Friday, February 15, 2019

Kopi Darat: 10 Keprihatinan

Pada hari Selasa, 8 Januari pukul 10.00 yang lalu, Pater Vian, Frater Robin, Suster Laurentina, Arta dan Jeny mengadakan KOPI DARAT di Cafe OCD, Pantai Lasiana Kupang. Kopi Darat merupakan pertemuan antara JPIC dan para religius dari CMF dan PI untuk mendiskusikan berbagai masalah, termasuk di antaranya masalah migran dan perdagangan manusia.

Tema kopi darat kali ini adalah mendengarkan kesan-kesan Arta setelah selama 9 bulan, yaitu sejak bulan April 2018 sampai bulan Januari 2019,  ikut melayani dan mendampingi kasus-kasus migran dan perdagangan manusia di Kupang dan Nusa Tenggara Timur bersama Sr, Laurentina. Tanggapan ini dimaksudkan agar mereka dapat mengetahui penilaian orang di luar terhadap keadaan NTT secara umum sehingga dapat dijadikan bahan evaluasi untuk memperbaikinya di kemudian hari. Tanggapan tersebut oleh frater Vian dinamai 10 Keprihatinan. Sebelum menguraikan 10 keprihatinan, Arta bertetrima kasih atas pengalaman-pengalaman yang sudah didapatkan selama 9 bulan di lapangan yang tak urung kadang-kadang membuat ia terkejut menyaksikan kenyataan-kenyataan yang selama ini bahkan tidak pernah ia pikirkan.

Hal pertama yang menjadi sorotan adalah anak-anak SEKAMI yang tidak terbina karena dikoordinir oleh Paroki. Keprihatinan kedua adalah pendidikan di NTT yang sebagian besar tidak sesuai dengan kurikulum di Indonesia. Tidak hanya itu. Pendidikan berbasis karakter juga masih sangat minim. Kemudian, adanya budaya pesta pora yang setiap saat dilakukan dan di setiap acara. Keprihatinan selanjutnya berkaitan dengan ekologi, yaitu lingkungan yang sangat kotor namun tidak ada niat untuk membersihkan. Tidak berani keluar dari kungkungan keluarga (kekerabatan) meskipun menjerumuskan dan merugikan, bahkan sampai menghilangkan nyawa sesamanya. 


Keprihatinan selanjutnya adalah adanya karakter yang suka melempar tanggung jawab dan tidak menyelesaikan hingga akhir. Sebagian besar orang di sana juga tidak disiplin waktu, sampai sudah mendarah daging, sehingga tidak merasa bersalah jika datang terlambat dan pihak lain sudah menunggu, dan juga terlalu banyak bicara. Contoh nyatanya ialah sangat lama jika memberikan kata sambutan, bahkan dalam beberapa seminar, ada yang menjadi nara sumber dadakan saat diberikan kesempatan pada sesi tanya jawab. 

Dari semua itu, karakter yang paling miris adalah karakter "Hamba Mata", yaitu hanya melakukan sesuatu jika ada yang mengawasi. Contohnya saat mengerjakan pekerjaan, jika pimpinan mengamati, maka akan dikerjakan, namun jika tidak, pekerjaan tersebut tidak diselesaikan sebagaimana mestinya. Keprihatinan yang terakhir adalah pembiaran. Meskipun sudah mengetahui bahwa hal itu adalah hal yang salah, namun karena tidak mau zona nyamannya terusik, maka lebih memilih untuk membiarkan, alias tidak mau tahu dan tidak mau terlibat. 


Atas seluruh keprihatinan tersebut, semua yang hadir di situ memberikan tanggapannya.

Pater Vian mengungkapkan kekagumannya karena Arta mampu membaca NTT secara baik. NTT sendiri memiliki identitas dan keberimanan yang masih bersifat kolektif, dan ia mengakui bahwa di NTT sendiri tidak ada pendidikan berbasis karakter. Menurut beliau, keprihatinan nomor 1 sampai 5 merupakan suatu masalah eksternal, sedangkan nomor 6 sampai 10 merupakan gugatan-gugatan pribadi yang sangat kritis. Dan memang benar, JPIC pada akhirnya hafal gerak internal. Kadang-kadang bukan hanya faktor luar saja yang menentukan, tetapi juga internalnya. JPIC dibangun untuk mendengar suara Allah melalui alam, lingkungan, dan sebagainya yang menjadi tanggung jawab bersama. JPIC sendiri tidak hanya menjadi sebuah aktivitas namun juga merupakan suatu grand design, yang layak untuk mendapatkan penebusan. 


Pater Seles menambahkan bahwa hal tersebut sudah menjadi keprihatinan banyak orang, tetapi mereka tidak tahu harus bagaimana. Banyak hal yang irasional untuk dilakukan namun di sana sudah menjadi suatu kebiasaan. Pater Seles kemudian menanggapi dengan memberikan pertanyaan mengenai hal-hal umum yang dapat kita tarik dalam hubungan masalah sosial yang digeluti, seperti masalah trafficking, ekologi, dan lain-lainnya, Sangat eratkah kaitannya dengan hal ini? 

Frater Robin mengungkapkan pengalamannya bahwa semua itu tergantung dari yang memimpin, yang dibawa bergerak apa adanya sesuai dengan kemampuan. Anak muda bergabung hanya untuk hura-hura, sedangkan kalau ada kegiatan yang lebih serius tidak mau ambil bagian. Jeny sendiri mengungkapkan bahwa pada SEKAMI di sini, anak tidak dibina sesuai dengan usia perkembangannya, tidak tertarik dengan hal-hal yang menambah kreativitas mereka, namun cenderung menyukai semua yang ditawarkan oleh dunia luar. Hal-hal negatif lebih tertarik bagi mereka daripada mengembangkan iman mereka. Ini terjadi tidak hanya karena perkembangan jaman yang tentu saja tidak bisa ditolak, namun juga minimnya pembinaan dari orang tua dan juga pendampingan di SEKAMI. Frater Robin sendiri juga merasakan apa yang dirasakan oleh Arta. Jam karet sudah merupakan suatu kebiasaan dan tidak merasa bersalah. Kebanyakan juga hanya mengerjakan pekerjaan besar saja, tidak mau mengerjakan pekerjaan kecil. 

Sr Lauren sendiri ingin agar JPIC bisa bekerja sama dengan pemerintah, karena banyak yang hanya ikut-ikut saja namun akhirnya tidak berkelanjutan. Beberapa kali Suster sendiri mengalami saat berkunjung ke beberapa daerah, awalnya bisa mengumpulkan banyak orang-orang muda, namun setelah itu tidak ada kelanjutan setelah pergi dari sana, sedangkan pemuka agamanya juga hanya mendengarkan tanpa adanya aksi. Suster menambahkan, OMK di sini saja tidak bisa mengurus diri sendiri, apalagi mengurus anak-anak muda lainnya. Suster Laurentina manambahkan, bahwa JPIC tidak hanya melakukan aktivitas sosial kemanusiaan, tetapi juga ada dokumen gereja yang menguatkan. Meskipun sering disebut sebagai Suster Cargo dan secara manusiawi tidak ada artinya, namun kegiatan religius itu sesuatu yang kuat. Meski pun ada resiko yang didapat, namun Allah akan memberikan kekuatan. Selain itu, juga ada rasa saling percaya dan mendukung yang menguatkan. Kita dituntut untuk keluar dari zona nyaman kita, dituntut kesetiaan, juga komitmen. 

Jeny sendiri sebagai anak muda NTT menyampaikan tanggapannya sehubungan dengan ketidaktepatan waktu yang sudah menjadi kebiasaan di NTT.  Di sana, jam karet merupakan suatu pemakluman  Jika ada acara-acara pesta dan adanya undangan kepada pihak pemerintah untuk memberi sambutan, maka acara tersebut tidak akan dimulai sebelum undangan dan pemerintah itu hadir. Masyarakat melihat itu dan menirunya. Mereka mungkin berpikir bahwa pemerintah saja terlambat, jadi tidak masalah kalau kita pun melakukan hal tersebut. 



Di akhir sesi kopi darat ini, Pater Vian yang menjabat sebagai Delegatus Tarekat CMF Indonesia-Timur Leste, memberikan kenang-kenangan kepada Arta berupa selembar Surat Perutusan dari Paus Fransiskus, yang berisi Isi Hati dan Doa Paus untuk menyertai tugas pewartaan Injil melalui gerakan kemanusiaan. Acara kemudian ditutup dengan foto bersama dan semua yang hadir sepakat untuk melaksanakan Kopi Darat selanjutnya dengan agenda menyusun hal-hal konkrit yang bisa dilakukan bersama berkaitan dengan 10 keprihatinan yang telah disampaikan.





Tuesday, February 12, 2019

Kisah Rindu Sang Kakek Untuk Cucunya Yang Hilang

Siang itu cuaca sangat terik, menemani perjalanan tim Sahabat Insan menyusuri desa demi desa yang ada di Timor Tengah Selatan. Terlihat jalanan yang terjal berbatu yang merupakan bekas sungai besar yang kering karena musim kemarau. Namun tak ada pilihan lain untuk dapat sampai ke sebuah desa di kecamatan Mollo Barat untuk menemui seorang kakek yang telah kehilangan cucunya selama bertahun-tahun setelah diajak untuk bekerja di Malaysia. Sang kakek, yang berusia kurang lebih 80 tahun ini menerima tamu-tamunya di bawah pohon rindang di pekarangan rumahnya, Kemudian ia pun mulai berkisah mengingat-ingat peristiwa yang telah terjadi sekitar 8 tahun yang lalu. 

Pada tanggal 2 Oktober 2010 malam, ada seorang wanita yang datang bertamu ke rumahnya. Wanita itu sebenarnya tidak terlalu asing bagi sang kakek, karena ia adalah adik ipar dari kepala desa yang saat itu sedang menjabat. Kakek pun juga mengetahui rumah wanita tersebut yang bersebelahan dengan rumah kepala desa saat ini. Oleh sebab itu, kakek  dan nenek menerimanya dengan baik-baik. Setelah berbasa-basi sejenak, wanita tersebut mengungkapkan maksud kedatangannya, yaitu untuk menawarkan pekerjaan bagi Nelly, cucu perempuan sang kakek, dan membawanya ke Kupang untuk melakukan medical check-up sebagai syarat untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Sang kakek, yang saat itu dalam kondisi sakit, mengatakan tidak setuju jika cucunya langsung dibawa pada saat itu juga, karena hari sudah malam. Ia menyarankan agar mereka lebih baik berangkat keesokan paginya, dan ia hanya memperbolehkan Nelly pergi selama satu hari saja di Kupang, dan harus kembali lagi ke desa untuk didoakan oleh keluarga. Selain itu sang kakek juga mengatakan bahwa keberangkatannya harus diketahui dan terdata oleh kepala desa setempat. Setelah mengatakan itu semua, sang kakek kembali ke tempat tidur untuk beristirahat karena kondisi badannya yang masih lemah. Si wanita kemudian melanjutkan perbincangan dengan sang nenek.

Mendengar tawaran itu, Nelly remaja langsung berbinar-binar membayangkan kehidupan yang mewah dan menyenangkan di Malaysia, tidak seperti kehidupannya saat itu yang sehari-hari dihabiskannya di bawah panas terik di kebun. Ia termakan bujuk rayu calo tersebut kemudian bersikeras dan membujuk neneknya agar memberikan ijin untuk pergi malam itu juga. Setelah melihat cucunya yang sangat bersemangat, hati sang nenek pun luluh dan dia mengijinkan cucu tercintanya dibawa oleh wanita tersebut. Pada pukul 20.00 WITA, wanita tersebut membawa Nelly yang saat itu baru berusia 15 tahun. Dan sejak saat itu, Nelly menghilang tanpa jejak. Hingga saat ini, sang kakek tidak dapat melihat cucunya sama sekali dan juga tidak sekalipun mendapatkan uang oko mama. Wanita yang mengajak Nelly itu pun ikut menghilang tanpa bekas, Ia dikabarkan telah pindah ke Kupang bersama dengan anak dan suaminya.

Sang kakek mengaku sangat merindukan cucunya. Ia menceritakan bahwa ia pernah terjatuh dari pohon karena terus menerus memikirkan Nelly. Saat itu, ia mendengar bahwa ada anak tetangganya yang kembali pulang dari Malaysia setelah bekerja selama 5 tahun. Seketika pikirannya melayang teringat akan nasib cucunya yang tak berkabar. Pada saat itu, ia juga berharap cucunya bisa pulang ke pelukannya, Namun semua itu hanya angan semata. Tidak ada yang mengetahui dimana keberadaan Nelly saat ini. "Saya sangat sedih kenapa Nelly tidak pulang, sementara Nelly yang terlebih dahulu berangkat, kemudian nona itu. Jadi saya tidak dapat memegang pohon hingga akhirnya terjatuh ke tanah," ujar kakek sambil menunjukkan tangannya yang masih bengkak.


Nelly dititipkan oleh mama kandungnya yang meninggal saat ia berusia satu tahun. Bapak kandung Nelly kemudian menikah lagi dan pindah ke tempat lain. Sejak saat itu, sang kakek sudah menganggap anak dari keponakannya ini sebagai cucu kandungnya sendiri. Ia membesarkan dan merawat Nelly bersama dengan anak semata wayangnya yang saat ini sudah berkeluarga. Menurutnya, Nelly rajin membantunya bekerja di sawah, memikul beras, dan mengusir burung. "Mungkin kalau Nelly masih tinggal di sini, ia pasti sudah berkeluarga juga dan mengelola sawah yang luas di belakang rumah," ujar sang kakek.

Kini, pasangan kakek dan nenek ini hidup bersama anak tunggal mereka dan juga cucunya. Mereka bekerja sebagai petani untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tiga bulan sekali, mereka mendapatkan bantuan dari pemerintah sebesar Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Sang kakek sangat bersyukur karena bantuan tersebut dapat meringankan beban hidupnya.

Orang hilang merupakan satu dari ribuan kasus yang menimpa Pekerja Migran Indonesia. BNP2TKI sendiri mencatat bahwa setidaknya 2.600 kasus migran yang meninggal atau hilang sejak tahun 2014. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang berangkat tanpa melalui jalur resmi atau non-dokumen, sehingga tidak bisa dilacak keberadaannya. Para pekerja non-dokumen ini diperkirakan sekitar 30% dari total pekerja migran Indonesia yang berjumlah 6,2juta orang. Saat ini upaya-upaya untuk mengurangi jumlah kasus-kasus tersebut terus dilakukan, diantaranya sosialisasi bahaya perdagangan manusia, pemberdayaan masyarakat, serta membangun sistem informasi terpadu di desa sehingga para pekerja migran yang akan berangkat dapat memperoleh informasi dengan mudah dan dilayani dengan cepat.