Saturday, August 17, 2019

NTT, Lu Kapan Merdeka ?

Ditulis oleh Jeni, relawan Sahabat Insan di Kupang

#Kisah-Kisah dari Program Eksposure Belarasa 2019

Kematian adalah teki-teki yang sampai kapan pun tidak akan pernah dipecahkan oleh manusia. Kematian akan meninggalkan rasa sedih, kecewa, dan penyesalan bagi yang ditinggalkan. Lalu apa hubungan judul di atas dengan kematian? NTT, lu kapan merdeka? Aku memakai logat Bahasa Kupang dalam penulisannya, artinya NTT, kamu kapan merdeka. Mari, biar ku jelaskan, baca pelan-pelan dan perhatikan setiap titik koma-nya.

Tinggal menghitung hari lagi, bahkan hari yang tertinggal bisa dihitung dengan jari. Terserah kamu mau menghitungnya dengan jari tangan kananmu atau tangan kirimu, atau kalau menghitung dengan jari tangan mu terlalu mainstream kamu boleh menghitung dengan jari kaki mu. Tiga hari dari hari ini (14/08/2019), bangsa Indonesia akan merayakan hari paling bersejarah.

Dari kecil kamu mungkin salah satu dari setiap anak yang menyanyikan lagu “17 Agustus,” dengan perasaan gembira yang membuncah. Yey, Hari Kemerdekaan kita, bangsa Indonesia. 74 tahun sudah bangsa ini, bangsa yang besar ini merayakan kemerdekaan. Lalu, apakah benar Indonesia ini sudah merdeka?

Jika berbicara tentang Indonesia, maka berbicaralah untuk semuanya, tidak hanya untuk mereka yang di sana atau mereka yang di sini. Nusa Tenggara Timur, siapa yang tidak tahu provinsi ini? Provinsi ini mendapat berbagai macam julukan ada yang membanggakan ada pula yang membuatku menepuk dahi sambil menggelengkan kepala. Nusa Tenggara Timur sering disebut Indonesia Kecil, karena NTT ini memiliki banyak pulau, meskipun pulau nya tidak sebesar Pulau Jawa. Sedangkan tahun lalu ia mendapat julukan yang sebagai anak NTT - membuatku miris, namun yang lebih dominan adalah malu. Namun memang seperti itulah kenyataannya, dan memang harus mengakui hal tersebut. Mau tahu julukannya? Provinsi Peti Mati. Biar ku tekankan sekali lagi, Provinsi Peti Mati. Dan aku yakin julukan itu tetap akan tersemat di tahun ini, mungkin juga di tahun-tahun yang akan datang. Memang pantas NTT disebut Provinsi Peti Mati karena per hari ini (14/08/2019) saja sudah ada 74 jenazah orang NTT yang meninggal di negara rantauan, beberapa di antaranya ada yang dipulangkan, sedangkan yang lain dikubur di negeri orang. 
 
Merasa familiar dengan 74, hah? Angka kematian PMI asal NTT ini sudah sama dengan Indonesia merayakan kemerdekaannya. Lalu benarkah Indonesia sudah benar-benar merdeka? Jika demikian mengapa NTT masih menerima jenazah dari tanah seberang?

Dan hari ini, di siang bolong, yang mentarinya bersinar cerah membakar kulit dan langit biru bersih tanpa noda, NTT menuai tiga jenazah. Satu saja yang pulang mati-matian menahan air mata, bagaimana jika tiga sekaligus. Hati siapa yang tidak hancur? Hati siapa yang tidak kecewa? Hati siapa yang tidak sedih? Aku marah, namun pada siapa ku mengadu? Jadi patutlah aku mempertanyakan hal ini: NTT, kapan lu merdeka? Rakyatmu masih menjadi budak di negeri jauh, meninggalkan anak istri dan keluarga. Penjajah tidak lagi datang ke sini namun kamu yang dibawa ke sana, untuk dijadikan budak. Alasan klasiknya adalah demi sesuap nasi, dari sesuap nasi naik ke level lebih tinggi yaitu uang sekolah, dari situ naik satu tingkat lagi yaitu tuntutan gaya hidup. Manusia memang tidak pernah puas. Ingin aku salahkan semua, lalu menyalahkan diri sendiri, namun aku tahu menyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah.

Tiga mobil jenazah menjemput jenazah PMI di Kargo Bandara El Tari Kupang pada 14 Agustus 2019

Mereka yang pulang dengan keadaan kaku itu kurang lebih memiliki masa kecil yang sama denganku. Hidup di Kota Karang ini membuat kami menjadi pribadi yang keras pula. Mereka adalah saudara dan saudariku. Namun sayang, mereka menghembuskan napas terakhir tanpa ada orang tersayang di sebelahnya, jauh dari keluarga. Beruntunglah mereka yang bertemu orang baik sehingga dipulangkan ke tanah kelahirannya.

Ya, Indonesia memang merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang, namun rakyat Indonesia mengalami perbudakaan modern. Lebih khususnya, NTT. Dan akibat dari perbudakan modern itu, bumi pertiwi NTT mendapat kiriman tiga jenazah dari Malaysia.

Tiga jenazah yang dipanen hari ini adalah atas nama Dion Sendah, Marselina Klau dan Kornelis Wela. Ketiga jenazah itu tiba siang hari ini di Terminal Kargo Bandara El-Tari Kupang pukul 13.22 WITA, diturunkan sekaligus dari bagasi yang sama: bagasi pesawat Garuda. Ini kali pertama bagiku melihat tiga mobil jenazah terparkir berjejer.

Keluarga dari dua jenazah, yaitu  keluarga almarhum Kornelis Wela dan Marselina Klau, datang berbondong ke kargo, sedangkan keluarga dari almarhum Dion Sendah yang ada di Kupang entah ada di mana. Tidak ada yang bisa dihubungi. Kornelis Wela adalah seorang pria asal Desa Wiwipemo, RT/RW 10/08, Kecamatan Wolojeta. Kabupaten Ende. Usianya sudah 63 tahun, berangkat ke Malaysia saat anaknya yang pertama masih kelas 1 SD.
 
“Masih ingat muka ko sonde?” aku bertanya pada anak pertama dari almarhum Kornelis Wela, namanya Martinus Herianto Wamapenga, umurnya sudah 23 tahun. Ia duduk bersebelahan dengan suster Elisa PI. Memang aku ke kargo bandara bersama suster Elisa PI, dan sekali lagi kami menjadi yang pertama tiba di kargo dalam penjemputan jenazah siang ini. Kami menunggu dengan sabar hingga akhirnya satu per satu datang.

“Aih, sonde le. Saya liat terakhir sa di foto su mati yang kirim dari Malaysia.” Ia menggeleng pelan dengan senyuman getir di wajahnya. Ia menyampaikan bahwa kontak terakhir dengan ayahnya adalah tiga hari yang lalu, ayahnya pun memberitahukan kepadanya bahwa ia sudah sakit berat. Tiga hari kemudian, berita duka terdengar di telinganya. Kehilangan seorang ayah yang menjadi pahlawan menyisakan luka yang tak akan pernah sembuh. Sekalipun selama ayahnya di Malaysia, tidak pernah pulang ke Indonesia. Entah, apakah mungkin dulu ayahnya pernah mengajarkan padanya tentang bagaimana seorang laki-laki sejatinya berperan dalam kehidupan.

Kornelis Wela semasa hidupnya bekerja sebagai buruh bangunan, keringatnya yang jatuh di Tanah Malaysia mampu menguliahkan anaknya yang pertama sampai ke jenjang perguruan tinggi. Selain anak laki-laki nya yang pertama, almarhum meninggalkan seorang istri dan seorang anak perempuan. Anak perempuannya berhasil menyelesaikan SMA tahun lalu, dan siap memasuki bangku perkuliahan. Namun takdir berkata lain. Kehilangan seorang ayah akan memberikan pelajaran berharga dalam hidup, menjadikannya seorang yang kuat yang berpijak di bawah kaki sendiri.

Anak pertama dari almarhum Kornelis Wela tidak datang sendiri dalam penjemputan jenazah, ada keluarga lainnya. Yang aku lihat bahwa keluarganya cukup berada. Dilihat dari gaya mereka yang sangat kekinian, berbeda dengan gaya dari anak pertama almarhum yang ranselnya sudah usang dan ada beberapa bagian yang hampir robek. Ransel itu berisi pakaiannya karena ia akan mengantar ayahnya sampai ke rumah di Sumba.

Jenazah yang kedua adalah atas nama Marselina Klau. Perempuan berusia 23 tahun ini berasal dari RT/RW 25/13, Dusun Wemantan, Desa Haitimuk, Kecamatan Weliman, Kabupaten Belu. Almarhum Marselina Klau merantau bersama suaminya ke Malaysia pada April tahun lalu dan baru satu tahun bekerja di ladang kelapa sawit bersama suaminya. Pasangan yang belum menikah secara gereja itu meninggalkan seorang putri yang akan berusia 4 tahun pada 27 Agustus nanti, yang selama ini dititipkan pada orangtua almarhum di kampung. Mereka bersama mengambil keputusan untuk mencari uang di Negeri Jiran demi biaya sekolah anaknya. Namun sayang, baru satu tahun bekerja, sang ibu sudah pergi, meninggalkan dunia untuk selamanya. Septic Shock Secondary to Intraabdominal Sepsis atau usus buntu adalah penyebab kematiannya.

Kepada suaminya, Nikolas Seran Nahak, almarhum Marselina Klau mengeluhkan sakit di bagian kanan perutnya dan langsung di bawa ke Rumah Sakit Raja Permaisuri Bainun. Empat malam ia menginap di rumah sakit sebelum akhirnya pada Minggu (28/07/2019) menghembuskan nafas terakhirnya. Sepanjang empat malam itu, almarhum ditemani oleh suaminya.

Semua yang bernyawa pasti kembali ke pangkuan Sang Pencipta, ada yang cepat dan ada yang lambat, semua hanya menunggu waktu. Entah muda atau tua, jika Tuhan sudah memanggilmu, mau tidak mau engkau akan menghadapnya. Namun, yang membuat hati teriris adalah saat tidak bisa melihat putri satu-satunya di detik terakhir hidupnya. Mereka bilang kehilangan sosok seorang ibu bagi seorang anak perempuan sama halnya dengan kehilangan sebagian dari dirinya. Entah apakah putri dari almarhum akan mengingat almarhum. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti arti kehilangan. Kasih sayang dan sentuhan dari ibunya pun hanya sedikit yang akan tersimpan di memorinya.

Suami dari almarhum Marselina Klau tiba lebih dahulu di tanah air pada Kamis (08/08/2019) lalu. Ia datang ke kargo bandara bersama dengan saudara-saudaranya yang tinggal di Kupang. Ia dan beberapa saudaranya akan ikut mobil jenazah yang mengantar almarhum sampai ke kampung halaman.

Jenazah yang ketiga adalah atas nama Dion Sendah. Pria yang lahir 40 tahun lalu ini meninggal karena Severe Head Injury pada Kamis, 1 Agustus 2019. Tanggal pembuka di bulan kemerdekaan ini. Ia tiba tanpa ada keluarga yang menjemput, dan pada saat seperti inilah, kami Tim Jaringan Anti Human Trafficking siap menerima almarhum dan mendoakannya. Almarhum Dion Sendah beralamat di RT/RW 006/004, Dusun Wolowia, Desa Mukureku, Kecamatan Lepembusu Kelisoke, Kabupaten Ende.

Di area kedatangan kargo, satu per satu peti diangkat oleh para relawan untuk dipindahkan ke masing-masing mobil jenazah. Siang hari ini kargo bandara ramai, karena selain jenazah PMI, ada jenazah lain yang dikirim dari Bali. Keluarga dari jenazah dari Bali itu turut meramaikan suasana.

Hari ini aku menyaksikan suatu peristiwa luar biasa, yaitu saat tiga jenazah didoakan sekaligus oleh suster Elisa PI di area parkir kargo. Dan yang meninggal itu adalah seorang ayah, seorang ibu, dan mungkin seorang anak. Mereka pergi dan meninggalkan keluarga bersama duka. Keluarga kedua jenazah berdiri di masing-masing ambulans, sedangkan di ambulans tempat peti jenazah almarhum Dion Sendah berdiri Tim Jaringan Anti Human Trafficking. Dengan meminta rahmat dan tuntunan Allah Yang Maha Kuasa, suster Elisa PI menutup doanya. Seorang ibu, keluarga dari Kornelis Wela kembali menangis begitu doa selesai. Dari awal peti jenazah dikeluarkan ibu itu sudah menangis. Jemarinya merajai peti berbalut kain putih yang di dalamnya terbaring kaku saudaranya.

Almarhum Kornelis Wela dan Dion Sendah akan langsung diberangkatkan ke Ende dengan kapal Feri. Anak pertama almarhum Kornelis Wela yang akan bertanggung jawab terhadap kedua peti jenazah. Sedangkan almarhum Marselina Klau akan dibawa ke Belu bersama dengan suaminya dan beberapa orang saudaranya. Delapan jam perjalanan akan ditempuh agar bisa sampai ke tangan keluarga di Belu.

Anak pertama almarhum Kornelis Wela naik ke atas mobil jenazah. Ia duduk dekat ujung peti. Telapak tangannya ia taruh di atas peti, matanya memerah, alisnya menukik. Ah, tidak ada yang bisa menahan duka karena kehilangan orang terkasih. Airmata akan selalu sedia jika rindu memuncak, dan sebuah foto akan menjadi pengobat rindu.

Semua dilakukan dengan cepat. Bunyi sirine yang memekakkan telinga bersahutan. Mobil jenazah dikemudikan dengan laju cepat. Mereka beriringan keluar dari Terminal Kargo Bandara El-Tari Kupang dengan tujuan masing-masing. Siang hari ini, Pak Siwa (Kepala BP3TKI Kupang) turut serta hadir di kargo bandara El Tari Kupang. Ada juga Kakak Ardi IRGSC yang datang bersama seorang teman relawan, lalu ada Suster Pauline dari Cammelian, Kakak Aris dari GMIT, Kakak Decky dari Rumah Harapan, Pak Herman Seran dari J-RUK bersama istri-anak, dan pihak media yaitu TVRI  yang turut meliput penjemputan tiga jenazah hari ini.

Demikianlah penjemputan tiga jenazah pada siang hari ini. Baik pemerintah, para religius maupun pihak media turut serta mengulurkan tangan membantu penjemputan jenazah sehingga boleh berjalan dengan baik. Di bawah langit biru ini, langit NTT, aku berdiri membisikkan doa dalam hati, kiranya sampai di telinga Sang Penyelenggara Kehidupan.

Untuk saudara dan saudariku yang tiba hari ini dan juga untuk keluarga yang ditinggalkan, Allah Penyembuh yang akan mengobati setiap luka. Hati memang terluka, namun Allah Yang Mahakuasa adalah lebih besar dari perkara menyedihkan dalam hidup.

Untuk Nusa Tenggara Timur tercinta, di tanah inilah kakiku berpijak, di karang inilah aku dibentuk, dengan panas mendidih aku dikuatkan, debu dan asap yang terhirup menjadi makanan sehari-hari. Merdeka-lah. Semua sudah tersedia disini. Orang NTT bekerja keraslah membangun tanah sendiri, jangan menjadi budak di luar negeri jika di tanah sendiri bisa menjadi tuan. Doaku selalu untukmu, NTT. Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, kami mohon berkat-Mu untuk kemerdekaan orang NTT dari segala perbudakaan. Aku mohon lindungilah NTT dari segala marabahaya, biarlah Kasih dan Karunia-Mu selalu melingkupi negeri ini.

Bae sonde bae, tanah Timor lebe bae.

Amin.

74 Jenazah di HUT RI Ke-74


Segenap rakyat Indonesia memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-74 pada Sabtu (17/8/2019). Tema yang diangkat “Menuju Indonesia Unggul” yang direvisi oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Praktikno menjadi “SDM Unggul Indonesia Maju”. Tema yang terinspirasi dari visi pemerintahan Presiden Joko Widodo periode 2019-20124 ini (tampaknya) tak sekedar mengingatkan rakyat bahwa negara ini sudah merdeka dari para penjajah selama 74 tahun, melainkan (ingin) menyadarkan seluruh komponen bahwa negara ini sedang bergerak dari kondisi yang sudah baik menuju ke arah yang lebih baik. 

Bendera Merah Putih dalam HUT RI Ke-74

Jika diamati, seantero Indonesia tengah disibukkan dengan suasana ingar-bingar perayaan HUT-RI ke-74. Di setiap-tiap pemerintahan pusat, provinsi, hingga daerah menghimbau segenap elemen masyarakat untuk memasang sang saka merah putih di puncak tertinggi tiang instansi, rumah bahkan tempat-tempat umum lainnya sejak permulaan Agustus 2019. Berbagai perlombaan diikuti semua jenis usia seperti sebuah kewajiban tanpa peduli berapa jumlah dana yang dikeluarkan untuk menghibur, sekedar pemuas seremonial atau memang sebagai ungkapan syukur yang murni. Acara kedaerahan seperti tirakatan di sebagian besar Pulau Jawa, lomba sampan layar di Batam, lari obor estafet di Semarang, pawai jampana di Bandung, pacu kude di Aceh, pacu kapal di Riau, peresean di NTB, barikan di Malang, festival telok abang di Palembang dan masih banyak acara lainnya rutin di gelar setiap tahunnya.

Ada juga yang mengusahakan berbagai macam cara untuk meraih penghargaan rekor Muri atau menciptakan berbagai sensasi baru agar tampak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya seperti menciptakan rekor muri bendera terpanjang di Bali, tarik tambang terpanjang dan pacu kelereng pejabat tinggi negara oleh Kemendagri dan BNPP, tarian bersama petugas Pemasyarakatan dan Warga Binaan seluruh Indonesia dan lain sebagainya.   

Kemeriahan kemerdekaan yang kita rasakan di zaman reformasi ini, mungkin membuat kita sedikit enggan membayangkan kegetiran hidup dan penderitaan para pendahulu yang hidup di zaman kerasnya rodi romusha, dimana tulang dan otot akan remuk begitu saja, fisik dan psikis tersiksa, selalu dirundung perasaan was-was bak seekor nyamuk yang dengan sekali tepukan, tamat riwayatnya.

Syukur(lah) kita tidak hidup di zaman feodal yang tidak ada perlombaan makan kerupuk, lari karung, panjat pinang, tari balon dan lain sebagainya. Pada zaman itu, bisa jadi kita hanya akan menjadi “tulang-tulang” berserakan diliputi debu seperti petikan puisi “Kerawang-Bekasi” karya Chairil Anwar. Si penyair memang piawai menyulap derita dalam prosa sehingga fakta pada zaman itu tetap abadi di dalam sebuah sastra hingga bisa kita nikmati. Seperti yang diungkapkan Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya yang berjudul “Iblis Tidak Pernah Mati” bahwa bagaimanapun fakta diberangus, sastra tetap harus berbicara.

Pesan dalam syair kuno itu bukan “sekedar” berbicara demi menggugah simpati kita sebagai bagian dari bangsa, melainkan ada pesan khusus yang harus dijalankan sebagai tugas bersama. Sepemikiran dengan gagasan komunitas-komunitas terbayang yang dituliskan dalam “Imagined Community” karya Benedict Anderson, Chairil tampaknya dengan “kesadaran” telah jauh membayangkan kemerdekaan melalui “harapan”. Harapan itu harus terus dibangun dan dihidupkan sekalipun sudah melenyapkan 3 hingga 4 ribu nyawa bahkan lebih dalam perwujudannya.

Kami sekarang mayat. Berikan kami arti. Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian”. Dengan diksi “mayat” Chairil ingin menegaskan bahwa sudah terlalu banyak duka di negeri ini, banyak “korban” dari para penjajah rakus, serakah, radikal dan tidak manusiawi, maka semangat persatuan dan kesatuan dalam mewujudkan mimpi Indonesia yang merdeka sesuai impian terbayang Chairil semoga tetap terjaga.

Namun apakah setelah 74 tahun merdeka, negeri ini memang sudah benar-benar lepas bebas dan merdeka dari “mayat” dan “tulang-tulang” berserakan?

Ternyata sekalipun tidak lagi terjajah oleh bangsa asing, kata “mayat” masih tidak asing di negeri ini. Mayat-mayat yang dahulu adalah korban dari kekerasan para penjajah, kini masih berserakan sebagai korban perdagangan manusia (human trafficking) oleh sesama bangsanya sendiri. Bahkan dari 34 provinsi di Indonesia, ada satu provinsi yang terkenal dengan julukan “Provinsi Jenazah” karena rutin menerima kiriman jenazah Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari luar negeri yakni NTT.

74 tahun Indonesia merdeka, 74 jua jumlah jenazah PMI yang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dalam kurun waktu Januari hingga Agustus 2019 sesuai data dari tim Pelayanan Kargo Kupang di lapangan. Jumlah ini selalu mengalami kenaikan, dimana pada tahun 2017 sejumlah 64 jenazah PMI dan pada tahun 2018 sejumlah 104 jenazah. Lalu berapakah totalnya pada akhir tahun 2019? Masih menghitung.

Jenazah PMI asal Malaysia tiba di Kargo Bandara El Tari Kupang

Sebagian besar PMI asal NTT yang bekerja ke luar negeri berangkat melalui jalur ilegal karena termakan iming-iming para calo dan sponsor. Mereka dijual bak barang dalam nominal tertentu, diberangkatkan dari jalur ilegal dan ironisnya yang bertindak sebagai calo di lapangan adalah saudara sendiri yang satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Mereka rela menjual bangsanya sendiri hanya demi memperkaya diri dan golongannya. Sadis bukan? 

Maka benarlah pemikiran James T. Siegel dalam bukunya “Penjahat Gaya Orde Baru” yang mengungkapkan bahwa penjahat dan penjahat pada akhirnya punya hubungan dengan perkembangan nasionalisme Indonesia dan dalam hal ini seorang kriminal selalu berada di tepian masyarakat Indonesia dan tidak pernah berada di luarnya. Demikian juga pelaku kriminal perdagangan orang sama sekali bukan orang asing, melainkan berasal dari dalam masyarakat itu sendiri.

Sebagai korban human trafficking, PMI dieksploitasi habis-habisan hingga kehilangan nyawa di tangan majikan tak berbelas. Bahkan sudah mayatpun, mereka masih diperdagangkan oleh agen mayat dengan menguras keluarga korban  sebagai persyaratan pemulangan jasadnya ke tanah air.

Lantas bagaimana peran negara dalam menuntaskan permasalahan human trafficking yang “katanya” sudah merdeka selama 74 tahun ini? Apakah negara justu masih sibuk dengan perayaan-perayaan seremonial kedaerahan yang sudah kita bahas sebelumnya?

Ironisnya, upaya dalam meminimalisir tindakan kriminal ini masih setengah-setengah. Negara masih belum mampu mencari solusi dalam menuntaskan akar permasalahan perdagangan orang dan mengusut tuntas para pelaku perdagangan orang. Rakyat golongan  bawah yang kesulitan secara ekonomi masih tetap menjadi korban perdagangan orang. Mereka tidak punya pilihan pekerjaan alternatif yang mampu menghidupi jika mereka bertahan di daerah asalnya.

Sebaiknya pemerintah bisa sungguh-sungguh menggunakan mata, hati dan telinga dalam mendengarkan suara rakyat dan memberi jawaban solusi dari berbagai penderitaan korban, sebab suara korban adalah suara Tuhan (Vox Victimae, Vox Dei). Pemerintah wajib melakukan perbaikan dari semua sektor yang lebih berpihak pada rakyat mulai dari sektor ekonomi, pendidikan, sosial, budaya dan perlindungan hukum yang menjamin terpenuhinya hak-hak rakyat termasuk PMI yang bekerja di luar negeri. Rakyat membutuhkan lapangan pekerjaan agar bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka membutuhkan pendidikan, pelatihan, bimbingan sehingga bangsa ini punya SDM yang berkualitas sesuai dengan tema Kemerdekaan 74 tahun Indonesia. Semoga harapan ini bisa teralisasi sesuai dengan bayangan para pendahulu kita yang dahulu jua membayangkan kemerdekaan dan bayang kita bersama tentang perwujudan “SDM Unggul Indonesia Maju”. Salam Kemerdekaan! Jayalah Indonesia!

Friday, August 16, 2019

Lokakarya Membangun Sistem Kerja Relawan TPPO Dan Kekerasan Berbasis Gender

Laporan dari Jeni Lamao, relawan Sahabat Insan di Kupang, NTT

Hari ini, tanggal 13 Agustus 2019, aku bersiap untuk mengikuti kegiatan Lokakarya Membangun Sistem Kerja Relawan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Kekerasan Berbasis Gender yang diadakan di gedung DPD RI Provinsi NTT. Hampir pukul delapan aku sudah sampai di tempat kegiatan, dan petugas langsung mengarahkan untuk menuju lantai 2. Aku naik tangga dan di lorong bertemu dengan Mama Federika, Ketua Pengurus Rumah Harapan. Kemudian kami diarahkan untuk masuk ke dalam aula yang masih sepi. Tak lama kemudian satu per satu orang mulai berdatangan. Kegiatan yang rencananya dimulai pukul delapan, akhirnya dilaksanakan pukul 9.30 WITA.


Mengawali lokakarya pagi ini, Mama Pendeta Pao Ina Bara Pa-Ngefak selaku moderator mempersilakan salah seorang peserta untuk memimpin doa. Selanjutnya, Mama Federika selaku tuan rumah memberikan gambaran secara garis besar tentang lokakarya ini, yang lahir karena GMIT melihat bahwa persoalan perdagangan orang dan kekerasan berbasis gender merupakan persoalan serius yang dihadapi baik oleh pemerintah maupun masyarakat NTT. Oleh karena itu, diperlukan seseorang yang memiliki kerelaan hati, tenaga, waktu, ilmu, semangat dan ketulusan. Di sinilah peran dari seorang relawan. Karena setiap pribadi tidak bisa untuk bekerja sendiri, maka penting untuk membangun sistem kerja bersama para relawan. Tidak sedikit orang yang memiliki kerelaan hati tersebut. Buktinya, peserta yang hadir hari ini berasal dari berbagai bidang dan profesi: psikolog, advokat, dosen, mahasiswa, pegawai pemerintah, lembaga-lembaga sosial seperti Jaringan Perempuan Indonesia Timur dan Rumah Harapan, serta institusi penegak hukum.  


Tujuan dari lokakarya ini adalah untuk memberi pengetahuan manajemen tentang kerja relawan dalam mendampingi korban perdagangan orang dan kekerasan berbasis gender lainnya; membangun pemahaman bersama relasi kerja antar relawan dan berjejaring; serta membangun sistem kerja relawan dan kerja sama dengan jaringan. Ada empat orang narasumber yang memberikan materi dalam kolakarya ini yaitu:

1) Ibu Filiphin Taneo Therik, Wakil Direktur Sanggar Suara Perempuan Soe, yang membawakan materi tentang "Kapasitas Relawan dan Management Jejaring".

Ibu Filiphin memulai materinya dengan menyebutkan definisi relawan, yang berarti orang yang bekerja secara sukarela membantu dalam pelayanan atau organisasi tertentu tanpa dibayar dan menyediakan tenaga, waktu, ide, untuk mencapai tujuan organisasi, dengan tugas tanggung jawab yang besar atau terbatas, tanpa atau dengan sedikit pelatihan khusus, tetapi ada pula dengan latihan yang sangat intensif dalam bidang tertentu, untuk bekerja secara sukarela. Selain definisi, Ibu Filiphin juga memaparkan alasan orang mau menjadi relawan, antara lain adanya kepuasan diri, rasa ingin menolong sesama, mempelajari sesuatu dan memperoleh pengalaman. Kemampuan relawan dapat ditingkatkan dengan penguatan kapasitas dan pengembangan. Penguatan kapasitas mencakup pelatihan, diskusi, magang, sedangkan pengembangan menunjuk pada kesempatan-kesempatan belajar. Tahap-tahap pelatihan bagi relawan pun dipaparkan, antara lain: 1) Persiapan, yaitu mempersiapkan relawan untuk menerima pelatihan mental dan fisik; 2) Perkenalan, yaitu memperkenalkan sukarelawan baru kepada orang-orang dalam organisasi; 3) Orientasi, pengenalan organisasi dan tugasnya; 4) Pelatihan dasar, yaitu pengetahuan ketrampilan dasar yang diperlukan; dan 5) Pelatihan lanjutan sesuai kebutuhan. 

Tujuan jejaring yaitu meningkatkan partisipasi dari berbagai pihak untuk mencapai tujuan bersama dan peningkatan mutu kerja. Syaratnya, ada dua pihak atau lebih yang memiliki visi yang sama, ada kesepakatan, saling percaya dan membutuhkan, dan ada komitmen bersama. Agar kerja jejaring semakin kuat, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu mengendalikan emosi, menghargai orang lain, dan mengkritik dengan cara yang ringan. Untuk membangun jejaring itu bukan perkara gampang, ada banyak tantangan yang harus dilalui seperti kurangnya koordinasi antar pihak, keterbatasan dana, SDM dan fasilitas terbatas, dan ego sektoral. Ibu Filiphin menutup materinya dengan memberikan penguatan bahwa jika satu sama lain mau membantu komitmen bersama maka semua pasti akan berjalan dengan baik.

2)  Bapak Haris Oematan dari Circle Of Imagine Society Timor, yang membawakan materi tentang "Prinsip, Nilai dan Mekanisme Kerja Relawan."

Relawan memiliki identitas asali yang merupakan panggilan historis dan teologis. Semua berawal adanya Panggilan Illahi yang memanggil jiwa-jiwa untuk menjadi pribadi bermakna bagi Sang Pencipta dan seluruh ciptaan-Nya. Kerelaan adalah melakukan sepenuh hati seperti untuk Tuhan, pilihan berdasarkan kesadaran, memperhatikan hak dan martabar orang lain, memberikan inspirasi kepada masyarakat dan relawan, menganjurkan hak asasi dan kesetaraan. Nilai-nilai dari seorang relawan adalah kerelawanan, kesetaraan, keterbukaan, keadilan, tanpa kekerasan dan kreatifitas. Pak Haris mengungkapkan bahwa supaya bisa mengerti orang lain, kita perlu untuk pergi ke rumah orang itu, untuk melihat apa yang dilakukan. Sama halnya jika ingin mengerti suatu lembaga, perlu untuk pergi dan melihat tata cara kerja lembaga tersebut sehingga tahu bagaimana untuk berjejaring. Satu sama lain perlu bertandang ke rumah masing-masing agar kerja sama dapat berlangsung dengan baik (Mazmur 51:14b). Kerelawanan adalah melakukan dengan sepenuh hati seperti untuk TUHAN. Kerelawan adalah pilihan berdasarkan kesadaran. Kerelawanan merupakan sarana bagi individu ataupun kelompok untuk menangani kebutuhan manusia lingkungan dan sosial. Kerelawanan memperhatikan hak, martabak dan budaya orang lain. Kerelawanan menganjurkan hak asasi manusia dan kesetaraan. Relawan dibagi menjadi 4, yaitu a) Relawan Umum (siapapun bisa menjadi relawan); b) Relawan Program (didapat dari relawan umum dan dibiayai), c) Relawan Pendiri (didapat dari pengalaman), dan d) Relawan Manajemen (relawan yang diperlukan dalam mengatur suatu lembaga dan direkrut sesuai kompetensi). 

3) Ibu Libby Sinla Eloe, Koordinator Rumah Perempuan, yang membawakan materi "Tantangan dan Pembelajaran Kerja Relawan Kasus Perdagangan Orang dan Kekerasan Berbasis Gender Lainnya."

Pada kesempatan ini Ibu Libby mereview kembali pernyataan pemateri-pemateri sebelumnya, bahwa relawan adalah seseorang yang bekerja tanpa dibayar, tanpa membedakan profesi, namun harus memiliki komitmen. Sebagai relawan, kita harus berani berbeda dengan orang lain, harus berjejaring karena tidak bisa dikerjakan sendiri dan harus mampu bekerja sama dalam tim. Relawan harus bisa berbagi peran agar dapat secara bersama membangun sistem. Dalam melakukan kerja pasti ada tantangan yang dihadapi. Sering ada kepentingan masing-masing, ada pemahaman yang berbeda dalam tim misalnya tentang sarana dan prasarana yang terbatas, korban dan keluarga yang tidak jujur, korban dan jaringan yang tidak mampu menjaga rahasia. Relawan perlu banyak belajar hal-hal baru karena masalah di masyarakat sangatlah kompleks. Semua harus saling bekerja sama karena tidak ada satu lembaga pun yang menjadi super power, sehingga semua perlu berjejaring. 

4) Ibu Nuriyani Ballu, PANIT PPA Polda NTT, yang membawakan materi tentang "Penegakan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Kekerasan Berbasis Gender Lainnya". 

Ibu Nur mengawali materinya dengan menayangkan jumlah kasus TPPO di Polda NTT. Banyak pelaku TPPO merupakan orang dekat korban, baik itu suami, saudara, tetangga, dan teman. Modus operandi TPPO biasanya adalah dengan melakukan pemalsuan identitas. Landasan hukum kasus TPPO sangatlah banyak, mulai dari Undang-undang sampai Peraturan Pemerintah, misalnya UU no. 21 tahun 2007 tentang TPPO, Peraturan Kapolri no.pol:10 tahun 2007 untuk melindungi perempuan dan anak. Ibu Nur menguraikan bahwa kejahatan asusila saat ini banyak dilakukan melalui media sosial, yang membuat banyak korban berasal dari kalangan anak dan remaja. 

Setelah semua pemateri menyampaikan paparannya, moderator memberikan kesempatan kepada tiga perserta untuk bertanya. 

Pertanyaan pertama dari Ibu Merry dari Pondok Pergerakan, yang prihatin atas banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi dan tidak mendapatkan perhatian. Ada pemaksaan perkawinan antar saudara, ada kasus sodomi yang tidak diproses hukum, ada anak yang sudah memegang HP yang isinya film porno semua dan lain sebagainya. Kasus kekerasan kepada perempuan biasanya terjadi antara tengah malam sampai dini hari. Korban biasanya lari ke jalan untuk menyelamatkan diri, sedangkan ada banyak ancaman kekerasan di jalan. Ibu Merry menyarankan agar gereja perlu menyediakan tempat 24 jam bagi para korban ini untuk melindungi diri dari kekerasan yang mereka alami. Bapak Haris kemudian menanggapi pertanyaan tersebut dengan mengungkapkan harapannya bahwa suatu saat akan dapat berdiri sebuah rumah bersama yang dapat dipakai selain untuk melindungi korban, juga sebagai sarana belajar bagi anak-anak agar mereka memiliki pengetahuan dini tentang reproduksi dan bisa menjaga diri. 

Penanya kedua, Ibu Len dari P2TP2A menanyakan kenapa butuh banyak saksi untuk kasus pemerkosaan ayah kepada anak. Menurutnya hanya cukup satu saksi untuk memproses hukum kasus semacam itu, yaitu korban tersebut. Ibu Filiphin menjawab bahwa untuk mengubah peraturan perlu proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak. Oleh sebab itulah kenapa kita sangat membutuhkan kerja berjejaring dan saling mendukung kerja masing-masing sehingga suatu saat nanti keadilan bagi korban benar-benar dapat ditegakkan.

Sedangkan penanya terakhir, Aris Rona dari DP3A menanyakan mengapa sulit sekali menangkap pelaku TPPO. Ibu Nur menjawab bahwa kasus penanganan TPPO memakan waktu cukup lama karena penanganan untuk korban tergantung dana dan jarak. Misalkan jika ada kasus di Soe, maka harus menghadirkan saksi dari gereja di Soe.  

Setelah makan siang, lokakarya kembali dilanjutkan. Kali ini dilakukan grup diskusi. Peserta dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan profesi, yaitu LSM, APH, Psikolog dan Relawan. Dari keempat grup diskusi tersebut, kelompok APH yang dipilih untuk melakukan presentasi. Berikut presentasi mereka: 

a) Relawan adalah orang yang bekerja dengan hati secara suka rela untuk kepentingan kemanusiaan. Siapa relawan itu, yaitu setiap orang yang dengan rela memberi diri, pikiran, tenaga dan waktu untuk kemanusiaan. 

b) Manfaat relawan bagi organisasi adalah untuk melindungi masyarakat khususnya perempuan dan anak, serta memberi perlindungan kepada korban kekerasan. Manfaat relawan bagi diri sendiri adalah memenuhi panggilan hati untuk menolong sesama, mendapatkan pengalaman dan agar dapat direkomendasikan untuk mendapatkan beasiswa atau pekerjaan baru. 

c) Prinsip kerja relawan: ikhlas, jujur, memiliki simpati dan empati, memberikan solusi dan tidak menambah masalah baru lagi. Kode etik relawan: tidak boleh memanfaatkan keadaan, atau memanfaatkan korban untuk kepentingan pribadi. 

d) Pembagian tugas dan peran: sesuai dengan SOP, sebagai mediator, memberikan informasi mengenai hukum, kesehatan, hak-hak korban. Kontrak penting untuk dibuat untuk menjelaskan tugas dan tanggung jawab relawan, serta menetapkan waktu kontrak, hak dan kewajiban relawan. 

e) Supervisi penting dilakukan secara teratur untuk meningkatkan kinerja. Sedangkan reward juga penting untuk diberikan sebagai dorongan untuk bekerja lebih baik. Orientasi juga perlu diberikan untuk menambah wawasan dan pengetahuan. 

f) Jejaring perlu dilakukan dengan melakukan kerjasama dari berbagai pihak. Hambatan-hambatan berjejaring antara lain: saingan antar relawan, kurangnya koordinasi dan komunikasi, bekerja tidak mengikuti mekanisme/tahapan kerja, ego sektoral, adanya permasalahan internal yang berpengaruh negatif pada pendampingan dan kerja jejaring, ketidakterbukaan antar jejaring, terkesan ada rebutan kasus, keterbatasan tenaga dan fasilitas, terlalu kaku dan masih kurang dalam memberikan kenyamanan. 

Selesai pemaparan dari kelompok terpilih, Ibu Rika Tadu Hungu menyatakan perlu ada pertemuan selanjutnya untuk membahas SOP dalam penanganan korban dan semua peserta setuju akan hal tersebut agar ada satu pemikiran di antara jejaring dalam penanganan korban. Lokakarya ini kemudian ditutup dengan merefleksikan diri diiringi oleh musik yang menenangkan, dilanjutkan dengan doa penutup dan foto bersama.

Monday, August 5, 2019

Romo Stefanus Ajak Berantas Human Trafficking

Stefanus Hendrianto, SJ, PhD mengecam keras praktik human trafficking yang kian marak di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pernyataan tersebut diungkapkannya dalam acara “Ngopi Ilmu” di Pusat Pastoral Mahasiswa Daerah Istimewa Yogyakarta pada Jumat, 26 Juli 2019 yang lalu.

"Salah satu permasalahan besar bangsa ini adalah human trafficking. Permasalahan ini sangat serius dan meminta keterlibatan kita sebagai umat Allah dan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa ini untuk terlibat menyelesaikannya,” tuturnya.

Setelah resmi ditahbiskan sebagai imam Jesuit pada 8 Juni 2019 di Our Lady of Lavang Church, Portland, Oregon, Amerika Serikat, Romo Stefanus SJ, sapaan akrabnya, mengungkapkan kisahnya dalam menyadari dan menjawab panggilan Allah untuk memiliki misi yang sama seperti Yesus yakni turut ambil bagian dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan di sekitarnya.

 
Romo Stefanus Hendrianto, SJ, PhD sebagai narasumber dalam Ngopi Ilmu pada Jumat, 26 Juli 2019
“Saya menyadari bahwa penderitaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kita dan hanya Tuhan yang sanggup mengakhiri penderitaan karena Tuhan adalah keadilan itu sendiri. Oleh karena itu, mencari Tuhan terlebih dahulu akan memberikan kekuatan untuk mengatasi berbagai penderitaan dan juga mendorong kita untuk terlibat dan ambil bagian dalam menyelesaikan penderitaan tersebut,” tuturnya.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta yang aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan pada zamannya ini mengaku tertarik untuk mendalami panggilan Tuhan untuk menjadi seorang biarawan saat melanjutkan studi doktoral di Amerika Serikat pada tahun 2005.

“Saya masih ingat pengalaman yang paling berkesan dan mengubah jalan hidup saya ketika mengikuti retret di Amerika pada bulan November 2005 lalu. Pada saat itu, saya merasakan Tuhan begitu mencintai pribadi saya secara keseluruhan. Begitu luar biasa dan mengubah kekeringan hati yang selama ini meresahkan saya secara pribadi. Kemudian saya diajak menyimak isi surat Ensiklik ke-2 Paus Benediktus XVI pada tahun 2007 tentang sebuah Harapan,” ujarnya.

Kemudian ia memutuskan untuk masuk ke Novisiat Jesuit di Amerika Serikat pada tahun 2007 dan menerima kaul pertama pada tahun 2011.

“Meskipun sudah menyandang gelar doktor, saya harus kuliah filsafat dengan semua frater S1. Tidak masalah bagi saya karena St Ignatius menggunakan semua kemampuannya menyelamatkan jiwa-jiwa meneladani Yesus meskipun umurnya sudah cukup tua pada saat itu dan kali ini Tuhan memakai saya dan saya mau dipakai oleh Tuhan,” ujarnya.

Tentu tak mudah menjalani semua proses yang dialaminya sebagai seorang Jesuit berkebangsaan Indonesia di tengah-tengah orang asing dengan usia yang jauh lebih muda darinya. Namun, sebuah harapan memampukannya bertahan hingga mendapatkan berkat tahbisan di negara Paman Sam.

Refleksi dari seluruh pengalaman imannya, menurutnya permasalahan hidup di dunia bisa diatasi tanpa frustasi dan bisa menjauhkan kita dari keputusan mengambil jalan pintas sebagai sebuah solusi. Sebuah harapan mampu membawa seseorang menemukan pencarian jati dirinya atas segala keraguan dan kekakuan hati untuk semakin optimis dalam menjalani kehidupan.

“Sikap penuh harapan bagaikan sebuah bara yang tetap hidup dalam api solider untuk mengatasi berbagai persoalan. Hal ini hanya bisa diwujudkan oleh pribadi yang lepas bebas dan merdeka,” ujarnya lagi.

Karya Romo Stefanus, S.J.
Sebagai seorang doktor, Romo Stefanus, SJ telah memberikan sumbangsih besar bagi negara asalnya, Indonesia melalui karyanya yang berjudul "Law and Politics of Constitutional Courts : Indonesia and The Search for Judicial Heroes". Melalui buku ini, ia mendeskripsikan konstitusionalisme komparatif di negara-negara mayoritas muslim, termasuk Indonesia. Gambaran tentang pentingnya kepemimpinan yudisial yang heroik serta pendekatan oleh pengadilan untuk keberhasilannya juga dipaparkan secara terperinci. Ia berharap, karyanya dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan yang berharga untuk mengetahui hukum dan politik Indonesia, hukum konstitusional komparatif dan politik yudisatif komparatif.

Diakhir diskusi, ia mengajak seluruh peserta untuk membuka diri dan terlibat aktif dalam menanggapi panggilan Allah melalui karya masing-masing profesi yang telah dipercayakan melalui sebuah harapan.

“Jangan menutup mata terhadap berbagai permasalahan yang ada di sekitar kita, termasuk permasalahan human trafficking yang juga dialami oleh negara-negara lain. Mari bersama-sama ambil bagian dalam penuntasan permasalahan ini. Saya akan berusaha menyelesaikannya di luar negeri, di Amerika karena saya akan tinggal dan berkarya di sana. Bagi anda-anda sekalian sebagai umat di Indonesia, marilah bersama terlibat karena kita adalah bagian dari bangsa ini dan inilah hal konkret menjawab panggilan Tuhan atas hidup kita," pungkasnya.