Wednesday, December 24, 2014

Peduli Lingkungan, Peduli Kabar Gembira


Ekopastoral. Kata ini kedengarannya asing bagi kalangan umat pada umumnya, namun perlu untuk dikenal, dipahami dan dilaksanakan. Ekopastoral merupakan karya pastoral yang berpihak pada kehidupan dan alam ciptaan. Memperjuangkan keseimbangan alam yang semakin hari semakin rusak oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Hutan-hutan yang dulu menjadi pelindung, pengayom dan peneduh saat ini sudah banyak disulap menjadi kebun kelapa sawit yang sangat merusak ekosistem di hutan tersebut. Padahal ini hanya untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya. Penanaman pohon kelapa sawit sangat merusak tanah. Tujuan ekopastoral adalah mendidik diri sendiri dan sesama untuk mendayagunakan seluruh ciptaan secara nalar untuk mencapai tujuan kita diciptakan. ]]

Beberapa waktu yang lalu kami JPIC se-regio Jawa mengadakan pertemuan rutin untuk evaluasi dan menyusun program untuk tahun 2015. Pertemuan diadakan di sebuah dusun yang sangat asri dan sejuk, di atas bukit yang dikelola oleh Romo Eko OCarm bersama masyarakat Cibatu Belah desa Salem kabupaten Purwakarta Jawa Barat. Letak dusun tersebut 11 km dari kota Purwakarta. Untuk menuju ke lokasi tersebut kami harus berjalan kaki, dengan kondisi jalan yang menanjak dan berbatu-batu, dan jika hujan jalanan tersebut menjadi sangat licin. Di atas bukit yang luas areanya 21 hektar ini berdirilah tiga buah pondok yang sangat sederhana, dengan berdinding bambu dan beralas tanah. Tempat ini biasa dipergunakan untuk anak-anak rekoleksi dan live in untuk melatih hidup bermasyarakat dan mencintai lingkungan hidup. Menurut keterangan Rm. Eko, tempat tersebut sengaja dibuat demikian supaya tetap menjaga kelestarian alam dan ekosistem di desa tersebut.



Ketua JPIC se-regio Jawa Pastor Aleks Dato SSCC sengaja memilih tempat yang sangat sederhana dan asri untuk pertemuan kami, berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya yang biasanya diadakan di tempat yang nyaman, aman dan fasilitas serba ada, dengan maksud agar kami juga mengenal dan memahami lebih dekat kondisi masyarakat Cibatu Belah yang rentan dengan masalah-masalah sosial sehingga memicu para penduduknya terutama kaum wanita untuk mengadu nasib ke negeri orang. Narasumber pertemuan tersebut adalah Romo Koko, Pr dari Komisi Migran dan Perantau KWI. Beliau memberikan pelatihan dengan memperdalam Ajaran Sosial Gereja serta aplikasinya dengan masalah yang saat ini kita hadapi, terutama Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan (GATK) yang selalu marak di kalangan masyarakat baik di desa maupun di kota. Setelah itu kami juga diajak untuk melakukan analisa sosial SWOT, yang akan digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor serta merumuskan strategi yang tepat bagi organisasi. Pertemuan tersebut dihadiri oleh perwakilan JPIC yang ada yaitu suster-suster Ursulin, OP, Tarakanita/CB, bruder-bruder RGS, PI, MTB, OMI, O Carm, OFM, SSCC, SSPS, SND, serta wakil dari Keuskupan Bandung, Keuskupan Purwokerto dan Keuskupan Semarang.

Masyarakat Cibatu Belah sangat rentan mengalami kawin-cerai karena masalah ekonomi yang menghimpitnya. Walaupun daerah itu sangat subur lahan perkebunan maupun persawahannya, namun generasi mudanya tidak banyak yang mau menggarap lahan tersebut dengan alasan yang sangat klasik, yaitu faktor ekonomi. Mereka lebih tertarik untuk mengadu nasib menjadi TKI di Malaysia untuk mengejar ringgit yang nilai tukarnya terhadap dollar lebih tinggi daripada rupiah. Namun kenyataannya hal itu tidak terlalu mampu meningkatkan kondisi ekonomi mereka, sehingga akhirnya banyak masyarakat yang berangkat ke Arab Saudi, Abu Dhabi, Oman dan negara – negara  Timur Tengah lainnya untuk mencapai taraf hidup yang lebih tinggi. Memang, jika melihat rumah-rumah bagus di daerah tersebut yang di halaman rumahnya  ada kendaraan baik mobil maupun sepeda motor, sudah dapat dipastikan bahwa anggota rumah tersebut pasti ada yang menjadi TKI di negara-negara Timur Tengah.  Namun sebaliknya, tidak sedikit juga dari mereka yang mengalami penderitaan yang sangat memprihatinkan, sehingga sebenarnya menjadi TKI bukan selalu merupakan pilihan yang tepat.

Dalam acara pertemuan tersebut, ada sesi bertatap muka dengan dua orang mantan TKW asal daerah Cibatu Belah. Salah satu dari mereka bernama Teh Siti. Ia sudah dua tahun menjadi TKW di Arab dan menurut kesaksiannya ia mendapatkan majikan yang baik, tidak pernah membentak maupun menyiksanya. Namun Teh Siti tidak pernah mendapat hari libur dan istirahat yang cukup. Ia tidak tahu dan tidak menyadari bahwa hal semacam ini termasuk kekerasan dan  pelanggaran hak asasi manusia . Hal yang demikian ini ia jalani selama 2 tahun sampai kontrak kerjanya selesai. Kemudian ia tidak mau memperbaharui kontraknya lagi lalu pulang ke tanah air.. Lain lagi kisah Teh Yuni. Dulu ayahnya menjadi TKI dan meninggal di Arab, namun jenasahnya tidak boleh dibawa pulang. Waktu kejadian  itu ia masih kelas 2 SLTP di Purwakarta. Menurut kesaksiannya, majikan ayahnya mengatakan bahwa jika jenazah dikembalikan ke tanah air, maka organ-organ tubuhnya akan diambil semua sehingga akan sampai di tanah air dalam keadaan tidak utuh lagi. Karena alasan tersebut, maka keluarga akhirnya memutuskan untuk menguburkan jenazah ayahnya di Arab. Seiring berjalannya waktu, mereka akhirnya curiga dan berpikir jangan-jangan walaupun jenazah tidak dibawa pulang, organ tubuhnya juga tetap diambil karena tidak ada yang mengawasi. Inilah kisah-kisah memilukan yang mereka alami.

Dengan keprihatinan ini maka tergeraklah hati mereka berdua untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat di dusun Cibatu Belah bersama tim ekopastoral.  Awalnya gerakan ini sedikit menemui kendala, karena daerah tersebut penduduknya 100% muslim sehingga tidak kenal dengan kaum religius Katolik. Namun pelan-pelan Romo Eko berhasil melakukan pendekatan dengan masyarakat sekitar sehingga mereka bisa diterima, meskipun tetap ada tantangan dan rintangan. Pendekatan juga dilakukan dengan tokoh masyarakat, tokoh agama dan bahkan dengan preman - preman kampung. Dengan tekad dan ketulusan hati untuk berbagi dan menjadi saudara, maka tembok yang tebal pun akhirnya dapat ditembus. 

Pembelian lahan yang saat ini ditempati pun tidak lepas dari kendala. Di lahan yang berbentuk perbukitan tersebut, ternyata terdapat mata air yang sangat berguna untuk kelangsungan hidup sebagian masyarakat Purwakarta. Lahan tersebut sudah lama diincar oleh sebuah perusahaan air minum. Mereka sudah menawarkan harga 2 kali lipat dari harga yang telah disepakati oleh tim ekopastoral. Namun karena pendekatan yang sangat bagus dengan masyarakat, maka pihak pemerintah kabupaten Purwakarta mempercayakan lahan tersebut kepada tim ekopastoral. Pemerintah percaya bahwa jika lahan tersebut dikelola oleh mereka, maka airnya tidak akan habis dan pohon-pohonnya akan terpelihara dengan baik.



Dengan menghimpun masyarakat dusun Cibatu Belah, Romo Eko dan timnya memberdayakan masyarakat dengan cara membentuk Lembaga Keuangan Ekonomi Masyarakat yang dipimpin oleh Teh Siti. Lembaga tersebut berbentuk koperasi simpan pinjam. Mereka juga melaksanakan program menggarap sawah dengan sistem bagi hasil, yang bibitnya dan hasil panennya dikelola oleh lembaga. Kegiatan ini diharapkan dapat membantu meningkatkan ekonomi masyarakat setempat dan mengurangi keinginan mereka untuk menjadi TKI di negeri orang. Selain itu kegiatan ini juga dapat mengajak mereka untuk peduli lingkungan dan alam sekitarnya. Mengabdi, memuji, menghormati dan mencintai Allah melalui sesama, dan dengan demikian menyelamatkan jiwa.

Jakarta Penghujung tahun 2014
Berkah Dalem


Sr. Laurentina PI

Tuesday, December 23, 2014

53 calon pekerja migran yang "singgah" di RPTC



Pada tanggal 5 Desember 2014, Sahabat Insan berkunjung ke Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Dinsos Jakarta. Sebanyak 53 perempuan calon pekerja migran ditampung oleh pemerintah. Kebanyakan mereka berasal dari Jawa Barat namun ada juga yang berasal dari Medan dan NTT.

Terik matahari tidak mengurungkan niat kami untuk berkunjung saat itu. Sesampainya di sana, kami meminta izin kepada petugas untuk menemui para korban. Tak disangka, kunjungan kami bersamaan dengan kegiatan mingguan yang diadakan oleh RPTC. Petugas mengijinkan kami untuk bergabung dalam kegiatan mereka. Para calon pekerja migran sudah bersiap untuk mengikuti pelatihan memasak. Mereka dibagi menjadi kelompok kecil untuk mempermudah pelatih dalam memberi arahan. Pertemuan kali itu, mereka dilatih untuk membuat klepon. Mereka sangat antusias dalam membuat jajanan tradisional tersebut. Seakan tak mau kalah, kami juga ikut membuat bulatan adonan klepon. Pelatihan memasak berlangsung selama kurang lebih satu jam. Setelah adonan matang, kami diijinkan untuk mencoba klepon buatan mereka.

 
Para calon pekerja migran sedang mengikuti pelatihan memasak



Pelatihan pun dilanjutkan dengan makan siang. Sembari menyatap makanan, kami mengobrol dengan santai. Mereka sangat ramah dan memiliki semangat hidup yang tinggi. Meski pun telah dipermainkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, mereka tetap memberikan senyum  terbaik mereka untuk kami.    


Makan siang seusai pelatihan memasak


Pada tanggal 8 Oktober 2014, 53 calon pekerja migran tersebut berangkat ke Malaysia. Mereka dijanjikan pekerjaan di Timur Tengah oleh sebuah agen abal-abal. Sesampainya di Malaysia, mereka ditampung di sebuah apartemen milik agen tersebut. Tak banyak yang mereka lakukan di sana. Cita-cita untuk memiliki kehidupan yang lebih baik tidak berbanding lurus dengan kenyataan. Apartemen tempat mereka tinggal digerebek oleh kepolisian Malaysia. Mereka diinterograsi oleh pihak berwajib. Kemudian, mereka dibawa ke rumah perlindungan milik pemerintah Malaysia. Dua minggu berlalu, mereka dibawa kembali ke kepolisian setempat dan dipindahkan ke bangsal wanita.

Mereka merasa tidak diperlakukan dengan baik di tempat yang mereka sebut bangsal. Pertama kali mereka menginjakkan kaki, petugas memerintahkan mereka untuk berjalan dalam posisi jongkok. Setiap pagi, mereka harus ikut bernyanyi lagu kebangsaan Malaysia. Mereka hanya mendapat biskuit dan teh manis untuk sarapan. Mereka juga hanya mendapat nasi dengan lauk yang seadanya untuk makan siang dan makan malam. “Rasanya ingin cepat-cepat keluar dari sana, Mbak!” ungkap salah satu korban. Tujuh hari berlalu, mereka akhirnya dipulangkan ke Indonesia. Betapa senangnya mereka mendapat kabar tersebut. Karena jumlah mereka yang tidak sedikit, penerbangan dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama tiba di Indonesia pada tanggal 29 November 2014 dan sisanya pada tanggal 3 Desember 2014.

Sesampainya di Indonesia, mereka dibawa ke Rumah Perlindungan Trauma Center. Saat itu, mereka masih dalam proses penyelidikan oleh pihak kepolisian. Pengalaman yang mereka rasakan sudah lebih dari cukup. Mereka mengurungkan niat untuk menjadi pekerja migran di luar negeri. Mereka mengungkapkan bahwa sesederhana apa pun rumah mereka jauh lebih nyaman dibandingkan dengan ruangan yang berjeruji besi. Mereka hanya ingin tinggal dekat dengan keluarga. Bahkan, mereka sudah memiliki rencana untuk membuka usaha di kampung halaman. Mereka sangat berharap akan segera dipulangkan dalam waktu dekat. Semoga keinginan mereka segera terwujud ya, Sahabat!  

Monday, December 22, 2014

Proficiat Suster Eugenia

Sahabat Insan mengucapkan selamat kepada Sr. Eugenia, PBHK, salah satu relawan Sahabat Insan, yang saat ini telah menyelesaikan kuliahnya di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa / APMD Jurusan Ilmu Sosiatri (pembangunan masyarakat) dengan kekhususan Pekerjaan Sosial, dan diwisuda pada hari Sabtu tanggal 29 November 2014 yang lalu dengan predikat Cum Laude serta menjadi Lulusan Terbaik.




Sr, Eugenia mulai bergabung dengan Sahabat Insan (SI) pada bulan Desember 2007, saat SI memulai pelayanannya untuk lebih memperhatikan pendidikan tingkat dasar dan menengah bagi korban-korban tsunami di Aceh. Beberapa program berkaitan dengan tsunami yang telah dijalankan oleh suster yang selalu energik ini antara lain: program beasiswa bagi murid SD dan SMP, pemberian bantuan perlengkapan sekolah (seragam, sepatu, tas, sepeda dll), pembangunan rumah tahan gempa untuk beberapa lembaga sosial dan renovasi sekolah.

Di samping memberikan perhatian kepada para korban tsunami, melalui SI Suster Eugenia juga secara aktif mendampingi buruh migran yang sedang menderita dan tidak ada yang memberikan pertolongan. Beliau kerap memberikan semangat kepada pasien-pasien TKI yang terbaring di rumah sakit karena sakit, bersalin ataupun menjalani operasi, menemani pemulangan beberapa TKI ke kampung halamannya, mengikuti beberapa seminar yang berhubungan dengan kasus buruh migran Indonesia, serta menjalin kerja sama dengan berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah-masalah TKI. Karena keterlibatannya yang cukup mendalam inilah, maka saat menyusun skripsi sebagai syarat kelulusan pendidikan S1, beliau memilih judul yang berkaitan dengan buruh migran  (Judul penelitian: Kekerasan Terhadap Buruh Migran Perempuan - Penelitian Kualitatif Tentang Pendampingan Buruh Migran Perempuan oleh Perkumpulan Sahabat Insan Jakarta).

Sr. Eugenia melakukan penelitian di kantor SI pada bulan Maret – Mei 2014 dengan melakukan penelitian mendalam terhadap lima orang buruh migran.  Buruh migran yang dijadikan responden adalah mereka yang pernah didampingi oleh SI, berjenis kelamin perempuan dan pernah mengalami kekerasan. Kesimpulan penelitian yang dihasilkan antara lain adalah:
  1. Para responden menjadi buruh migran karena alasan ekonomi. Selain itu ketidakberdayaan istri terhadap kekuasaan suami menjadi penyebab utama seorang perempuan menjadi buruh migran.
  2. Penyebab buruh migran perempuan mengalami kekerasan antara lain adalah latar belakang pendidikan formal yang sangat rendah, tidak menguasai bahasa percakapan sehari-hari serta ketrampilan yang diperlukan, tidak memiliki dokumen resmi, dan ketidakjelasan aturan di negara tujuan kerja. Dari semua hal tersebut, penyebab dominan terjadinya kekerasan adalah tidak adanya pendidikan dan ketrampilan yang memadai untuk bekerja di luar negeri.
  3. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh buruh migran perempuan adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan ekonomi dan kekerasan seksual.  Kekerasan itu di alami oleh buruh migran sebelum mulai bekerja, pada saat bekerja dan sesudah bekerja dari rumah majikan. Bentuk kekerasan yang dominan dialami oleh buruh migran perempuan dalam penelitian ini adalah kekerasan fisik, psikis dan ekonomi.
  4. Bentuk-bentuk pendampingan yang dilakukan Sahabat Insan terhadap buruh migran perempuan yang mengalami kekerasan antara lain:

  •   Pendampingan untuk perlindungan. Korban diberi ruang dan kesempatan seluas-luasnya untuk berkonsultasi tentang masalah yang sedang dihadapi dan menyampaikan keinginan untuk langkah hidup selanjutnya. Sahabat Insan sebagai pendamping memberikan alternatif pemecahan masalah yang diperlukan dan mendukung keputusan yang diambil oleh korban. Sahabat Insan bersama korban mewujudkan keputusan yang dipilih dan telah disepakati bersama.  
  •   Pendampingan untuk fasilitasi. Korban diberi motivasi untuk menyelesaikan masalahnya dan dihubungkan dengan lembaga-lembaga atau orang-orang yang dapat membantu korban keluar dari permasalahan itu. Sahabat Insan berperan sebagai penghubung antara korban dengan lembaga lain. Lembaga-lembaga tersebut akan dipilih sesuai dengan kebutuhan untuk pemecahan masalah korban 
  •    Pendampingan untuk pendukungan. Korban diberi sarana dan prasarana yang memadai agar merasa aman dan nyaman. Diupayakan agar korban merasa terbantu dan tertolong dengan segala sarana serta prasarana yang telah disiapkan tersebut. Sahabat Insan juga mengelola para relawan dan lembaga-lembaga lain untuk membantu korban keluar dari permasalahnya dan dapat kembali kepada masyarakat. Bentuk pendampingan dari Perkumpulan Sahabat Insan yang paling dirasakan manfaatnya adalah  pendampingan untuk fasilitasi.  
Setelah menyelesaikan kewajiban belajarnya, Sr. Eugenia kemudian ditugaskan di Purworejo untuk melanjutkan karya pelayanannya. Selamat bertugas Sr. Eugenia. Semoga tetap semangat dan menjadi sumber kegembiraan bagi orang-orang yang dilayani. Terima kasih atas kesediaannya untuk berkarya dan menjadi bagian dari Sahabat Insan. 

Friday, December 19, 2014

Ruang Jiwa

Ruang Jiwa, tempat yang kami kunjungi pagi itu. Dengan sedikit berjalan kaki, sampailah kami di depan pintu jeruji besi. Dari luar, ruangan tersebut terlihat tertutup dan sepi. Kamipun mengetuk pintu tersebut. Seorang perawat mendekat ke pintu. Setelah mengajukan beberapa pertanyaan, akhirnya kami diperbolehkan masuk.

Begitu pintu dibuka, kami melihat tiga orang pasien yang sedang menonton acara TV. Dua di antaranya adalah mantan pekerja migran dan seorang mahasiswi S2 dari Universitas swasta ternama di Jakarta. Menurut suster perawat, ada 18 orang pasien di sana. Ada juga seorang pasien yang sudah dipulangkan beberapa waktu yang lalu. “Di mana sisanya? Tanya kami. Pagi itu, Dokter sedang melakukan kunjungan rutin. Hampir seluruh pasien dikumpulkan dalam satu ruangan. Sembari menunggu mereka datang, kami mengobrol dengan ke tiga pasien yang tidak ikut serta dalam pertemuan tersebut. Ibu Nani dan Ibu Tina (nama disamarkan) dulu bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi. Mereka tidak terlalu mengingat mengapa mereka bisa sampai di rumah sakit. Mereka hanya mengingat kapan mereka mulai dirawat dan sudah berapa lama di ruang jiwa. Di tengah percakapan yang berlangsung, Ibu Nani bertanya apakah mereka dapat meminjam handphone. Mereka ingin menghubungi keluarga terdekat dan meminta untuk segera dijemput. Namun, kami tidak bisa meminjaminya. Pasien tidak dapat melakukan kontak dengan pihak luar tanpa sepengetahuan Rumah Sakit. Ketika kata “tidak” terucap dari mulut kami, raut kekecewaan tergambar jelas dalam wajah mereka. Lalu, mereka menonton acara TV kembali.

Tak lama kemudian, kunjungan periodik selesai. Sekitar 15 orang menghampiri dan menjabat tangan kami. Senang, itu yang kami rasakan. Sedih, teringat latar belakang mereka bisa sampai di Rumah Sakit ini. Sedikit demi sedikit, mereka mulai terbuka. Mereka mulai menceritakan segala uneg-uneg yang ada. Kami sedikit kewalahan karena semua ingin didengar. Emosi yang belum terkendali masih terlihat jelas. Ada yang mengamuk hanya karena makanan. Adapula yang tiba-tiba menangis, kemudian tertawa. Mbak Ati (bukan nama sebenarnya) kemudian mendekat pada kami. Ternyata, dia adalah perempuan yang tadi menangis. Ketika kami berkenalan dengannya, Mbak Ati menatap kami sangat dalam. Seperti berusaha mengingat seseorang, dia menatap sambil memiringkan kepalanya. Mbak Ati dulu bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi. Dia dipulangkan ke Indonesia saat hendak memperpanjang kontrak kerja. Perlahan, dia mulai menceritakan pengalamannya saat bekerja di sana. Semua harus berpakaian tutup!” tuturnya. Sambil tersipu malu, Mbak Ati mempraktekan bahasa Arab yang dia kuasai. Dia juga menceritakan betapa sulitnya dulu mengirim uang untuk keluarganya di Indonesia. Para pekerja migran tidak diperbolehkan untuk membuka rekening bank. Mbak Ati harus menitipkan uang tersebut kepada temannya di Malaysia. Dengan harap-harap cemas, dia mempercayakan uang tersebut. Terlihat terhanyut dalam cerita Mbak Ati, tiba-tiba seorang ibu mengingatkan kami untuk tidak terlalu mempercayai apa yang teman mereka katakan. Kemudian, kami saling pandang dan tertawa. Walaupun secara emosional mereka belum stabil, mereka bisa saling menjaga satu sama lain. Seperti halnya Mbak Ati dikenal sangat telaten dalam merawat seorang pasien remaja yang memiliki keterbelakangan fisik dan mental.

Ruang jiwa selalu punya cerita tetapi tidak selalu dapat terungkap. Ruang jiwa menjadi saksi bisu perjuangan para mantan pekerja migran yang menjadi korban kekerasan. Mereka berjuang untuk bangkit kembali dari peristiwa yang membawa mereka ke ruangan tersebut. Semoga mereka segera pulih dan kembali ke pelukan hangat keluarga.



Wednesday, December 3, 2014

Back with a vengeance, Former migrant workers are finding new empowerment in the bureaucratic jungle of legal aid


Indonesian migrant workers hone their activist sensibilities at a protest in Hong kong - istolethetv.com
Like many rural teenagers, Bariyah, the daughter of peasant parents, did not have many options when she finished secondary school in Kebumen District, Central Java. Her vocational training in accounting was out of place in an area in need of agricultural skills. When her teacher offered to help her (and the rest of her year group) find work in Malaysia, it felt like a godsend. It turned out that this teacher was a broker, who was able to place her in an electronics factory in Kuala Lumpur. Bariyah was made to sign a contract, but did so without adequate knowledge of its terms. Unknowingly, she had placed herself US$800 in debt to the recruitment agency. Sixteen months later, the electronics business went under. She was sent home without compensation and still in debt. She was also owed six months’ wages. The agency that guaranteed her contract refused to take any responsibility for her situation. Disappointed but refusing to cave in, Bariyah contacted Migrant Care, a non-government organization (NGO) for migrant workers, to ask for help. Two years later, she is a legal officer in the Migrant Care office in Jakarta and studying law at Bung Karno University.

This is an increasingly familiar story. A one-time victim who subsequently becomes an activist in the sphere of migrant worker protection. There are many similar examples: the head of ATKI (Association of Indonesian Migrant Workers) in Jakarta was a domestic worker in Hong Kong for 11 years; PBM (Care for Migrant Workers) is led by a woman who was trafficked to Taiwan; a month in Saudi prison was enough to turn Eko Yulianto, a native of Purwokerto who worked as a driver, into a committed defender of migrant workers’ rights with the organisation BMIAS (Indonesian Migrant Workers in Saudi Arabia). The list could go on. Faced with predicaments that could easily have caused them to fall to pieces, these migrants have instead been motivated  to fight for justice – not just for themselves but also for other migrant workers. ‘I was just angry that people like me were treated badly simply because we were not educated and came from the countryside,’ explains Bariyah. ‘I am now studying law as a kind of personal revenge and to help people in similar situations.’

Becoming an activist
Many rural Indonesians struggle to find jobs in the increasingly uncompetitive agricultural economy. Such circumstances make the promise of a relatively high paying overseas job look attractive. Workers who had never ventured beyond the physical and social boundaries of their extended families thus find themselves in the hustle and bustle of an Asian or Middle Eastern metropolis, albeit often locked within the confines of their employer’s house.

Those who are lucky enough to land a job in a relatively forgiving environment, such as Hong Kong, are exposed to a vibrant civil society well-versed in the language of international law and human rights. Very quickly they find their way into the various organisations and movements set up by churches and other civil society groups to support a migrant worker population of over 300,000. On their days off they join street marches and protests to defend the rights of migrant workers. Their voices are amplified by the support of local and international NGOs that are present in the city.  A number of migrant workers’ unions were in fact founded in Hong Kong and only later established branch offices in the workers’ home countries. Upon their return, many such workers are keen to continue the struggle.

There can also be more personal reasons for getting involved in activism upon return from working abroad. Migrant workers pick up the lifestyles of ordinary Hong Kong, Taiwanese or Singaporean citizens they live with. This is typically on show on Sundays in public squares, when they congregate to spend their days off together. More importantly, they appropriate the skills, values and worldviews of their host societies. These are not always in harmony with the more traditional values of their home towns and villages. Indeed, many of them struggle with acceptance and self-expression on return. As it turns out, back home their empowered self does not always get the recognition it once received overseas. Only a few opportunities, such as being an activist, give them the scope to build on and develop their new identities.

Filling a gap in the system
Armed with experience and knowledge, former migrant workers provide a critical service in the bureaucratic jungle that surrounds any attempt to improve protection for migrant workers. A returned migrant worker seeking redress for her misfortune faces the daunting prospect of having to negotiate with both the agency that placed her in overseas employment and a variety of government bodies. Under Law No. 39/2009 on the protection and placement of migrant workers, the first step in a dispute is for workers to negotiate directly with their recruitment agencies. Paperwork, unfamiliar legal jargon and unfriendly officials all add to the sense of intimidation that the worker experiences when walking into a recruitment agency office, which will typically be located in a secure private complex. Moreover, since most agencies are located in and around Jakarta, negotiation requires returnees to undertake a long and expensive journey from their homes, which are often in rural areas of Java or the outer islands. In short, inherent power imbalances permeate almost every aspect of the negotiation process. The presence of an experienced ‘case-handler’ is thus a tremendous help. The case-handler assists with gathering documents and evidence as well as representing the worker in making claims against recruitment agencies, insurance companies or government bodies.

Bariyah with the Migrant Care crew in 2012 - Indah Josephine

And there is a lot of work to do. In 2012, the BNP2TKI (National Agency for Placement and Protection of Indonesian Migrant Workers) received 9764 complaints from migrant workers and their families, mostly to do with non-payment of wages. However, this is just the tip of the iceberg. Migrant Care has identified 398,270 cases in which Indonesian migrant workers suffered violations of their rights during 2013 alone. Despite this high number, however, migrant workers have no access to state-funded legal aid, which is only available to criminal defendants.

Limited legal aid services are available to migrant workers through the private sector, and through university law schools, some of which offer legal advice as a public outreach service. The majority of cases, however, are handled by non-legal civil society organisations, usually staffed by former migrant workers. Over time, these case-handlers have built up a network of personal relations with relevant government officials and staffers at insurance companies and recruitment agencies. This way, they work more efficiently in obtaining some kind of compensation for their clients. Lily Kusnadi, a former migrant worker in Taiwan and the chairwoman of PBM, has forged personal relations with officials in the Department of Labour and Transmigration and the BNP2TKI. Thanks to these carefully cultivated relations, she is able to secure payments for her clients, sometimes even from the personal pockets of the officials. Ties with the political elite can also provide other corollary benefits. On one occasion, the wife of the Minister of Labour and Transmigration came to open PBM’s new shelter for abused migrant workers. The shelter had been supported by donations from, amongst others, the minister’s wife and the owner of a recruitment agency in Surabaya, East Java. Meeting Lily today, it can be hard to remember that she is someone whose marginal position in the Indonesian political economy once drove her to Taiwan.

A case of empowerment?
Despite their effectiveness, the important role played  by these case-handlers reveals a glaring gap in Indonesia’s justice system. Law No. 16/2011 may change this. It emphasizes the right to access justice and promises state funding for legal aid services. However, until the relevant bureaucratic hurdles are crossed and the new law can be fully implemented, case-handlers such as Bariyah will continue to provide vital services.

Lily Kusnadi celebrates the opening of PBM shelter for abused migrant workers - Benny Juliawan

One wonders also what the future will hold for these case-handlers. Their empowerment has intriguing parallels with developments seen in the world of industrial trade unions and the human rights movement, where members’ fights for justice has propelled them up the political ladder into prominent positions within political parties or patronage networks, a phenomenon so common in Indonesian democracy. One thing is clear: migrant workers such as Bariyah may once have been down but they are surely not out and seem destined to play an important role in Indonesia’s vibrant civil society for the foreseeable future.


Benny Hari Juliawan (orwellsj@gmail.com) is a researcher in Sahabat Insan, a NGO working on migrant worker issues based in Jakarta