Jakarta, 21 Juni 2025 — Peringatan Hari Pengungsi Sedunia 2025 menghadirkan sebuah perayaan yang sarat makna dan harapan bertajuk "Refugee Voices: A Month of Stories and Solidarity". Bertempat di M Bloc Space, Jakarta Selatan, kegiatan ini menjadi ruang aman yang mempertemukan para pengungsi, komunitas lokal, aktivis kemanusiaan, serta masyarakat umum dalam suasana penuh semangat solidaritas.

Acara yang berlangsung dari
pagi hingga malam ini diinisiasi oleh UNHCR Indonesia bekerja sama dengan
Refuture Indonesia, SUAKA, JRS Indonesia, serta mendapat dukungan dari LIV
Golf. Berbagai kegiatan interaktif digelar, mulai dari pemutaran film dokumenter,
talkshow, pertunjukan seni dan budaya, hingga bazaar dan pojok membaca untuk
anak-anak.
Dalam kesempatan ini,
Komunitas Talitakum Jakarta turut ambil bagian sebagai bentuk solidaritas
terhadap para pengungsi yang tinggal di Indonesia. Melalui keterlibatan aktif
dalam kegiatan komunikasi dan seni lintas budaya, Talitakum mendorong
terciptanya ruang yang menguatkan persaudaraan lintas bangsa serta menghadirkan
wajah Gereja yang terbuka dan penuh belarasa. Anggota-anggota komunitas ini
hadir secara langsung, berbaur, dan turut mengangkat suara pengungsi melalui
perjumpaan dan doa bersama.
Salah satu momen paling
menyentuh adalah sesi pembukaan yang dibuka dengan puisi dan refleksi tentang
perjuangan para pengungsi. Suster Irena, OSU menyatakan dengan penuh keteguhan
dalam wawancara di event ini,
“Mereka bukan sekadar
angka. Mereka manusia. Mereka adalah sesama kita. Kita tidak bisa tutup mata,
apalagi membisu. Perlu keberanian untuk hadir dan bersuara.”
Sementara itu, film
dokumenter berjudul “Fighting Forward: Building Resilience Through
Storytelling and Sport Empowerment” menghadirkan kisah perjuangan Ali Reza
Yawari, seorang sutradara muda asal Afghanistan, dan Setayesh Jawadi, atlet
karate dari Cisarua Refugee Shotokan Karate Club. Melalui cerita mereka, para
penonton diajak melihat bagaimana seni dan olahraga menjadi ruang pemulihan
psikologis dan pemberdayaan diri di tengah keterbatasan.
Acara siang dilanjutkan
dengan pertunjukan budaya tradisional Myanmar oleh anak-anak pengungsi dari
Cisarua Refugee Learning Center (CRLC). Senyum dan gerakan lincah mereka seolah
menghapus batas negara dan bahasa, menyatukan penonton dalam keindahan warisan
budaya.
Talkshow sore bertajuk “Youth
in Action: How We Can Support Refugee Empowerment” menyoroti peran generasi
muda dalam menciptakan perubahan dan dukungan bagi para pengungsi. Refuture
Indonesia dan Bridges for Hope memaparkan berbagai inisiatif pemberdayaan yang
telah mereka jalankan bersama komunitas pengungsi.
Salah satu bagian acara
yang mencuri perhatian adalah pertunjukan karate dari para pengungsi muda.
Meski hidup dalam ketidakpastian, semangat mereka tak gentar. Seorang peserta
mengungkapkan bahwa seni bela diri mengajarkannya disiplin, harapan, dan keberanian
untuk terus berjuang.
Dalam penutupan hari,
suasana berubah menjadi semarak dan penuh energi saat Grace, musisi muda asal
Kongo yang dikenal dengan nama panggung KiLLMYPRiDE, tampil membawakan
lagu-lagu rap berbahasa Inggris dan Prancis. Melalui lirik-liriknya, ia
menggambarkan rasa kehilangan, kemarahan, serta impian yang masih ingin diraih.
Aksinya mendapat sambutan meriah dari penonton.
Dalam wawancara di event
ini, Romo Adrianus Suyadhi, SJ menyampaikan refleksi mendalam,
“Solidaritas bukan hanya
tentang memberi, tapi juga mendengarkan dan hadir. Kehadiran kita di sini hari
ini adalah tanda bahwa kita tidak membiarkan mereka berjalan sendirian. Ini
adalah soal kemanusiaan.”
Refugee Voices
bukan hanya acara. Ia adalah pesan, bahwa di tengah dunia yang terpecah, masih
ada ruang untuk saling memahami, menyembuhkan luka, dan membangun harapan
bersama.
Penulis: Saraswati