Sunday, January 27, 2019

Mencecap Dan Mendalami Buku Romo Kardinal Yulius Darmaatdmadja, SJ


Sahabat Insan mengundang Anda untuk hadir dalam acara:

MENCECAP DAN MENDALAMI
Buku Romo Kardinal Yulius Darmaatmadja, SJ

UMAT KATOLIK DIPANGGIL UNTUK MEMBANGUN NKRI

Bersama Romo Benny Susetyo, Pr dan Romo I. Ismartono, SJ

Selasa, 26 Februari 2019 pukul 11.00 - 15.00 WIB

Sanggar Prathivi Building
Jalan Pasar Baru Selatan 23 - Jakarta Pusat 

Anda berminat?
Silakan mendaftarkan diri melalui WA 0857-1052-6464 atau bit.ly/membangun-NKRI

Salam,
Sahabat Insan 

Wednesday, January 9, 2019

I Have a Voice - Trafficked women in their own words

Pemaparan Dr. Angela Reed (Mercy International Association / Mercy Global Action) dalam Workshop Regional Kamboja, 27-29 November 2018

sumber foto: globalsistersreport.org
Dr Angela Reed, seorang suster Mercy dari Australia, mewakili Mercy International Association / Mercy Global Action di PBB. Sebagai koordinator Mercy Global Action, ia memiliki fokus pelayanan pada perdagangan perempuan dan anak-anak. Reed memperoleh gelar doktornya di RMIT University Melbourne, Australia, dimana risetnya berfokus pada perdagangan manusia dan pengalamannya menangani korban perdagangan manusia untuk eksploitasi seksual. Dr Angela Reed telah menjadi pembicara di berbagai seminar internasional sehubungan dengan isu ini. 

WACANA DOMINAN


Dalam bagian ini, Dr. Angela Reed memaparkan hasil penelitiannya berkaitan dengan perdagangan manusia yang berjudul: A Life Course/Human Rights Approach to Preventing Human Trafficking. Penelitian dilakukan di Cebu, Filiphina dan mencoba melihat pendekatan ideologis bagaimana perdagangan manusia telah dibingkai atau dikemas di seluruh dunia.

Bagaimana perdagangan manusia dibingkai?  Wacana dominan yang sering muncul saat ini adalah tentang globalisasi, ekonomi, migrasi, gender, kejahatan yang terorganisasi, paradigma lokal dan hak asasi manusia. Untuk beberapa orang mereka melihat perdagangan manusia adalah melalui globalisasi, dimana perbatasan antar negara dianggap tidak ada. Pergerakan lintas batas dilihat sebagai hubungan sebab akibat. Literatur menunjukkan bahwa globalisasi telah menguntungkan negara-negara kaya. Wacana lainnya adalah tentang ekonomi. Misalnya meningkatnya permintaan akan PSK murah. Industri ini menghasilkan uang karena membeli ‘bahan baku’ murah dan mengemasnya dengan baik, dan mengubah kerentanan menjadi menghasilkan keuntungan. Hubungan yang melekat antara seks dan uang membuat wanita didorong untuk bekerja di luar negeri dan mengirim uang ke rumah. Untuk itu, perlu dilihat lebih dalam lagi pola migrasi dan akar penyebabnya, dan perlu berhati-hati dalam menggunakan paradigma ini. Wacana lain mengatakan ini adalah fenomena gender, yang mengenali aspek dominan wanita terkait dengan diskriminasi dan kekerasan. Paradigma PBB mengenai perdagangan orang adalah paradigma kejahatan terorganisir dan ini merupakan masalah peradilan pidana. Selanjutnya ada paradigma/budaya lokal yang membuat adanya alasan yang berbeda di tempat yang berbeda akan terjadinya perdagangan orang karena latar belakang budaya. Misalnya di Filipina, berkaitan dengan trafiking, kita dapat melakukan analisa tentang kolonialisme, tentang Katolisitas, dan bagaimana pandangan tentang perempuan dikemas. Di PBB, salah satu tugas yang harus dilakukan oleh Dr. Angela Reed adalah memastikan bahwa kebijakan yang disajikan di sana memiliki wajah hak asasi manusia, dan memiliki pendekatan personal untuk kasus per kasus. Cebu, tempat penelitian dilakukan , adalah kota terbesar kedua di Filipina. Kota yang indah tapi sekaligus salah satu hotspot trafiking. Pendekatan hak asasi manusia untuk trafiking akan hambar dan tanpa arti jika tidak melibatkan inti pokok masalah dan mendengarkan suara-suara perempuan korban perdagangan manusia. Suara mereka bukan hanya tentang hak dan kesempatan untuk berbicara, namun juga merupakan partisipasi dari orang yang lemah / korban untuk bersama-sama turut bekerja memerangi ketidakberdayaannya. Bukan hanya untuk ketersediaan informasi, namun juga untuk diperhitungkan oleh negara agar memperhatikan nasib mereka.

I HAVE A VOICE – trafficked women – in their own words merupakan buku karya Dr Angela Reed RSM dan Marietta Latonio RSWSelama tujuh tahun, mereka bekerja dengan 40 wanita Filipina yang diperdagangkan untuk eksploitasi seksual di provinsi Cebu, Filipina.

Kisah-kisah perempuan, yang diceritakan dengan kata-kata mereka sendiri, mengungkapkan penindasan yang menyeramkan dan terstruktur dari para perempuan muda yang menjadi tempat berkembangnya perdagangan seks, memutarbalikkan visi perdagangan manusia yang yang selama ini populer dan sensasional sebagai penculikan dan penindasan.

Alih-alih menjadi sasaran tindakan kejahatan secara acak, para wanita di I Have a Voice mengungkapkan proses kejahatan dimulai secara lambat sejak masa kanak-kanak, pengalaman yang membuat mereka mudah menjadi mangsa para pedagang manusia.

Selama menulis buku ini, Dr Angela Reed menyadari sebuah kenyataan bahwa perdagangan adalah hasil dari tindakan kumulatif yang terjadi di sepanjang kehidupan. Bagi gadis-gadis muda yang diperdagangkan tersebut, ini bukan pertama kalinya mereka dianiaya. Tingkat kerentanan akan berbeda sesuai dengan yang mereka alami sejak masa kecilnya. Gadis-gadis muda ini memberi kita wawasan kunci tentang kerentanan terhadap perdagangan manusia dan mendobrak pandangan umum bahwa perdagangan manusia adalah tindakan kejahatan yang terjadi secara acak. Penulis telah bertemu dengan korban perdagangan manusia, tetapi tidak ada satu pun yang berubah. Jika kita hanya membingkai perdagangan manusia dari sisi itu, maka akan banyak celah bagi korban untuk jatuh ke tempat yang sama. Sebagian besar gadis muda ini adalah mereka yang telah mengalami pelecehan seksual dan fisik sejak awal,  perampasan masa kecil. Banyak ibu harus pergi ke luar negeri. Mereka meninggalkan rumah dan meninggalkan anak-anak dengan orang lain, sehingga anak-anak menjadi sangat rentan.

Karena edisi cetak buku ini telah habis, maka isi dari buku ini dapat diunduh di link https://www.ourcommunity.com.au/ihaveavoice

KONDISI KEHIDUPAN YANG OPTIMAL

Kondisi hidup yang optimal ditentukan oleh tiga cluster/pengelompokan:

1  MASA KECIL
  •         Standar hidup yang layak, sehingga tidak memaksa anak-anak untuk meninggalkan sekolah dan mencari uang,
  •         Rasa kemanusiaan dan saling memiliki dalam keluarga, dengan memberikan memori baik di masa kanak-kanak mereka,
  •         Kualitas pendidikan, dengan memberikan pendidikan setinggi-tingginya,
  •         Kenyamanan, keamanan, dan kesehatan emosional,
  •         Hubungan sosial dan komunitas yang baik di masa kecil,
  •         Persamaan gender, tidak membedakan perlakuan kepada anak lelaki dan perempuan.
2. MASA REMAJA
      Kesehatan psiko-sosial dan pengembangan diri,
      Ketrampilan dan kapabilitas,
      Keterlibatan sosial,
      Pemberdayaan ekonomi.

3. MASA DEWASA
  •          Pekerjaan yang layak dan pemberdayaan ekonomi,
  •          Kebersamaan dalam komunitas dan juga kepercayaan diri,
  •          Penentuan jati diri,
  •          Rasa peduli dan kasih sayang kepada sesama.

PANDUAN PENCEGAHAN: MARTABAT YANG MELEKAT

Upaya-upaya untuk memerangi perdagangan manusia telah dimulai dari pandangan sempit tentang perdagangan manusia sebagai masalah peradilan pidana, dengan fokus pelaku perdagangan dan pada tingkat yang lebih rendah: melindungi para korban. Jarang yang memperhatikan faktor-faktor sosial ekonomi sebagai akar masalah.


Upaya intervensi harus bergerak ke hulu sehingga pencegahan bahaya terjadi di tempat pertama. Undang-undang dan advokasi anti-perdagangan manusia saat ini terus memberi terlalu sedikit perhatian pada akar penyebab dari eksploitasi ini. Kurangnya penekanan pada pencegahan mencerminkan gagasan populer bahwa 'penyelamatan' adalah apa yang dibutuhkan.Mengingat besarnya kekurangan sosial ekonomi di berbagai bagian dunia, mudah untuk mengabaikan panggilan untuk strategi pencegahan substantif yang terlalu tinggi atau tidak praktis. Tetapi kenyataan bahwa jutaan nyawa tetap berisiko untuk perdagangan manusia menuntut kami menerima tantangan ini. ”(Chuang p.155)

Sebagai penutup dikutip pernyataan dari Paus Fransiskus:
“Harus diakui bahwa sangat sedikit yang telah dilakukan untuk mengatasi "mengapa" banyak anak muda ditipu atau dijual untuk perdagangan dan perbudakan ... Permintaan dan pasokan, pada gilirannya, berakar dalam pada tiga masalah besar konflik dan perang, ekonomi privasi dan bencana alam, atau apa yang dialami para korban sebagai kemiskinan ekstrem, keterbelakangan, pengucilan, pengangguran dan kurangnya akses ke pendidikan”

Monday, January 7, 2019

Implementasi Global Compact On Refugees (GCR) dan Global Compact On Migration (GCM)

Dari workshop regional Kamboja, 27-29 November 2018



“WELCOME, PROTECT, PROMOTE  AND INTEGRATE” 

Ini adalah semangat yang diusung oleh JRS Kamboja sebagai penyelenggara dalam Workshop Regional Tentang Pengungsi, Migran dan Orang Tanpa Kewarganegaraan (Stateless) dengan tema: "Era Baru: Bagaimana Cara Masyarakat Sipil Merespon Secara Kreatif?"


Meningkatnya jumlah orang yang bermigrasi dengan berbagai latar belakang membuat tatanan dunia menjadi berubah. Saat ini, tercatat 68,5 juta orang di dunia meninggalkan tempat asalnya secara paksa: 40 juta diantaranya berpindah wilayah dalam satu negara, 25,4 juta pengungsi, dan 3,1juta pencari suaka (data UNHCR). Dari pengungsi dan pencari suaka, 3,9juta diantaranya tidak memiliki kewarganegaraan (stateless). Sekitar 40% dari orang-orang tanpa kewarganegaraan di dunia berasal dari Asia Pasifik, yang terdiri atas sebagian besar orang Rohingnya.  Bagaimana reaksi masyarakat dunia terhadap masalah yang terus berkembang ini?


GLOBAL COMPACT ON REFUGEES dan GLOBAL COMPACT ON MIGRATION (GCM) 
GCR dan GCM adalah sebuah kesepakatan internasional yang lahir dari Deklarasi New York 2016 untuk Pengungsi dan Migran, yang meletakkan dua kerangka kerja yang terpisah tetapi terkait untuk negara-negara untuk menanggapi gelombang besar migrasi yang terjadi di dunia saat ini. Dua Global Compacts tersebut membantu menyatukan bangsa-bangsa untuk berbagi tanggung jawab dan menciptakan tanggapan yang berperikemanusiaanKedua perjanjian bersifat sukarela, dan bukan instrumen yang mengikat secara hukum.
Mengapa dibedakan antara pengungsi dan migran? Karena meskipun keduanya adalah kelompok orang yang tinggal di luar asal mereka, ada perbedaan penting antara istilah "pengungsi" dan "migran." PENGUNGSI adalah orang-orang yang berpindah dari tempat asalnya karena alasan ketakutan akan penganiayaan, konflik, kekerasan umum, atau keadaan lain yang secara serius mengganggu ketertiban umum dan, sebagai akibatnya, membutuhkan perlindungan internasional (1951 Convention and regional refugee instruments, as well as the Statute of the United Nations High Commissioner for Refugees.)
Walaupun tidak ada definisi hukum resmi dari seorang migran internasional, sebagian besar ahli sepakat bahwa MIGRAN INTERNASIONAL adalah seseorang yang berpindah tempat tinggal, terlepas dari alasan migrasi atau status hukum. Secara umum, perbedaan dibuat antara migrasi jangka pendek atau sementara, mencakup pergerakan dengan durasi antara tiga dan 12 bulan, dan migrasi jangka panjang atau permanen, merujuk pada perubahan negara tempat tinggal selama satu tahun atau lebih. 

Fenomena mega-tren Asia ini menjadi latar belakang diadakannya workshop ini, yaitu untuk mengumpulkan para aktivis / pemerhati dari kawasan Asia Pasifik, untuk berefleksi dan berbagi tentang kebutuhan mereka di masing-masing negara dan bagaimana cara memenuhi kebutuhan tersebut secara efektif, dengan fokus besarnya adalah GCR dan GCM,  dan bagaimana masyarakat umum dapat mempromosikan dan menerapkannya. Workshop ini sendiri diikuti oleh hampir 50 peserta dari berbagai organisasi dari berbagai negara, antara lain JCAP Migration Network (Korea, Taiwan, Jepang, Indonesia), Caritas Thailand, JRS Asutralia, Mercy Youth Australia, Solidarity Center Kamboja, dan lain sebagainya, serta menghadirkan pembicara antara lain Menteri Dalam Negeri Kamboja Excellency Yin Malyna, Alistair Boulton dari UNHCR RO Bangkok, Brett Dickson dari IOM Project Manajer, Phnom Penh, Chris Lewa dan Dr. Emma Leslie dari Benny Hari Juliawan, SJ dari Sanata Dharma Indonesia, Anne Maureen dari SNAP Philiphina, Dr Angela Reed dari Mercy International Association UN,  serta Carolina Gottardo dari JRS Australia.  
(sumber: facebook JRS Cambodia)
GCR sendiri dibuat dengan untuk berbagi tanggung jawab perlindungan pengungsi di seluruh negara di dunia dengan cara:
  1. Mengurangi tekanan di negara tujuan,
  2. Meningkatkan kemandirian pengungsi yang memungkinkan mereka untuk bekerja, memungkinkan mereka untuk pergi ke sekolah, bergerak di luar rasa takut dan keinginan untuk mengendalikan,
  3. Memperluas akses ke solusi negara ketiga - Pilihan untuk pengungsi adalah 1 - mengintegrasikan secara lokal, 2 - pulang, 3 - bermukim kembali di negara lain,
  4. Mendukung kondisi di negara-negara asal untuk pengembalian yang aman dan bermartabat- Ini sangat penting untuk menciptakan solusi berkelanjutan bagi krisis pengungsi.
ORANG TANPA KEWARGANEGARAAN (STATELESS)
(sumber: facebook JRS Cambodia)
Dari fenomena migrasi besar-besaran ini, kemudian lahir masalah baru yang akhir-akhir ini cukup menjadi perhatian dunia, yaitu status tanpa kewarganegaraan (statelessness). Stateless adalah seseorang yang "tidak dianggap sebagai warga negara oleh negara manapun di bawah hukum yang berlaku” UNHCR memperkirakan bahwa setidaknya 10 juta orang di seluruh dunia tidak memiliki kewarganegaraan, dan sekitar 40 persen dari populasi tanpa negara yang teridentifikasi hidup di kawasan Asia PasifikUNHCR lebih memperhatikan masalah ini dalam beberapa tahun terakhir, dan berusaha untuk mengakhiri statelessness pada tahun 2024 – 2030.  Faktor-faktor penyebab stateless ini antara lain adalah:
  • Pengecualian secara hukum, politik dan sosial untuk kaum minoritas yang dianggap bukan manusia yang legal  
  • Adanya Praktek diskriminatif di perbatasan, termasuk jenis kelamin.
  • Kurang lengkapnya sistem pencatatan sipil, termasuk di wilayah yang sulit dijangkau.
  • Migrasi baik dalam negeri maupun lintas negara, termasuk anak-anak migran yang tidak berdokumen.
  • Hidup di perbatasan dan gaya hidup berpindah-pindah, misalnya populasi nomaden laut
  • Adanya kesenjangan perlindungan yang tidak memadai dalam undang-undang negara.
Dalam workshop ini, dihadirkan 2 lembaga pemerhati masalah stateless, yaitu Peter McMullin Center On Stateless - Melbourne Law School dan SNAP (Statelessness Network of Asia Pacific). 
Diluncurkan pada Maret 2018, Peter McMullin Center On Statelessness di Melbourne Law School bertujuan melakukan kegiatan penelitian, pengajaran dan keterlibatan di Australia, Asia Pasifik, dan yang sesuai lebih luas, dengan fokus pada:
  1. Memahami dengan benar ruang lingkup, skala dan alasan statelessness dalam rangka mengembangkan respond dan target yang efektif;
  2. Bekerja untuk mengurangi dan, seiring waktu, menghilangkan status tanpa kewarganegaraan; dan
  3. Bekerja untuk melindungi hak asasi manusia orang-orang tanpa kewarganegaraan di negara-negara di mana mereka tinggal.
(sumber: facebook JRS Cambodia)
Beberapa inisiatif awal yang sudah dilakukan lembaga ini adalah: Jurnal Online The Statelessness and Citizenship Review, bekerja sama dengan Institute on Stateslessness and Inclusion; beasiswa PhD dan skema Visiting Fellow; Statelessness Intensive Course pada Februari 2019.

SNAP sendiri merupakan koalisi masyarakat sipil yang dibentuk pada saat diselenggarakan the Conference on Addressing Statelessness in Asia and the Pacific tanggal 24 - 26 November 2016 di Kuala Lumpur, Malaysia, yang bekerja sama untuk mengatasi permasalahan statelessness di wilayah ini. Sampai saat ini, lebih dari 300 organisasi dan para ahli, dengan sekitar 50 organisasi dan individu yang aktif terlibat dalam Kegiatan SNAP, antara lain: organisasi berbasis komunitas akar rumput; LSM nasional dan regional; akademisi dan peneliti; pengacara berpengalaman; dan orang tanpa kewarganegaraan dan orang-orang yang sebelumnya tanpa kewarganegaraan. Program yang selama ini sudah dilakukan adalah: kerjasama dengan badan-badan hak asasi manusia (UPR - Jepang, Malaysia, Bangladesh, Cambodia, Viet Nam dan Brunei dan juga komite CEDAW - Nepal); menyediakan dukungan teknis untuk anggota untuk mengembangkan dan melaksanakan kegiatannya dalam bentuk penggalangan dana, analisis hukum, program fellowship, dll; penguatan kapasitas dengan cara menyelenggarakan webinar yang menyoroti masalah statelessness yang terbuka untuk public. Selain itu juga dilakukan diskusi online, WhatsApp Grup, untuk akses yang lebih mudah antar anggota dan berbagi informasi dan peluang, dan menghasilkan dan mengembangkan sumber daya untuk bertindak berbasis data dalam menangani statelessness. SNAP telah berkolaborasi dengan anggota dan mitra untuk melaksanakan tiga proyek penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan solusi untuk statelessness di Asia Pasifik. 

GLOBAL COMPACT ON MIGRATION
Menurut IOM, definisi Migran adalah siapa saja yang telah berpindah melintasi perbatasan internasional atau wilayah di negara mereka, terlepas dari status hukum mereka, terlepas apakah perpindahan itu dilakukan secara sukarela atau tidak, terlepas penyebab kepindahan, dan lamanya tinggal. Berdasarkan statistik, 1 milyar dari 7 milyar penduduk dunia (1 dari 7 orang di dunia) adalah migran: 250 juta migran internasional (berpindah lintas negara) dan 760 juta migran internal (berpindah antar wilayah dalam satu negara). Tiga negara asal teratas yang warganya tinggal di luar negeri adalah: India, Cina dan PhillipinaSedangkan lima negara tujuan teratas di kawasan Asia Pasifik adalah: Rusia, Australia, India, Pakistan dan Thailand.

GLOBAL COMPACT ON MIGRATION (GCM)  merupakan kesepakatan antar pemerintah yang membahas tentang migrasi internasional yang berisi:
  • žPerjanjian komprehensif pertama antar negara yang membahas tentang tata kelola migrasi internasional melalui negosiasi antar pemerintah
  • Kerangka pemersatu dan seperangkat prinsip umum, tujuan dan tindakan pada semua aspek, melihatnya dari perspektif pengembangan kemanusiaan.
  • ž23 Tujuan yang mencakup semua aspek migrasi
  • Cetak biru tentang bagaimana negara dapat mengelola migrasi dan bekerja sama untuk mengelola migrasi terampil melalui program yang tepat dll.

Masalah yang biasa dihadapi di negara tujuan biasanya adalah masalah perubahan demografis, migrasi tidak teratur, kekurangan tenaga kerja, dan xenofobia (ketakutan akan adanya orang asing) serta eksploitasi.  Sedangkan di negara asal, masalah yang sering muncul adalah masalah dokumentasi, pengangguran, migrasi tidak teratur, penyelundupan, perdagangan manusia, kemiskinan dan perubahan iklim. 
23 Tujuan GCM tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori: 
  1. Melindungi hak asasi migran dengan cara mereview mekanisme perekrutan pekerja, menyediakan akses pelayanan migrasi, memberdayakan migran untuk aktif menyuarakan haknya dll.
  2. Mengurangi migrasi paksa, dengan cara meminimalkan faktor pendorongnya, meningkatkan jalur migrasi reguler, menciptakan kondisi pembangunan yang kondusif, meningkatkan akses ke institusi keuangan, menyediakan jaminan sosial dll.
  3. Memperbaiki manajemen migrasi dengan menggunakan data dan informasi akurat, menjamin kelengkapan data diri dan identitas hukum, menurunkan kerentanan migran di negara asal, transit dan tujuan, meningkatkan perlindungan migran dll). 
  4. Meningkatkan keamanan migrasi, dengan melakukan pencegahan atas kematian, cedera, penyelundupan, perdagangan manusia dan meningkatkan proses integrasi.
Walaupun proses pembuatan GCM dan GCR dilakukan secara terpisah, berbeda, dan independen, namun tetap ada ruang untuk berdiskusi agar kesepakatan ini bisa saling melengkapi yaitu tentang: 
  1. Kepastian perlindungan
  2. Komitmen di bawah hukum Internasional untuk pengungsi yang tidak dapat ditawar-tawar lagi
  3. Berbagai jenis aliran migrasi dan kerentanannya
  4. Situasi di perbatasan, saat transit dan saat kembali serta status mereka dapat berubah setiap saat
  5. Gerakan lintas kategori
  6. Penerapan perlindungan di luar perlindungan internasional
  7. Regulasi dan jalur pelengkap
  8. Perpindahan yang disebabkan oleh iklim
  9. Masyarakat sipil dan mereka yang memiliki pengalaman bermigrasi.
REKOMENDASI
Setelah selama 3 hari para pembicara dan peserta berdiskusi dan memperkaya materi, pada hari terakhir dihasilkan 5 rekomendasi tindakan sebagai berikut:


UNTUK PARA PENGUNGSI DAN PENCARI SUAKA
Para pencari suaka dan pengungsi di wilayah ini menghadapi berbagai macam masalah yang signifikan. Beberapa di antaranya adalah dokumentasi, penentuan status pengungsi, penahanan, pendidikan dan kesehatan, mata pencaharian, pendapatan dan diskriminasi. 

Hal yang direkomendasikan adalah:
  1. Membaca dan memahami GCR melalui pendidikan dan pelatihan di komunitas kita masing-masing. 
  2. Berkolaborasi dengan jejaring dan para pemangku kepentingan lainnya, misalnya APPRN, ASEAN, Gereja dll. 
  3. Advokasi untuk mempromosikan dan mendukung repatriasi sukarela yang aman dan bermartabat, mencari lebih banyak solusi dari pihak ketiga, memperjuangkan hak untuk bekerja untuk integrasi yang bermartabat serta mendorong dukungan untuk negara penerima pengungsi terbesar.
STATELESS / ORANG TANPA KEWARGANEGARAAN
Stateless people adalah orang yang tidak diakui secara legal sebagai warganegara oleh negara manapun, dengan mayoritas pemerintah enggan bertindak karena politisasi masalah ini. Sangat sedikit negara telah meratifikasi konvensi internasional untuk mengurangi statelessness.



Rekomendasi:
  1. Peningkatan penelitian tentang jumlah orang tanpa kewarganegaraan di wilayah tersebut, termasuk pemetaan populasi mereka, 
  2. Menjangkau komunitas orang-orang tanpa kewarganegaraan,
  3. Lobi dengan pemerintah daerah dan pusat untuk meningkatkan perlindungan dan identifikasi orang tanpa kewarganegaraan dan pemberian kewarganegaraan, 
TRAFFICKING/PERDAGANGAN MANUSIA
Trafficking adalah sebuah isu yang menimbulkan malapetaka di daerah kita sehingga menunjukkan pentingnya perlindungan migran. Sejumlah besar tindakan yang berkaitan dengan isu trafiking telah dan sedang dilakukan, namun masih banyak hal yang perlu dibenahi.


Rekomendasi:
  1. Mendukung mekanisme pencegahan seperti: pendidikan, inisiatif pelatihan kejuruan berkualitas untuk komunitas yang lebih miskin. 
  2. Mendengarkan suara-suara penyintas dan korban, serta menerjemahkan kisah-kisah ini menjadi kebijakan aktif,
  3. Meningkatkan upaya re-integrasi LSM dan pengurangan stigmatisasi
MIGRASI
Pekerja migran menghadapi masalah-masalah signifikan: deportasi, kriminalisasi, kerentanan terhada perdagangan dan eksploitasi. Pada saat yang sama, migrasi juga bisa menyebabkan kehancuran keluarga. Namun penting untuk dicatat bahwa migrasi juga bisa memberikan banyak keuntungan.


Rekomendasi:
  1. Mengurangi biaya migrasi dan target broker,
  2. Meningkatkan perjanjian internasional dan bilateral pada perlindungan migran dan keluarga mereka. 
  3. Advokasi untuk pembangunan pedesaan domestik untuk mengurangi migrasi tenaga kerja yang tidak diinginkan.
GLOBAL COMPACT
Dua global compact (GCR dan GCM) merupakan aksi kolaboratif internasional yang dalam beberapa cara dapat mengarahkan langkah atas isu yang didiskusikan di atas. Upaya yang kuat untuk melakukan advokasi diperlukan dari masing-masing negara untuk menjamin bahwa mereka telah meratifikasi dokumen tersebut.

Rekomendasi:
  1. Meningkatkan pemahaman atas kedua Global Compact tersebut melalui workshop, pelatihan dan lain sebagainya.
  2. Lobi untuk meratifikasi kedua global compact ini baik di negara asal maupun negara tempat bekerja saat ini,
  3. Aktif menyuarakan di berbagai forum untuk memastikan bahwa setiap kebijakan diterapkan dalam program pemerintah masing-masing negara.