Friday, November 29, 2013

Bertemu Muka, Berkaca Asa

http://www.deviantart.com/art/Dark-November-Days-416446892
Minggu ketiga bulan November yang kering, hari kelima dalam pekan. Ruangan bernama Dahlia itu masih sama: tanpa pesona Dahlia sedikit pun. Tetap sekeras dan sekerontang kayu Eboni, nama lamanya. Tetapi wajah-wajah di dalamnya mencerminkan hal yang berbeda hari itu. Ada keceriaan mengudara dan senyum-senyum tersimpul ketika kawan-kawan Sahabat Insan datang. Seketika juga, senyum yang sama tersimpul di bibir kami.

Sembari mengunyah makan siang mereka, kami menyapa dan mulai mengobrol dengan beberapa TKI yang ada di sana. Ada beberapa orang yang sedang melahap mie instan selain memakan jatah makan siang yang biasa diberikan. Yah, tidak heran. Cuaca yang panas dan menu makanan yang tidak variatif serta kombinasi dengan lamanya mereka "tinggal" di sana bisa jadi membuat para kawan-kawan TKI membutuhkan selingan makanan lain. Setelah selesai dengan makan siang mereka, mulai bergulirlah cerita-cerita ringan yang memenuhi ruangan sempit itu.

Mulai dari perkenalan kembali hingga cerita pengalaman yang biasa, tentang kehidupan sehari-hari di negeri tempat mereka bekerja dulu hingga detail kegiatan mereka setiap hari di ruangan itu (yang diselingi kantuk dan mereka kadang menguap karena terbiasa tidur siang setelah makan). Ada beberapa wajah baru semenjak kunjungan terakhir kami minggu sebelumnya. Kebanyakan dari mereka masih mengalami trauma dan terlihat tidak sehat. 

Seorang kawan TKI yang baru masuk ke sana masih dalam pemulihan pasca-operasi pengangkatan tumor di payudara. Keadaannya masih terguncang dan menolak makan. Salah satu suster dari Sahabat Insan mencoba menyuapi makanan sedikit demi sedikit setelah mencoba berbincang beberapa lama, dan akhirnya ia mau makan meskipun sangat sedikit. Ada juga yang mengalami masalah di penglihatannya hingga sukar melihat dan ada juga yang belum bisa diajak berkomunikasi dengan lancar dan lebih memilih untuk tidur. Kami terus membangun komunikasi dengan mereka yang masih terlihat sakit ini, mencoba membangun jembatan kehangatan yang mungkin jarang mereka dapatkan.

Sebagian besar dari kawan-kawan TKI di sana sudah tampak lebih sehat. Beberapa orang yang sebelumnya mengeluh sering sakit kepala dan memiliki tekanan darah yang sangat tinggi sudah mulai pulih dari pusing dan tekanan darahnya sedikit demi sedikit mendekati normal. Kawan TKI yang mengalami masalah dengan kulit di tangannya juga berangsur membaik. Obrolan kami bersama mereka diselingi dengan suguhan snack yang kami bawa dan dengan antusias mereka ambil. Senang rasanya melihat mereka makan dan menggembung pipinya karena mengunyah dengan lahap. Mereka terlihat lapar meskipun jam makan belum lama berlalu.

Kami mengobrol dengan topik yang hampir sama dari minggu ke minggu tiap kunjungan kami ke sana, namun selalu ada binar berbeda yang menyeruak. Kadang suasana sunyi yang dominan, tapi di lain kesempatan seiring kondisi beberapa dari mereka telah membaik, suasana bisa menjadi lebih hangat dan hidup, membungkus kegetiran yang kadang tetap terasa di panca indera kami.

Dari obrolan-obrolan kami yang biasa, tetap terucapkan asa dari mereka untuk pulang ke kampung halaman. Mereka menunggu detik-detik ketika mereka dapat bertemu muka dengan sanak keluarga mereka. Mereka menunggu kesempatan untuk dapat keluar dari sana dan dapat menyongsong masa depan serta pekerjaan yang lebih baik. Harapan itu selalu ada dan terlihat di bola mata mereka, dalam setiap perjumpaan kami hingga saat lambaian menguntai kepergian kami tiap minggunya dari sana.

November ini kering, namun asa tetap ada, setidaknya dalam lubuk hati mereka.



Friday, November 22, 2013

Menjenguk Pasien Pencangkokan Batok Kepala

Pada hari Jumat, 15 November 2013, Sahabat Insan (SI) diberi kesempatan untuk menjenguk salah satu orang terbuang yang mengalami kecelakaan di tempat kerja dan dipulangkan ke Indonesia dalam keadaan koma dengan tempurung kepala yang berlubang. Sebut saja namanya Sri (34 tahun). Sri adalah seorang pekerja migran yang bekerja di sebuah kilang di Malaysia. Tiga tahun yang lalu, bersama suaminya ia berangkat ke negeri jiran dari daerah asalnya, sebuah kota kecil di Jawa Timur. Sesampai di sana, mereka berpisah karena bekerja di wilayah yang berbeda. Ketiga anak mereka ditinggal di kampung halaman dan diasuh oleh neneknya.

Kira-kira sebulan yang lalu, relawan SI sudah pernah menjenguk wanita malang ini. Saat itu ia masih dalam perawatan di ruang ICU.  Tubuhnya terbujur lemah tanpa bisa bergerak. Hanya matanya yang memandang ke sekelilingnya tanpa ada yang mengetahui apa yang ingin ia sampaikan.  Ia juga tidak mampu memberikan respon saat dipanggil atau diajak bicara. Berbagai macam selang masuk melalui tubuhnya. Ada selang infus, selang makan dan kateter untuk saluran pembuangan. Ia pun bernafas melalui lubang di tenggorokannya. Tak ada seorang pun yang tahu apa sebenarnya yang terjadi pada Sri sampai kondisinya menjadi demikian parah. Keluarga pun hanya tahu dari teman-temannya bahwa ia jatuh di kamar mandi tempat kerja dan tidak sadarkan diri. Saat itu teman-temannya membawa Sri ke rumah sakit setempat. Selanjutnya tidak ada yang mengetahui bagaimana prosesnya hingga tempurung kepalanya harus dilubangi dan belum ditutup kembali, sampai akhirnya dikembalikan ke tanah air didampingi oleh suaminya, dan dirujuk ke sebuah rumah sakit di Jakarta. Keluarga juga tidak memiliki rekam medis yang bisa menjelaskan tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh tenaga medis di sana.

Setelah hampir 3 minggu dirawat di ruang ICU karena menunggu uluran tangan dari para penderma terlebih dahulu, akhirnya operasi pencangkokan tempurung kepala Sri berhasil dilakukan. Ada sedikit kendala dalam melaksanakan operasi. Saat masuk ke ruang bedah, tekanan darah Sri tiba-tiba meninggi mencapai 250/220, sehingga Sri dikeluarkan lagi dari ruang tersebut dan kembali ke ruang ICU. Keluarga yang mendampingi berusaha menenangkan hati Sri yang masih koma dengan membisikkan kalimat-kalimat penyemangat. Setelah tekanan darah cukup stabil, operasi pemasangan titanium untuk menutup tempurung kepala pun dilaksanakan dan memakan waktu cukup singkat, kurang lebih satu jam. Karena kondisi pasca operasi cukup baik, Sri pun kemudian dipindahkan dari ruang ICU ke ruang rawat umum.

Saat Sahabat Insan datang siang itu, ibunda Sri yang selama ini menjaga putrinya di rumah sakit sedang duduk di kursi sambil tertidur di samping ranjang. Suami Sri juga sedang tergeletak pulas di lantai ruangan yang berisi tujuh tempat tidur tersebut . Mereka bergegas bangun saat mengetahui ada yang datang menjenguk. Sementara kaki Sri terus menendang-nendang tidak berhenti bergerak, mengisyaratkan kejenuhannya karena sudah terlalu lama berbaring tanpa bisa berbuat apa-apa. Perban masih membalut kepalanya, pelipis dan mata kanannya masih bengkak, selang masih menempel di hidung dan kakinya, ia juga masih bernafas melalui saluran pernafasan di tenggorokannya.

Dalam kondisi yang masih memprihatinkan tersebut, ibunya tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang mengejutkan: “Apakah hari Senin Sri sudah bisa pulang?”. Sejenak semua terpana, bagaimana mungkin meminta pulang sementara kondisi anaknya masih sangat lemah, apalagi melakukan perjalanan jauh ke Jawa Timur yang memakan waktu 15 jam. Namun, kemudian kami sadar bahwa ungkapan tersebut mencerminkan kelelahan mereka yang sudah memuncak, lelah lahir dan batin. Suaminya pun mengungkapkan keinginannya untuk kembali bekerja di Malaysia. “Uang saya sudah habis. Di sini semua mahal. Belum lagi memikirkan beli susu untuk Sri”, ujarnya. Memang selama ini asupan makanan Sri hanya dari susu yang dimasukkan lewat selang di hidungnya. Harga sekaleng susu tersebut mencapai Rp120.000 – Rp150.000. Selain itu, biaya hidup mereka berdua selama menjaga Sri di rumah sakit juga cukup besar, karena setiap saat harus membeli makanan di warung dan tidak bisa memasak sendiri.

Ibunya bercerita bahwa kondisi Sri setelah keluar dari ruang ICU cenderung stabil, walaupun suhu badannya masih naik turun. Hanya saja, Sri tetap belum bisa diajak berkomunikasi. Jika diajak berbicara, dia tidak bereaksi. Namun, saat ketiga anaknya menelpon dan suaranya diperdengarkan lewat speaker HP, air matanya bisa mengalir deras.  Hal inilah yang membangkitkan harapan bahwa kemungkinan untuk sembuh total masih ada.

Pada akhirnya SI yang juga mendampingi proses penyembuhan Sri hanya bisa memberikan pengertian kepada keluarganya bahwa pengobatan sudah berlangsung setengah jalan namun, belum tuntas. Jika dihentikan, maka semua tindakan medis yang sudah dilakukan selama ini tidak akan membuahkan hasil maksimal, bahkan bisa saja kondisi Sri kembali seperti sedia kala. Untuk itu diperlukan kesabaran dari ibu dan suaminya untuk melewati tahap demi tahap penyembuhan Sri yang mungkin masih membutuhkan waktu yang lama. Sambil terus berdoa dan berharap ada pihak yang bersedia memberikan perhatian untuk meringankan beban yang mereka rasakan.

Monday, November 18, 2013

Menggali Masukan Dari Pegiat Migran Di Daerah untuk Revisi UU TKI

Selama 3 hari, sejak tanggal 11 s/d 13 Juli 2013, Sahabat Insan diundang untuk mengikuti Workshop Pembahasan dan Rekomendasi Atas Revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri (PPTKILN). Acara ini diselenggarakan oleh Peduli Buruh Migran (PBM) bekerja sama dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Kegiatan yang diadakan di Hotel Morina, Malang – Jawa Timur ini juga diikuti oleh beberapa perwakilan Solidaritas Buruh Migran Indonesia (SBMI) dari Sumenep, Trenggalek, Kediri, Malang, Ponorogo, Tulungangung, serta IWORK, Women Crisis Center (WCC) Dian Mutiara, Infest, JKPS “Cahaya”, perwakilan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, dan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.


Wacana untuk merevisi Undang-Undang ini sudah muncul sejak tahun 2009 yang lalu. Penyebabnya karena UU tersebut dipandang kurang mengakomodasi kepentingan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, membuka peluang untuk melakukan komersialisasi karena banyaknya proses yang harus dilalui (54 tahap) untuk menjadi TKI dan juga minimnya perlindungan hukum terhadap pekerja yang bermasalah. Selama tiga tahun,  Komisi IX DPR membahas revisi terhadap UU Nomor 39/2004 ini sejak tahun 2010-2012, dan kemudian disetujui dalam sidang paripurna DPR tanggal 5 Juli 2012.

Namun ternyata hasil revisi tersebut jauh dari harapan masyarakat, terutama buruh migran dan keluarganya sebagai aktor utama dari UU ini. Menurut para pemerhati buruh migran, dalam revisi ini DPR hanya mengubah istilah tanpa mengubah substansi. Seperti TKI diubah menjadi Pekerja Indonesia Luar Negeri, Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), dan sebagainya.

Untuk menengahi hal ini, pada tanggal 2 Agustus 2012, Presiden SBY telah menandatangani Ampres No. R/57/Pres/08/2012 perihal penunjukan wakil pemerintah untuk pembahasan RUU revisi tentang TKI di DPR RI. Dalam Ampres tersebut, Presiden menugaskan enam kementrian untuk mewakili Pemerintah, yakni Kemenlu, Kemenakertrans, Kementrian PP&PA, Kemendagri, Kemenhukham dan Kemenpan. Dengan ditandatanganinya ampres tersebut maka DPR RI memulai lagi pembahasan tentang RUU ini pada masa sidang 15 Agustus 2012.

Proses pembahasan tentang draft RUU No 39/2004 yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI ini juga dikawal oleh sejumlah   elemen seperti serikat buruh, serikat buruh migran, akademisi dan LSM yang telah merapatkan barisan dalam sebuah jaringan kerja advokasi guna mengawasi proses legislasi itu. Jaringan yang terbentuk sejak bulan Februari 2010 ini, kemudian disepakati bernama Jaringan Advokasi Revisi Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (JARI-PPTKILN).

Sampai saat ini, pembahasan RUU ini masih tetap berlangsung dengan segala pasang surutnya. Lily Pujiati, Direktur Peduli Buruh Migran (PBM) menyampaikan bahwa proses pengawalan dan pembahasan RUU PPILN penting untuk diketahui dan diikuti pegiat BMI di daerah. Selama ini PBM melihat kecenderungan bahwa informasi seputar RUU PPILN hanya beredar di pusat dan tidak sampai ke daerah. Oleh karena itulah PBM berinisiatif untuk mengadakan workshop ini, agar pegiat BMI di daerah mengetahui draft RUU versi Pemerintah dan DPR RI, kemudian mereka diajak untuk mendiskusikan draft tersebut, sehingga akhirnya bisa turut berperan dengan memberi masukan atas RUU ini.

Kegiatan diawali dengan pemaparan materi oleh Bapak Sushendratno (Kasubdit Pelindungan TKI Kemenakertrans) dan Ibu Dita Indah Sari (Staf Khusus Kemenakertrans). Dalam kesempatan tersebut dipaparkan delapan hal krusial yang selama ini masih menjadi perdebatan antara Pemerintah dan DPR RI, yaitu: 1) Judul RUU, 2) Kelembagaan, 3) Perwakilan Badan Nasional Penempatan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) di negara-negara tujuan pengiriman TKI, 4) Tugas dan Wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, 5) Perlindungan Keluarga TKI, 6) Pelaksanaan Penempatan, 7) Pelatihan, dan 8) Sanksi.


Kemudian Ibu Nufus Mufida dari JARI – PPTKILN dan Bapak Yohanes Wibawa, direktur IWORK (Institute of Migrant Workers) turut menyampaikan pendapatnya tentang proses pembahasan RUU antara DPR dan Pemerintah yang tidak kunjung selesai, sementara masa jabatan DPR RI tahun 2014 akan segera habis. Dikhawatirkan jika masa tersebut telah terlewati, maka proses yang sudah berlangsung lama ini harus dimulai dari awal lagi karena Pemerintahan dan DPR yang baru. Lebih khusus, dalam pembahasan RUU ini JARI – PPTKILN menyoroti beberapa hal, yaitu tentang a) Perekrutan dan Penempatan, b) Pendidikan dan Pelatihan, c) Sistem Pembiayaan Penempatan Pekerja Migran, d) Sistem Penanganan Kasus dan Bantuah Hukum, e) Kelembagaan Pelayanan Migrasi, f) Sistem Pendataan dan Pengawasan, g) Peran Serta Masyarakat, h) Sistem & Pelayanan Pemulangan, i) Peran PJTKI dalam Penempatan dan j) Peran & Koordinasi 6 Kementrian. Sementara IWORK lebih dalam membahas tentang peran masing-masing lembaga dalam setiap proses migrasi, yaitu pra penempatan (perekrutan dan seleksi, pendaftaran dan pendataan, pendidikan dan pelatihan, pemeriksaan kesehatan dan psikologi, penyelesaian dokumen, persiapan akhir pemberangkatan dan persiapan pemberangkatan), penempatan (pemberangkatan, verifikasi akhir terhadap kontrak kerja, tempat kerja dan pengguna sampai diterima oleh pengguna), dan pasca penempatan (proses pemulangan dari negara penerima sampai tiba di rumah daerah asal di Indonesia).

Workshop kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelompok, untuk menampung masukan-masukan terhadap RUU ini dari para pegiat BMI di daerah. Diskusi dipandu oleh Bpk Yohanes Wibawa dari IWORK. Karena waktu yang sangat singkat sementara materi yang akan dibahas cukup banyak, akhirnya diputuskan untuk memusatkan bahasan diskusi pada persoalan kelembagaan. Peserta workshop kemudian dibagi menjadi menjadi empat kelompok, yang masing-masing mendiskusikan tentang kewenangan masing-masing lembaga di masa pra penempatan, penempatan dan pasca penempatan, serta sistem pengawasannya. 





Diskusi tersebut menghasilkan beberapa masukan yang merefleksikan persoalan-persoalan yang sering dihadapi oleh BMI di daerah antara lain:
a. Pada proses pra penempatan: 
Perlu ada lembaga yang dapat memberikan informasi yang benar tentang proses perekrutan pekerja migran, perlunya standarisasi pelatihan agar materi yang disampaikan benar-benar dapat dijadikan bekal untuk bekerja di luar negeri, lembaga yang menjamin keefektifan proses pemeriksaan kesehatan, dan perlunya lembaga uji kompetensi yang resmi agar pekerja yang dikirim benar-benar berkualitas. Dalam kesempatan ini disinggung juga tentang jaminan kesehatan untuk pekerja di luar negeri, serta perlunya dijalin kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan negara tujuan agar para pekerja mendapatkan perlindungan hukum saat menemui masalah di luar negeri
b. Pada proses penempatan
Perlunya pembenahan fungsi-fungsi lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses ini, yaitu KBRI, agensi, pengguna jasa, polisi, rumah sakit, perusahaan asuransi, bandara, bank, lembaga penukaran uang, NGO, Disnaker, Pemerintah dan BNP2TKI.  
c. Pada proses pasca penempatan
Perlu adanya proses yang baku tentang pemulangan dari negara penerima sampai tiba di rumah daerah asal di Indonesia
d. Sistem pengawasan
Perlu adanya lembaga pengawas independen yang mengawal setiap proses, masukan-masukan dari lembaga-lembaga sosial pegiat BMI.

Workshop kemudian dilanjutkan dengan refleksi bersama tentang perkembangan gerakan buruh migran di Indonesia, yang masih dipandu oleh Yohanes Wibawa. Direktur IWORK ini membuka obrolan dengan bercerita tentang sejarah pergerakan buruh migran dari tahun 2000 melalui inisiasi Federasi Organisasi Buruh Migran Indonesia (Fobmi) hingga berkembang menjadi Konfederasi Organisasi Buruh Migran Indonesia (Kobumi), hingga dinamika gerakan di tahun 2013. Lebih lanjut, Yohanes Wibawa mengatakan bahwa gerakan buruh migran memiliki potensi untuk menjadi kuat, karena setiap organisasi memiliki kekuatan dan fokus di bidangnya masing-masing. Ada kuat di soal pengorganisasian basis, pemberdayaan, pengembangan ekonomi mikro, kesehatan, penanganan kasus, media dan informasi, dan lain-lain. Ibarat puzzle, gerakan buruh migran tinggal dirangkai dan bisa saling terhubung antara kerja satu organisasi dengan organisasi lainnya. Namun, persoalan ketidakpercayaan antar pegiat buruh menjadi pekerjaan rumah untuk segera diselesaikan dengan cara saling terbuka dan lebih mengedepankan kolaborasi kerja antar organisasi.  

Selanjutnya, jejaring organisasi buruh migran dari berbagai daerah saling berbagi kisah dan pengalaman dalam gerakan buruh migran di daerah masing-masing. Setiap wakil dari daerah mengemukakan hal-hal yang telah dilakukan dan masalah yang dihadapi. Sesi ini menutup keseluruhan acara Workshop Pembahasan dan Rekomendasi atas Revisi UU No. 39/2004 ini. 




Tuesday, November 5, 2013

Kegelisahan Ibu dari Nur (eks-TKI)

(to see the English version, please click 'read more' below this article)


Roses have Thorns 1
http://www.deviantart.com/art/Roses-Have-Thorns-1-19123887
Selalu setiap melihat kami, Ibu dari Nur akan melampiaskan cerita-cerita dan kesedihannya sampai menangis. Juga ketika kami menjenguk Nur, eks-TKI, Jumat 1 November 2013 lalu di sebuah rumah sakit di Jakarta. Keadaanya memprihatinkan karena dia mengalami luka bakar akibat kompor meledak di Quait.

Ibu itu berkeluh-kesah perihal ayahnya yang meninggal beberapa hari yang lalu. Ibu dan Nur tidak dapat hadir di pemakaman. Mereka tidak bisa berjumpa untuk mengucap selamat jalan kepada kakek Nur, karena ibunya harus menjaga membantu Nur di rumah sakit. Sebab tangan Nur kanan dan kiri mengalami luka bakar yang cukup serius, sampai ia sulit makan-minum, mandi, atau berganti pakaian.

Sembari menangis, Nur pun jadi ikut menangis. Beberapa kali dia mengungkapkan keinginannya untuk pulang. Betapa kerapuhan ibunya sungguh berdampak hebat mengguncang Nur, mempengaruhi emosinya. Dari percakapan dengan Nur, dia sungguh mengatakan ingin segera pulang. Nur juga bercerita tentang temannya yang mengalami luka bakar, dirawat di rumah sakit yang sama, tapi sudah terlebih dahulu boleh pulang.

Sementara itu, ibunya terus bicara pada kami, dengan tersendat-sendat, suara yang parau, diselingi dengan tangis-tangis kecil. Nur anak satu-satunya yang menghasilkan uang. Di keluarga mereka sekarang tidak ada lagi yang mencari nafkah. Dua anaknya yang lain tidak bekerja dan satu di antaranya stres. Ketika ibunya bicara demikian, wajah Nur sudah begitu terlihat muram.

Bekerja sejak kecil di usia 18 tahun, Nur telah menjadi tulang punggung keluarganya. Siapa sangka nasibnya kemudian menjadi seperti itu. Dalam keadaan sekarang pun ibunya masih terus-menerus mengkhawatirkan kehidupan mereka mendatang karena Nur sakit. Artinya Nur tidak lagi dapat bekerja untuk mencari nafkah demi keluarganya.

Kekhawatiran Ibu Nur terasa seperti mawar berduri dan Nur memegang duri itu. Dalam kondisi keluarga dengan kemiskinan seperti demikian, begitu banyak muncul pertanyaan di benak, ”Mengapakah ibunya sampai hati membiarkan Nur bekerja sejak kecil?”, ”Bukankah lebih baik ibunya menahan tangis, menguatkan Nur, agar Nur lebih bersemangat dan bertekad untuk sembuh?”

Memandang jauh pada masa depan memang perlu dilakukan sebagai sebuah pijakan melangkah di kemudian hari. Namun, hidup di masa sekarang juga tak kalah penting. Ikatan emosi antara ibu dan anak, Nur seperti demikian tampak ketika kami berkunjung di ruang jiwa yang menampung eks-TKI yang mengalami depresi.

Di sana, pasien-pasien sudah lebih sedikit karena sudah banyak yang pulang. Kami selalu ikut merasa gembira tiap mengetahui hal itu. Suster Shanti dan Suster Murph hari itu membawakan pasien-pasien tersebut beberapa majalah. Sekadar untuk mengisi waktu luang, agar mereka membaca dan melihat warna-warni. Karena seringkali mereka mengeluh bosan, tidak ada kegiatan di sana, selain tidur, makan, mencuci, atau nonton televisi. Mereka menyambut pemberian kami dengan sukacita.

Saat kami sedang mengobrol, seorang pasien umum bernama Sri, yang mengalami gangguan jiwa dibawa oleh petugas dari ruang isolasi untuk mandi, kemudian membereskan pakaiannya. Selesai membersihkan diri, dia terlihat dengan rambut masih basah, pakaian baru, dan kantong plastik besar hitam, yang menampung barang-barangnya. Kemudian, dia duduk dan menyapa kami. Masih dengan celoteh yang sulit kami mengerti. Masih pula dengan bahasa yang setengah bahasa Indonesia, setengah bahasa Inggris. Serta masih menyanyi lagu-lagu lama di sela-selanya.

Tiba-tiba seorang ibu datang dari balik pintu masuk yang digembok. Mungkin ia adalah ibu Sri yang hendak menjemput pasien umum itu. Padahal, siapa pun yang melihatnya, pasti tahu kalau Sri belum benar-benar sembuh. Maka, pertanyaannya, mengapa dia harus dijemput pulang?

Pertanyaan tersebut kami lontarkan kepada penjaga. Ternyata tepat dugaan kami, penyebabnya bisa jadi karena biaya. Karena dia pasien umum maka, biaya pengobatan ditanggung penuh keluarga. Maka, kapan pun keluarga ingin membawanya pulang, dia akan pulang. Ya, ternyata butuh biaya besar untuk berobat kejiwaan di sana.

Kondisi keuangan keluarga Sri, sesungguhnya tak berbeda jauh dengan yang dialami oleh Nur. Bedanya, Nur masih dapat berobat, namun ibunya begitu khawatir dengan kelangsungan hidupnya mendatang. Sementara Sri, berhenti berobat demi mencukupi kebutuhan keluarga yang lain.