Sekitar sepuluh hari sebelumnya, 500 orang TKI asal Malaysia dipulangkan ke Indonesia karena tidak memiliki dokumen. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Batam, Lampung, Medan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Flores. Pada saat pemulangan, mereka dinaikkan pesawat dari Kuala Lumpur ke Jakarta. Dari Jakarta, mereka kemudian dipulangkan ke daerah masing-masing melalui jalan darat, kecuali TKI yang berasal dari Flores yang akan dipulangkan dengan kapal laut. Oleh karena jadwal kedatangan kapal yang tidak menentu, mereka menunggu cukup lama di rumah singgah tersebut sampai mendapatkan tiket pulang. Jumlah TKI asal Flores yang dideportasi kali ini berjumlah sekitar 70 orang.
Hujan rintik-rintik menyambut Sahabat Insan yang tiba di rumah singgah tersebut pada pukul 11.00. Tim Sahabat Insan kali ini cukup banyak. Selain Romo Ismartono, SJ yang akan mempersembahkan misa, ikut juga Sr. Laurentina, PI dan Sr. Matilda, PI, Sr. Murphy RSCJ, Sr. Lucia RSCJ, Tanti, Rintan dan Saras. Setelah pintu gerbang dibuka, seorang ibu berwajah Arab yang sedang menggendong anaknya menyambut kami. Di belakangnya, berlarian ketiga anaknya yang lain sambil tertawa gembira. Keluarga tersebut ternyata adalah pencari suaka, yang sedang mengurus statusnya sebagai pengungsi di sini. Sang Ibu sendiri tinggal di rumah singgah,karena merasa tidak aman tinggal bersama suaminya yang terus melakukan kekerasan kepadanya karena stress menjalani proses panjang untuk mendapatkan status pengungsi.
Saat Sahabat Insan tiba di ruangan tempat misa, telah menunggu di sana beberapa Suster RGS dan FMM, yang bergabung bersama Sahabat Insan mendampingi para TKI deportasi ini. Suster Anna, RGS juga telah menyiapkan beberapa lagu untuk dinyanyikan saat misa nanti. Romo Ismartono kemudian menyapa para TKI yang sudah berkumpul di sebuah ruangan, dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengaku dosa sebelum misa.
Sementara menunggu rekan-rekannya yang sedang mengaku dosa, tim Sahabat Insan yang lain berbincang-bincang dengan para TKI tersebut. Berbagai macam kisah pun terucap. Ibu Aty, sebut saja begitu, bercerita bahwa dia sudah dua puluh tahun bekerja di Malaysia. Selama puluhan tahun itu, berbagai profesi sudah ia jalani. Ia berangkat ke negeri jiran pada tahun 1995 dan bekerja sebagai pekerja rumah tangga di sana selama dua tahun dengan dokumen lengkap. Setelah itu, dia memperbaharui dokumennya dan bekerja di restoran, yang dilanjutkan ke perkebunan. Namun selama sepuluh tahun terakhir, dia bekerja dengan status 'kosong' alias tidak memiliki dokumen, namun tetap berhasil mendapatkan pekerjaan di sana karena dia memiliki teman-teman yang banyak yang selalu menawarinya pekerjaan. Ibu itu juga menyebutkan bahwa karena Berkat Tuhan lah, selama sepuluh tahun terakhir ia selalu terlindungi dari petugas-petugas yang rajin mencari para pekerja tanpa dokumen. Namun akhirnya, ia tertangkap juga 2 bulan yang lalu, dan dimasukkan dalam penjara.
Lain lagi cerita Ibu Siti (bukan nama sebenarnya). Bersama suaminya, dia berangkat ke Malaysia delapan tahun yang lalu. Di sana, ia bekerja sebagai tukang bangunan. Ya, tukang bangunan. Sebuah pekerjaan yang agak aneh terdengar dikerjakan oleh seorang perempuan. Namun kenyataannya, di sana banyak perempuan yang bekerja sebagai tukang bangunan. Pekerjaan mereka tidak berbeda dengan tukang bangunan laki-laki: mengaduk semen, mengangkut batu bata, menngecat tembok dan seterusnya. Ibu itu bercerita, setelah ijin kerjanya habis, ia memutuskan untuk tidak lagi meneruskan pekerjaannya dan fokus mengurus anak semata wayangnya dan tidak mengurus perpanjangan dokumennya. Namun malang tak dapat ditolak. Ia pun tertangkap oleh polisi setempat dan mendekam di penjara selama sebulan karena tidak berdokumen,sebelum akhirnya dipulangkan ke Indonesia.
Dari cerita mereka, terungkap bahwa mereka sangat rindu beribadah, karena selama di perantauan, mereka dilarang untuk menjalankan kegiatan beragamanya, bahkan sekedar memiliki benda-benda rohani. Otomatis, sudah bertahun-tahun mereka tidak pernah pergi kebaktian atau ikut misa. Berdoa mereka lakukan sendiri-sendiri saat pekerjaan telah selesai dilakukan. Maka mereka sangat gembira saat diberi kesempatan untuk melakukan misa di rumah singgah ini sebelum mereka pulang ke kampung halaman, dan juga diberi kesempatan untuk mengaku dosa. Orang-orang dari Flores memang terkenal religius, sehingga sulitnya beribadah ini cukup menyiksa hati. Bahkan, pada saat misa berangsung, beberapa dari antara mereka, termasuk para lelaki, meneteskan air mata karena kerinduan yang sangat mendalam untuk bertemu Tuhan. Salah satu hal yang menyenangkan saat misa bersama orang-orang dari Indonesia Timur ini adalah, suara mereka yang sangat merdu saat bernyanyi, yang menambah suasana khusuk saat misa. Pada bagian akhir misa, Romo memberkati mereka satu per satu.
Setelah misa, Romo juga memberkati rosario yang dibawa oleh para Suster RGS, dan membagikannya kepada para TKI deportasi ini. Romo berpesan agar mereka rajin melakukan rosario selama perjalanan yang akan ditempuh selama lima hari, agar lancar dan sampai di rumah dengan selamat. Mereka sangat gembira, dan langsung mengalungkan rosario ini ke leher mereka. Tak lupa, kami juga berphoto bersama dan beramah tamah dengan mereka, serta mebagikan bingkisan natal yang sudah dipersiapkan. Kami juga memanggil mereka yang tidak ikut misa untuk ikut bersama-sama menerima bingkisan sebagai bekal mereka selama di perjalanan pulang ke kampung halaman.
Selamat jalan teman-teman. Semoga selamat sampai tujuan dan berkumpul kembali bersama keluarga tercinta, dan merayakan Natal tahun ini dengan gembira.