Saturday, September 22, 2018

Human Trafficking: A Crime That Hits Close to Home



When human trafficking happens so close to home, ‎the best way to combat it is by educating ourselves and protecting our loved ones. Join us to learn firsthand from our 2018 Trafficking In Persons Report Hero on how you and your friends can help to combat human trafficking. Be the change to stop these heinous crimes!





Pada hari Selasa, tanggal 4 September 2018 di @america Pacific Place, Jakarta diadakan sebuah seminar untuk peningkatan kesadaran publik tentang perdagangan orang dengan tema: Human Trafficking: A Crime That Hits Close to Home, dengan pembicara: Tammy Kenyatta dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia, Judha Nugraha (Kementerian Luar Negeri RI), Among Pundhi Resi (IOM Indonesia), Melanie Subono (Duta Anti Trafiking Untuk Pekerja Migran) dan Maizidah Salas  (SBMI Wonosobo, Penerima TIP (Trafficking In Person) Hero Award dari Pemerintah Amerika Serikat), dengan moderator Syafira Ayunindya dari IOM Indonesia. Acara ini difasilitasi oleh Kedutaan Amerika Serikat Untuk Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri, IOM dan SBMI khususnya SBMI Wonosobo.


Seperti disebutkan di atas, seminar ini sendiri bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pengertian perdagangan orang. Selama ini, perdagangan orang terjadi dimana-mana, bahkan bisa jadi kejahatan itu ada di sekitar kita tanpa kita sadari. Namun kebanyakan masyarakat menganggap hal tersebut biasa saja karena ketidaktahuan akan definisi perdagangan manusia. Banyak di antara kita yang mengira kalau kejahatan manusia baru terjadi saat orang bermigrasi, atau dijualbelikan oleh agen, sudah mengalami penyiksaan sampai kritis dan sebagainya. Padahal banyak sekali hal-hal yang terjadi di sekitar kita yang sudah bisa dikategorikan sebagai perdagangan orang. Oleh sebab itu, dengan diadakannya seminar ini, diharapkan para peserta semakin sadar dan waspada akan adanya praktek perdagangan orang di sekitarnya, dan membantu untuk memberantas kejahatan ini sehingga semakin hari jumlah korban akan semakin menurun.

Seminar diawali oleh paparan Ibu Tammy Kenyatta tentang Laporan Trafficking In Person (TIP Report), yang telah dipublikasikan oleh Pemerintah Amerika Serikat setiap tahunnya. Dalam laporan tersebut terdapat peringkat yang diberikan oleh negara-negara di dunia terkait dengan usaha pemerintah untuk memberantas perdagangan orang.

Pemerintah indonesia dan Pemerintah AS telah lama saling bekerja sama untuk memberantas kejahatan perdagangan manusia. Setiap tahun Pemerintah AS mengeluarkan TIP Report dan memberikan penghargaan kepada individu-individu yang berkomitment untuk memberantas TPPO. Dan tahun ini ibu Mazidah Salas dari SBMI Wonosobo bersama 10 pahlawan lainnya menerima penghargaan dari Menteri Luar Negeri AS dan First Lady Ivanka Trump di Washington DC.

Tammy Kenyatta menekankan bahwa TPPO adalah perbudakan modern, yang merupakan kejahatan yang mampu menghancurkan harapan masyarakat. Ia kemudian menguraikan dengan lebih rinci apa itu definisi, mitos dan tipe-tipe trafiking. Yang ia tekankan adalah bahwa seseorang tidak harus melintasi batas negara atau meninggalkan wilayahnya agar dapat dianggap sebagai korban TPPO. Akar masalah TPPO antara lain kemiskinan, disabilitas politik, permintaan akan buruh murah, korupsi dll. Sektor usaha yang rentan TPPO misalnya perikanan, konstruksi, pekerja rumah tangga, pekerja seks komersial dan lain sebagainya.

TIP Report sendiri adalah alat diplomasi dan kebijakan yang mengevaluasi usaha pemerintah untuk memberantas trafiking, yang penilaiannya berfokus pada 3Ps sesuai dengan Protokol Palermo (prosecuiton, protection and prevention), serta menempatkan suatu negara pada tingkatan-tingkatan tertentu berdasarkan upaya yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun tersebut untuk memberantas TPPO, dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Amerika Serikat sendiri juga termasuk negara yang dinilai, karena tidak ada satu negara pun yang bisa mengatasi masalah trafiking dengan sempurna. Tahun ini AS berada pada tingkat 1.

Sedangkan Indonesia, pada tahun ini berada pada Tingkat 2. Artinya bahwa pemerintah Indonesia belum sepenuhnya dapat memenuhi standar minimum pemberantasan perdagangan orang, walau harus diakui pemerintah telah mengerahkan upaya yang signifikan untuk mewujudkannya. Pemerintah Indonesia menunjukkan upaya yang lebih baik dibandingkan dengan periode pelaporan sebelumnya, dan oleh karena itu Indonesia tetap berada di Tingkat 2 sejak tahun 2007.  Hal ini menunjukkan kekonsistenan Pemerintah Indonesia untuk mengupayakan peningkatan pemberantasan perdagangan manusia dari tahun ke tahun. Laporan selengkapnya tentang hal ini dapat diakses di Laporan Perdagangan Orang 2018. Dengan adanya TIP Report ini, diharapkan setiap negara dapat memperbaiki tingkatnya dan memperbaiki cara pemberantasan TPPO dari tahun ke tahun. Oleh sebab itu Pemerintah US juga memberikan rekomendasi kepada masing-masing negara agar dapat menurunkan tingkat kejahatan di wilayahnya. Untuk Indonesia, rekomendasi yang diberikan antara lain: meningkatkan penegakan hukum, menindak tegas pejabat yang melakukan korupsi, memperbaiki Undang-Undang TPPO, meningkatkan koordinasi antara polisi, saksi, jaksa dan hakim untuk memperlancar upaya untuk menyelidiki, menuntut dan menghukum para pelaku, serta memberikan pelatihan tentang perdagangan manusia kepada para penegak hukum. Di akhir presentasinya, Ibu Tammy Kenyata memberikan link Pemerintah AS untuk pemberantasan trafiking https://www.state.gov/j/tip/

Pembicara kedua, Judha Nugraha dari Kementerian Luar Negeri RI Direktorat Perlindungan WNI membawakan materi dengan tema "TPPO: Penindakan, Perlindungan, Pencegahan dan Kerjasama", yang merupakan review dari penanganan TPPO di Indonesia serta sekaligus menanggapi hasil TIP Report 2018. Ada 1548 kasus yang ditangani oleh Kemenlu dan perwakilan Kemenlu yang ada di luar negeri dari tahun 2014 - 2017. Angkanya nominal besar tapi sebenarnya ini adalah fenomena gunung es, karena banyak kasus yang tidak dilaporkan dan belum ditindaklanjuti oleh aparat setempat di negera yang bersangkutan, sehingga jumlah sebenarnya jauh lebih besar. Khusus di Indonesia, kasus TPPO terbanyak adalah pemaksaan kerja dan kekerasan kerja (termasuk gaji yang tidak layak), bukan eksploitasi seksual. Daerah terbanyak TPPO adalah NTB, NTT, Madura dan Jawa Barat. Mereka dibawa ke Batam dengan pesawat, kemudian naik Kapal Ferry masuk ke Johor, Malaysia. Di Malaysia ada 2 skenario yang dilakukan: mereka langsung dipekerjakan di sana atau di re-traffic ke Timur Tengah, karena Indonesia sudah menutup wilayah Timur Tengah untuk pengiriman pekerja migran, sehingga mereka menggunakan negara tetangga untuk visa masuk ke sana. Tantangan yang dihadapi pemerintah untuk memberantas TPPO ini adalah:
  1. Masalah tata kelola, terutama tata kelola pekerja migran. UU kita yang dahulu itu susah, rumit, lama, dan mahal sehingga pekerja lebih memilih jalan pintas. Sekarang keadaan tersebut sudah coba dikoreksi dengan UU yang baru.
  2. Kesadaran tentang migrasi aman belum tumbuh, yang antara lain ditandai dengan banyaknya pemalsuan data. Korban bukannya tidak sadar kalau data dipalsukan, tetapi ia juga tidak menyadari adanya konsekuensi dari mengubah data, sehingga banyak terjadi cerita sedih akibat hal tersebut. 
  3. TPPO merupakan kejahatan lintas batas, sehingga perlu kerjasama dengan negara transit dan tujuan, dan tidak bisa menangani sendiri. Yuridiksi yang berbeda-beda ini menjadi tantangan tersendiri. Sindikat lintas negara ini sangat rapi kerjasamanya. Jika kerja sama lintas negara tidak rapi, akan sangat sulit untuk mengatasinya.
  4. Dilema korban yang tidak ingin melanjutkan proses hukum di negara setempat, karena mereka ingin segera pulang, sedangkan kalau korban pulang, kasus hukum tidak bisa dilanjutkan karena diperlukan kehadiran korban.  Human trafficking tidak jauh atau malah terlalu dekat dari kita, karena pelakunya bisa jadi malah tetangga dekat atau tetangga. Karena dekat, mereka enggan melapor karena lokasinya dekat sehingga tidak aman, atau karena saudara jadi tidak enak sehingga mereka nrimo saja dan pasrah.
Yang sudah dilakukan Pemerintah RI untuk memperbaiki masalah tersebut antara lain: diterbitkannya UU 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, UU 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO , dan pembentukan gugus tugas lintas Kementerian (dalam hal ini Kemenlu sudah menggagas forum komunikasi 7 Kementerian untuk penanganan TPPO yang terjadi di luar negeri), pembuatan portal peduli WNI, dan peningkatan kapasitas aparat agar kesadaran tentang apa itu TPPO dapat meningkat.

Among Pundhi Resi dari IOM Indonesia dalam kesempatan ini membahas jawaban atas pertanyaan: "Ada gak sih trafiking yang terjadi di dalam negeri?" Menurutnya, saat Indonesia bukan hanya menjadi negara asal, tapi juga negara tujuan trafiking. Orang dari negara lain datang dan diperdagangkan di Indonesia juga ada. Salah satu contoh trafiking di Indonesia misalnya  penyiksaan pembantu rumah tangga yang terjadi di Utan Kayu beberapa waktu yang lalu. Kasus itu sebenarnya termasuk trafiking, bukan hanya kasus penyiksaan pembantu rumah tangga biasa. Trafiking tidak hanya terjadi di luar tapi banyak terjadi di dalam negeri sendiri. Oleh sebab itu kerja sama lintas sektor bukan hanya urusan Kementerian. Kesadaran melindungi komunitas di sekitar kita juga penting. Di Indonesia kasus trafiking banyak terjadi dalam bentuk penyiksaan pembantu rumah tangga, bukan hanya sebatas penyiksaan fisik. Misalnya saja gaji dibayar tapi bekerja sampai jam 2-3 dini hari, tanpa libur, komunikasi dibatasi, tidak bisa kemana-mana dll. Pemerintah RI dan didukung oleh pemerintah US melakukan upaya2 pencegahan dan penanganan untuk hal-hal tersebut. Hal-hal yang telah dilakukan IOM selain menolong korban, juga mendukung upaya pemerintah untuk memberantas TPPO dan meningkatkan pemahaman aparat tentang trafiking, merancang mentoring bagi para jaksa sehingga dapat mendapatkan pemahaman yang tepat tentang trafiking. Jumlah penanganan perkara trafiking masih sangat minim walaupun kasus sangat banyak. Yang didata IOM, yaitu orang yang dibantu oleh IOM saja, ada sekitar 9000 orang.

Pembicara selanjutnya, Melanie Subono, Duta Anti Trafiking Untuk Pekerja Migran menguraikan tentang masih sedikitnya masyarakat yang paham betul apa itu trafiking. Problem sebenarnya adalah orang tidak benar-benar tahu apakah itu trafiking. Pada awal bergabung dengan para pegiat migran, Melanie tidak mau mengikuti jalur advokasi, karena lebih suka berjalan ke desa-desa karena disanalah berkumpulnya orang-orang yang menjadi korban-korban trafiking berasal. Trafiking terjadi lebih karena orang tidak terlalu mengerti apa definisi trafiking akibat tidak sampainya sosialisasi atau edukasi tentang apa itu trafiking ke calon korban. Tindakan pencegahan lebih penting dari pada kita harus mengatasi berjalan dari kasus per kasus. Banyak yang tidak sadar kalau ia korban trafiking karena kerja di dalam negeri, misalnya pekerja rumah tangga, bahkan banyak terjadi di dunia entertainment. Jadi salah satu cara ampuh untuk memberantas trafiking adalah mulai dari diri sendiri. Kita tak perlu muluk-muluk untuk menjadi agen anti perdagangan orang internasional, namun akan lebih baik jika kita tingkatkan kesadaran tentang bahaya trafiking ini mulai dari komunitas dimana kita berada dan dengan bahasa sehari-hari agar masyarakat lebih mudah menerima dan waspada. Selain itu juga kita lihat saja di sekeliling kita, adakah di antara mereka yang menjadi korban trafiking? Kesadaran yang ditanamkan terus menerus kepada semua lapisan akan sangat efektif untuk mencegah terjadinya perdagangan manusia yang intensif dan juga meningkatkan kewaspadaan sehingga jikalau ada korban mereka akan cepat tertolong.

Pembicara terakhir adalah Maizidah Salas dari SBMI Wonosobo, Penerima TIP Hero Award dari Pemerintah Amerika Serikat. Ia menceritakan pengalamannya yang pernah menjadi korban trafiking: direkrut, dirayu, dipalsukan dokumennya, ditampung di sebuah tempat, diminta menunggu selama 3 bulan, kemudian juga bekerja tanpa dibayar, kerja tak sesuai kontrak kerja, tidak boleh libur, tidak boleh memegang alat komunikasi. Semua pengalaman yang menyedihkan tersebut mendorongnya untuk melakukan kampanye bagaimana menjadi pekerja migran yang aman serta kemana mereka harus melapor jika ada masalah. Selama ini yang membuat kasus menjadi semakin berat adalah para PMI melaporkan ke agensi, sehingga tidak mendapatkan pertolongan, malah kadang dipindahkan ke majikan lain. Setelah kembali ke Indonesia dan atas dukungan dari banyak lembaga pemerhati migran, ia mendirikan SBMI Wonosobo yang dalam perjalanannya berkali-kali bubar karena tidak ada keuntungan finansialnya, namun kemudian berdiri lagi. Begitu seterusnya sampai akhirnya hingga saat ini sudah ada 23 kelompok mantan PMI di Wonosobo yang kemudian memperluas kegiatannya, antara lain turut serta mengkampanyekan anti trafiking, bekerja sama dengan IOM untuk re-integrasi ekonomi, memiliki beberapa unit usaha dan mendirikan kampung buruh migran di Wonosobo yang memiliki PAUD anak-anak TKI gratis, mendirikan koperasi, menyediakan fasilitas free wifi untuk ketersediaan informasi, mendirikan kelompok simpan pinjam, pelatihan mengelola internet untuk anak-anak remaja dan diprioritaskan untuk anak-anak buruh migran di sana, dan pembuatan film pendek berjudul "Rindu Utami" serta "Impian Negeri Berkabut" untuk menyadarkan masyarakat bahwa masalah buruh migran ini nyata, dan dari film ini bisa terpecahkan solusi. Sosialisasi anti perdagangan manusia juga dilakukan melalui pembuatan pin, kaos, dan stiker karena melalui media-media ini pesan bahaya trafiking lebih cepat tertangkap oleh orang lain. Mengakhiri pemaparannya, ia mengatakan bahwa orang tua yang memiliki anak2 yang rentan trafiking juga harus tahu sehingga mereka melindungi anak tersebut, bukan secara sadar ikut mendukung terjadinya perdagangan manusia demi keuntungan pribadi semata.



Foto-foto diambil dari link video:  https://livestream.com/atamerica/main/videos/179803517






Monday, September 17, 2018

Saksi Bisu

Sudah hampir enam bulan terakhir ini, Sahabat Insan kerap mendatangi Terminal Kedatangan dan Keberangkatan Kargo - Bandara El-Tari Kupang. Bukan untuk menerima atau mengirimkan barang, tetapi untuk mengurus dan memberangkatkan jenazah pekerja migran, yang kebanyakan berasal Malaysia.  


Sampai tulisan ini dibuat, tercatat sudah 33 jenazah dari total 79 jenazah selama tahun 2018 yang dijemput oleh Sahabat Insan di terminal kargo ini. Walaupun sepertinya kegiatan penjemputan jenazah ini terlihat monoton, karena hanya menjemput, kemudian mendoakan dan mendampingi jenazah agar lancar diterima oleh keluarganya, namun sebenarnya setiap jenazah memiliki kisahnya sedihnya sendiri. Yang lebih menyedihkan lagi, dalam suasana duka seperti itu, masih ada saja oknum-oknum yang mencari keuntungan pribadi, baik di negeri jiran maupun di tanah air sendiri, dengan menagih biaya pemulangan jenazah dalam jumlah yang sangat besar, sekitar 15-20 juta rupiah. Keluarga korban, apalagi yang tidak mampu, terpaksa mencari hutang ke tetangga kanan kiri agar dapat menerima jenazah dan memakamkan keluarganya dengan layak. Padahal sebenarnya biaya yang dikeluarkan tidak perlu sebesar itu. Oleh sebab itulah diperlukan pendampingan agar oknum-oknum tersebut tidak merajalela.

Tidak semua jenazah yang tiba di Terminal Kargo - Bandara El-Tari Kupang dijemput oleh seluruh  keluarganya. Seperti halnya seorang jenazah wanita dan seorang jenazah pria yang tiba di Bandara El-Tari pada tanggal 22 Juni yang lalu. Tidak satu pun keluarga yang menjemput mereka. Jenazah tanpa penjemput ini kemudian diurus oleh BP3TKI, bekerja sama dengan para pemuka agama yang hadir di situ, untuk dimasukkan ke mobil jenazah, kemudian didoakan sesuai dengan kepercayaan masing-masing, dan kemudian disemayamkan di RSUD Johannes Kupang untuk kemudian diberkati sebelum diberangkatkan ke kampung halamannya. Sore harinya, saat akan dilakukan doa pemberkatan jenazah, barulah datang beberapa orang yang berasal dari satu kampung, namun tidak dekat atau bahkan tidak mengenal jenazah sama sekali. Untunglah sikap solider terhadap saudara sekampung di NTT masih tinggi sehingga masih ada perhatian bagi mereka yang kurang beruntung. Ada beberapa jenazah yang sebenarnya keluarganya juga berada di Malaysia karena sama-sama bekerja sebagai pekerja migran. Namun keluarga tersebut tidak bisa mengantar jenazah untuk dimakamkan ke tanah air karena BP3TKI hanya menanggung biaya pengiriman jenazah, sedangkan biaya transportasi keluarga korban ditanggung sendiri-sendiri.

Akhir-akhir ini, proses pengurusan jenazah menjadi sedikit rumit. Kadang kala, jenazah yang akan diberangkatkan dibatalkan keberangkatannya secara sepihak oleh pihak penerbangan dengan alasan-alasan tertentu. Apalagi jika ada kondisi peti yang masih disangsikan keadaannya. Hal ini diakibatkan karena beberapa waktu yang silam, ada beberapa peti jenazah yang menimbulkan bau hingga mengeluarkan air dan membasahi seluruh koper penumpang pesawat. Sejak kejadian tersebut, pihak penerbangan melakukan seleksi pengiriman jenazah dengan sangat ketat. Oleh karena itu, meski sudah di-packing dengan sangat baik dan rapi dari luar negeri, peti jenazah kerap harus di-wrapping ulang oleh BP3TKI agar lulus dari sinar X-Ray dan dinyatakan siap untuk diberangkatkan ke daerah asal.

Penyebab kematian jenazah pekerja migran ini juga relatif beragam. Ada yang meninggal karena sedang mengandung anaknya. Ada yang meninggal beserta anaknya saat melahirkan. Beberapa meninggal karena mengalami kecelakaan kerja. Seperti yang dialami oleh BP (50 tahun) yang meninggal pada awal Juli 2018 karena mengalami kecelakaan saat mengendarai traktor dan jatuh terguling di tanah yang terjal. Pada saat kejadian, tak seorang pun yang berada di tempat itu. Kecelakaan tersebut baru diketahui oleh rekan kerjanya keesokan harinya. Dari Bandara El Tari, jenazah yang sudah bekerja sebagai sopir di sebuah kebun sawit selama 2 tahun di Malaysia ini dipulangkan ke kampung halamannya, Ende, melalui jalur laut atas permintaan keluarga. Ia meninggalkan seorang istri dan 3 orang anak. Meninggal karena kecelakaan kerja juga dialami oleh RMB (39 tahun), pekerja migran asal Ende, NTT. Ia ditimpa alat berat yang jatuh dari lantai 5 saat bekerja sebagai kuli bangunan. Akibat kecelakaan itu, kakinya patah, badannya penuh dengan lebam, dan akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya. RMB sudah bekerja di Malaysia selama 20 tahun. Satu lagi jenazah PMI yang meninggal karena kecelakaan kerja adalah BB (45 tahun) yang meninggal pada akhir Juni yang lalu. Ia terpaksa harus kehilangan nyawa ketika terjatuh saat mengurus kebun dan sempat dirawat di rumah sakit selama 2 minggu. Ia pergi meninggalkan seorang istri dan 4 orang anak.

Penyebab kematian terbanyak dari sekian banyak jenazah adalah karena sakit. Penyakit yang sering menjadi penyebab kematian jenazah yang diterima di Terminal Kargo ini adalah asma atau gangguan pernafasan. Namun ada juga yang meninggal karena overdosis obat sakit kepala. Karena sakit kepala yang tak kunjung sembuh, ybs meminum 6 butir obat sakit kepala sekaligus sehingga mengakibatkan ia mengalami kejang dan meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Penyakit lain yang merengut nyawa PMI ini adalah leukimia, jantung, demam berdarah, infeksi virus, darah tinggi dan juga muntah darah. Selain itu ada beberapa jenazah yang diterima tanpa diketahui penyebab kematiannya.


Dari semua cerita yang menyedihkan di atas, ada satu hal yang patut disyukuri, yaitu kehadiran para pemerhati migran dan juga para pemuka agama yang dengan sukarela mengulurkan tangan untuk mendoakan, menghibur keluarga yang sedang berduka, membantu kelancaran administrasi, bahkan mengawal jenazah dan memastikan agar sampai di tempat tujuan. Juga para petugas kargo bandara dan BP3TKI, walaupun ini semua adalah tugas mereka, namun mereka cukup sigap membantu jika ada kendala-kendala teknis yang terjadi agar jenazah ini secepatnya dipulangkan ke kampung halamannya. Dan Terminal Kargo Bandara El-Tari Kupang akan tetap menjadi saksi bisu kisah sedih anak-anak manusia yang berangkat dengan penuh harapan untuk kesejahteraan keluarganya, namun harus menerima kenyataan dipulangkan ke kampung halaman tanpa nyawa. 




Friday, September 14, 2018

Sosialisasi Bahaya Perdagangan Orang Di Atambua, NTT

Pada hari Senin, 10 September 2018, relawan Sahabat Insan mengadakan sosialisasi tentang bahaya perdagangan orang kepada 3 keluarga di daerah Atambua, kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Sosialisasi tersebut bertujuan untuk menjelaskan cara kerja praktik perdagangan manusia, mulai dari proses perekrutan korban, hingga korban dipekerjakan secara tidak manusiawi dan pulang dalam keadaan frustasi, sakit parah, bahkan tidak bernyawa.

Setelah selesai presentasi, para keluarga yang hadir mulai menceritakan apa yang pernah terjadi di daerah tersebut berkaitan dengan perdagangan manusia. Salah satu ibu bercerita bahwa dulu ada warga di daerah tersebut yang menjadi perekrut orang setempat untuk dipekerjakan di Malaysia, Hongkong dan Singapura, namun saat ini orang itu sudah meninggal dunia. Cucunya kemudian menunjukkan buku persiapan menjadi TKI yang disimpan oleh almarhum dan selama ini menjadi panduan untuk merekrut orang setempat. Ia bercerita bahwa waktu itu kakak dan tantenya juga pernah diajak untuk bekerja di luar negeri dengan gaji besar, namun mereka menolak. Kakeknya juga sempat bercerita bahwa ia mendapatkan bonus jika berhasil mengirimkan orang untuk bekerja di negeri orang. Pernah suatu saat kakeknya mengajak keponakannya untuk mengantarkannya ke daerah Silawan dengan menggunakan sepeda motor yang ditempuh dalam waktu kurang lebih satu jam, untuk menagih bonus yang telah dijanjikan oleh temannya sebesar lima ratus ribu rupiah.


Peserta yang lain juga bercerita bahwa ada satu orang tetangganya (seorang ibu) yang bekerja di Malaysia dan bisa membangun rumah di samping rumahnya. Tak hanya itu, ibu itu juga bisa membeli perabotan rumah yang cukup mewah dan secara rutin mengirim uang kepada suaminya di kampung. Mungkin hal ini yang membuat orang-orang tertarik untuk bekerja di luar negeri. Menanggapi hal tersebut, relawan Sahabat Insan mengatakan bahwa adalah hak masing-masing orang untuk menentukan pilihan mau bekerja sebagai apa dan di mana untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun satu yang perlu diperhatikan adalah, sebelum memilih dan menentukan, mereka harus mencari informasi terlebih dahulu untuk mengetahui jalur yang benar dan resmi, hak-hak yang mereka dapatkan selama di negeri orang  dan juga tidak kalah penting adalah resiko yang mungkin terjadi dibandingkan dengan bekerja di daerah sendiri.

Sosialisasi mengenai bahaya perdagangan orang kembali dilakukan di Atambua pada hari Kamis, 13 September. Kali ini sosialisasi dilakukan untuk Kelompok Doa Legio Maria di Paroki Santo Petrus Tekuneno, Atambua. Sosialisasi diawali dengan senam BPJS Sehat di sebuah klinik milik susteran PI di Atambua.


Setelah senam selesai dan para peserta sudah berkumpul, relawan Sahabat Insan kemudian memperkenalkan diri serta memberikan presentasi mengenai pengertian, sejarah, dan akibat dari perdagangan manusia melalui slide yang dipancarkan melalui layar infokus. Ekspresi tegang dan sedih tampak pada raut wajah para peserta saat ditayangkan video tentang penjemputan jenazah di Kargo Bandara El-Tari Kupang.

Setelah itu, juga ditayangkan film dokumenter Kabar Dari Medan yang dirilis pada tahun 2015. Film ini menceritakan kesaksian korban yang lolos dari pemilik Sarang Burung Walet Medan. Para korban tersebut, di akhir video berpesan agar saudara-saudarinya tidak usah pergi ke luar dari kampung halaman untuk bekerja karena di kampung sendiri mereka juga bisa bekerja dengan baik dan tidak jauh dari keluarga.

Usai presentasi dan menyaksikan video singkat, ada beberapa peserta yang membagikan kesan dan pesannya. Ibu Monika sangat bersyukur bisa mendapatkan sosialisasi yag menambah wawasan dan membuka mata terhadap realita yang sungguh terjadi saat ini. Ia juga mengaku selama tahun 2018 sudah menerima 2 jenazah anggota keluarganya yang berstatus sebagai PMI, yaitu keponakannya dan saudara sepupunya. Sahabat Insan kemudian menginformasikan bahwa jika ada sanak saudara di Malaysia yang membutuhkan bantuan, bisa segera mendatangi Gereja Katolik terdekat karena ada tiga jaringan antar keuskupan yang bekerja sama (saling berkoalisi) untuk mengurus PMI. Tiga jaringan tripartit dioceses yang dimaksud adalah keuskupan pengirim, keuskupan transit dan keuskupan penerima. Dalam hal ini, keuskupan penerima adalah Malaysia, dan mereka sangat tanggap dalam memberikan bantuan kepada para PMI yang bermasalah.

Semoga semua informasi yang sudah diberikan dapat memberikan kesadaran baru bagi mereka agar tidak dengan cepat tergiur iming-iming gaji besar di negeri orang tanpa memperhatikan resiko yang mungkin saja terjadi. Semoga dengan demikian nasib para pekerja migran akan semakin baik dan korban-korban akan terus berkurang.