Banyuwangi, 15 Desember 2025 — Situasi pekerja migran Indonesia dinilai masih jauh dari aman dan berkeadilan. Berbagai persoalan struktural, mulai dari tata kelola migrasi, perlindungan sosial, konflik geopolitik, hingga krisis ekologi, terus memperburuk kerentanan pekerja migran dan keluarganya. Isu-isu tersebut mengemuka dalam Dialog Publik bertajuk “Situasi Pekerja Migran Indonesia dalam Dinamika Ekonomi, Politik Nasional, Geopolitik, dan Krisis Ekologi” yang diselenggarakan Migrant CARE di Pendopo Sabha Swagata Blambangan, Banyuwangi. Acara hari pertama dihadiri sekitar 300 peserta yang terdiri dari perwakilan purna pekerja migran dan jaringan dari berbagai daerah, termasuk Banyuwangi, Jember, Wonosobo, Kebumen, Indramayu, Lombok Tengah, dan Lembata (NTT).
Dialog publik ini menjadi bagian dari rangkaian
Peringatan International Migrants Day (IMD) 2025 yang berlangsung pada 15–17
Desember 2025. Kegiatan dihadiri ratusan peserta dari komunitas pekerja migran,
organisasi masyarakat sipil, akademisi, serta perwakilan pemerintah daerah.
Acara dipandu oleh Program Manager Migrant CARE,
Savitri Wisnu Wardhani, dan menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain Dios
Lumban Gaol (SBMI/Jaringan Kawal Revisi UU PPMI), Aurelia Naomi Syifa (Human
Rights Working Group/HRWG), Dini Putri Saraswati (UPN Veteran Jakarta), Nurhuda
Ismail (RSIS NTU Singapura), serta Dr. Yanu Endar Prasetyo (Youthbring
Jakarta).
Dalam pengantarnya, Direktur Eksekutif Migrant
CARE, Wahyu Susilo, menegaskan bahwa persoalan migrasi tidak bisa dipahami
semata sebagai isu perekrutan, penempatan, dan kepulangan. Migrasi tenaga
kerja, menurutnya, merupakan persoalan ekonomi politik yang berkaitan erat
dengan krisis iklim, konflik bersenjata, ekstremisme kekerasan, serta minimnya
perlindungan sosial, termasuk bagi anak-anak pekerja migran.
“Pekerja migran kita masih tidak baik-baik saja.
Negara perlu menjawab persoalan-persoalan yang melampaui fase migrasi, termasuk
krisis iklim dan konflik di negara tujuan,” ujar Wahyu. Ia juga menyoroti
proses review Indonesia oleh Komite Pekerja Migran PBB (CMW) yang
mempertanyakan komitmen negara dalam perlindungan sosial bagi pekerja migran di
luar negeri.
Isu krusial lainnya adalah revisi Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI).
Dios Lumban Gaol dari SBMI menjelaskan bahwa pembentukan Kementerian
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) pasca-pelantikan Presiden Prabowo
pada November 2024 memang merupakan kemajuan kelembagaan. Namun, substansi
revisi UU PPMI justru dinilai berpotensi melemahkan perlindungan.
“Dari 10 poin perubahan dalam draf RUU, yang paling
dominan justru perluasan kewenangan perusahaan penempatan pekerja migran
(P3MI), bukan penguatan perlindungan,” tegas Dios. Ia menyoroti rencana
pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) untuk penempatan pekerja migran, perluasan
kewenangan perusahaan merekrut langsung, serta penggunaan istilah “pengampunan”
bagi pekerja migran nonprosedural yang dinilai mendegradasi martabat pekerja
migran.
Dari perspektif advokasi internasional dan
regional, Aurelia Naomi Syifa (HRWG) menekankan pentingnya tekanan global untuk
mendorong perubahan kebijakan nasional. HRWG, bersama jaringan masyarakat
sipil, aktif menyampaikan laporan bayangan kepada Komite Pekerja Migran PBB,
serta terlibat dalam forum-forum ASEAN dan lintas kawasan Asia Timur–Asia
Tenggara.
“Advokasi regional dan internasional menjadi
strategi penting untuk menyuarakan kondisi riil pekerja migran, sekaligus
menekan pemerintah melalui mekanisme global,” jelas Aurelia. Ia menambahkan
bahwa momentum internasional, signifikansi isu berbasis data, dan mobilisasi
sumber daya menjadi kunci keberlanjutan advokasi.
Sementara itu, Dini Putri Saraswati menyoroti
krisis iklim sebagai faktor pendorong migrasi paksa (climate migration).
Menurutnya, perubahan iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga
memperbesar kerentanan sosial-ekonomi yang mendorong migrasi tidak aman,
terutama dari wilayah pedesaan.
Dialog publik ini menegaskan bahwa perlindungan
pekerja migran membutuhkan pendekatan interseksional dan lintas level, dari
desa hingga internasional. Rekomendasi dari diskusi ini akan dirumuskan lebih
lanjut melalui Musrenbang Tematik tingkat nasional sebagai upaya memastikan
kebijakan migrasi Indonesia lebih adil, manusiawi, dan berkelanjutan.
Penulis:
Maria Fransiska Saraswati
Sumber Informasi: https://www.youtube.com/@migrantcareTV