keberanian menghadapi kebenaran sejarah yang menyakitkan. Pengampunan, kata Shriver, bukanlah pelupaan, melainkan ingatan yang bermartabat. Tanpa pengakuan atas luka sejarah, tidak mungkin ada rekonsiliasi sejati.

Lantas bagaimana mungkin kita menulis sejarah nasional tanpa mencatat salah satu bab tergelap dalam sejarah kontemporer Indonesia—perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa saat kerusuhan Mei 1998? Bukankah dengan menghapusnya dari narasi bangsa, kita secara tidak langsung mengingkari keberadaan para korban, serta membiarkan pelaku dan pembenaran sistemik kekerasan itu tetap bersembunyi dalam bayang-bayang impunitas?

Dalam terang etika Shriver, penulisan sejarah yang mengabaikan penderitaan korban bukan hanya kekhilafan, melainkan bentuk kekerasan kedua. Bangsa yang ingin sembuh dari luka masa lalu tidak bisa memilih untuk hanya mengingat hal-hal yang membanggakan. Kita perlu, bahkan wajib, mengingat peristiwa yang membuat kita malu dan bersalah—bukan untuk menumbuhkan rasa bersalah yang permanen, melainkan untuk mengembangkan tanggung jawab moral kolektif.

Peristiwa Mei 1998 bukan hanya soal kerusuhan sosial dan jatuhnya rezim Orde Baru. Ia adalah juga kisah tentang tubuh perempuan yang dijadikan medan perang ideologis, dan bagaimana negara gagal melindungi warganya yang paling rentan. Dengan menghapus kisah itu dari sejarah resmi, kita bukan hanya membungkam suara para penyintas, tetapi juga menolak kesempatan untuk belajar sebagai bangsa.

Shriver mengingatkan kita bahwa rekonsiliasi yang sejati hanya mungkin terjadi jika kita memiliki keberanian untuk menatap masa lalu dengan jujur. Ia menyerukan etika publik yang berani menyebut kejahatan sebagai kejahatan, dan membuka ruang bagi pengakuan, permintaan maaf, dan pemulihan. Dalam konteks Indonesia, ini berarti mengakui kekerasan terhadap perempuan Tionghoa Mei 1998 sebagai bagian dari sejarah kita bersama.

Jika sejarah hanya ditulis berdasarkan selera kekuasaan, maka yang kita wariskan kepada generasi mendatang bukanlah kebijaksanaan, melainkan kebohongan kolektif. Kita tidak akan pernah menjadi bangsa yang dewasa jika terus-menerus menutupi luka masa lalu dengan cat tembok nasionalisme semu.

Maka, upaya Fadli Zon dan siapa pun yang mencoba menulis ulang sejarah tanpa menyentuh luka terdalam bangsa ini bukanlah tindakan patriotik, melainkan pengingkaran terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan. Kita tidak bisa membangun masa depan yang adil di atas fondasi ingatan yang cacat.

Menulis sejarah nasional seharusnya menjadi tindakan etis yang membebaskan—bukan menindas. Ia harus menjadi ruang kebenaran, bukan perpanjangan propaganda. Dan yang terutama: sejarah harus memberi tempat bagi suara korban, bukan sekadar untuk dikenang, tetapi untuk dihormati dan dipulihkan.


I. Ismartono, SJ - Sahabat Insan
Komunitas untuk kemanusiaan, keadilan dan martabat setiap pribadi

Tuesday, June 10, 2025

PHK Massal dan Dampaknya terhadap Pekerja Migran Indonesia: Antara Krisis dan Harapan

 

Mass Layoffs and Their Impact on Indonesian Migrant Workers

Mass layoffs in Indonesia have increased in recent years, particularly in labor-intensive sectors such as textiles and manufacturing. The impact is deeply felt by young workers and women, many of whom have lost their primary source of income. In the midst of household economic crises, a significant number of these individuals turn to migration and become Indonesian Migrant Workers (PMI) as an alternative means of survival. Unfortunately, not a few fall into irregular migration paths and become victims of human trafficking.

One of the tragic cases that came to light is the story of Meriance Kabu, a PMI from East Nusa Tenggara (NTT), who was tortured by her employer in Malaysia. Her fate is not an exception. In 2024 alone, 124 coffins of PMI from NTT were repatriated to Indonesia, most of them victims of exploitation and abuse. Disturbingly, human trafficking syndicates often involve state officials and community leaders who are supposed to protect citizens.

The main drivers of this phenomenon are structural unemployment and weak social protection for those affected by layoffs. When severance benefits are inadequate and vocational training programs are irrelevant to labor market needs, migration becomes the only perceived option. The children of migrant workers are also affected, particularly in their limited access to education in host countries. Efforts from international organizations such as the ILO through the Decent Work Country Programmes have not been fully effective without strong national law enforcement.

To address this issue, preventive measures are needed through public education, regionally based job training, and strengthened immigration oversight. The shooting of five Indonesian migrant workers in Malaysia in early 2025 illustrates the weak protection the state provides its citizens abroad. Although the Indonesian Ministry of Foreign Affairs has lodged a protest, justice for the victims remains elusive. In some cases, victims must face their traffickers in foreign courts while enduring significant psychological trauma.

The state must take a more proactive role in creating dignified employment opportunities at home and systematically dismantling trafficking syndicates. Unresolved mass layoffs only push impoverished citizens further into the traps of high-risk migration. This is not merely an economic issue but a humanitarian crisis and a moral test for the Indonesian nation. It is time for the state to show up—not just as a bystander, but as a true protector of its people's dignity.



Gambar diambil dari https://citizen.riau24.com/berita/baca/1728275233-badai-phk-di-indonesia-dilirik-jokowi-sri-mulyani-hingga-airlangga-hartanto



Fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi kenyataan pahit bagi dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Agustus 2024 mencapai 5,45 persen, naik dibandingkan tahun sebelumnya. Beberapa sektor industri padat karya seperti tekstil, elektronik, dan manufaktur dilaporkan melakukan PHK karena tekanan global, otomasi, serta perpindahan investasi ke negara-negara dengan biaya tenaga kerja lebih rendah.