Friday, March 29, 2019

Dialektika: Merespons Agenda Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

Sahabat Insan yang diwakili oleh Romo Ignatius  Ismartono SJ, Arta Elisabeth Purba dan Saraswati menghadiri  acara Dialektika Calon Legislatif Dapil DKI Jakarta II (Jakarta Pusat,  Jakarta Selatan dan Luar Negeri) yang diselenggarakan oleh Migrant CARE di Conclave Simatupang, Cilandak Timur, Pasar Minggu Jakarta Selatan pada Rabu (27/3/2019).

foto: migrant care

Pertemuan publik yang dihadiri oleh beberapa LSM yang terdiri dari sebagian besar orang muda ini bertema “Dialektika, Merespons Agenda Perlindungan Pekerja Migran Indonesia".

Acara ini bertujuan untuk mengetahui respon para calon legislatif terkait berbagai permasalahan perlindungan PMI (Pekerja Migran Indonesia) yang masih rentan dan memastikan permasalahan ini masuk dalam agenda kebijakan yang akan diperjuangkan ketika menduduki parlemen.

sumber foto: Migrant Care
Migrant CARE berhasil menghadirkan lima dari tujuh calon legislatif yang memiliki kepedulian terhadap isu migran sebagai narasumber yakni Nuraini (PDIP), Christina Aryani (Golkar), Arief Patramijaya (Hanura), Dian Islamiati Fatwa (PAN) dan Tsamara Amany (PSI), sementara Okky Asokawati (Nasdem) dan Meuitia Geumata (PKS) tidak dapat hadir.  

Pada sesi yang pertama, masing-masing narasumber menawarkan program kerja yang  dinilai akan berpihak pada kesejahteraan PMI dan memberikan solusi dari seluruh permasalahan kompleks yang dialami. Agenda Perlindungan Perlindungan PMI disambut positif oleh kelima Calon Legislatif.

Perwakilan dari PDI, Nuraini memandang permasalahan PMI sangat berkaitan satu dengan yang lainnya. berjanji akan mengadakan koalisi lintas fraksi yang memiliki konsentrasi terhadap
permasalahan buruh migran dan akan segera membuat RUU (Rancangan Undang-Undang) yang berpihak pada migran.

Christina Aryani dari Golkar menawarkan pembuatan iklan sebagai awareness, bekerja sama dengan semua elemen pemerintah dan swasta, mengadakan kunjungan kerja dan dialog dengan KBRI, KJRI dan buruh migran di luar negeri, menampung ide dari setiap individu yang akan menjadi ide fraksi dan mengawasi seluruh kebijakan terkait migran.

Arief Patramijaya dari Hanura memperjuangkan obligasi pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memperjuangkan migran, serta mendorong mantan migran untuk bisa menjadi pribadi yang sukses dengan mengasah bakat dan talenta mereka ketika kembali ke tanah air dan berjanji untuk menghadirkan pengacara yang sedia 24 jam untuk membela PMI.

Dian Islamiati Fatwa dari PAN lebih menyoroti pembuatan pusat informasi terpadu untuk meningkatkan komunikasi antar migran dengan pemerintah sehingga keamanan migran ketika bekerja di luar negeri lebih terjamin.

Tsamara Amany dari PSI mengatakan akan segera mengevaluasi PJTKI yang menjadi sumber dan akar permasalahan para migran dan jika dalam hasil evaluasi menemukan banyak ketidakberesan maka akan segera mengadakan moratorium untuk membubarkan PJTKI sehingga penanganan migran akan diambil alih oleh pemerintah, membuat data base berbasis online, mendorong kuitansi untuk dipegang oleh PMI.

Pada sesi selanjutnya, respon kelima Calon Legislatif terhadap isu migran semakin dikuatkan oleh pertanyaan dan pernyataan para panelis; Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE, Ani Ema Susanti sebagai mantan pekerja migran yang saat ini aktif sebagai Sineas juga Content Creator di Ruangobrol.id, serta Hariyanto selaku Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dua buruh migran yang masih di luar negeri dan juga pertanyaan dari beberapa peserta yang hadir.

Dalam kesempatan ini, panelis Ani Ema Susanti memaparkan ragam permasalahan para PMI, terutama PMI perempuan yang tidak kunjung bisa diatasi hingga saat ini. Menurutnya, PMI masih belum punya  kesadaran dan pengetahuan hukum sebagai upaya perlindungan dari kekerasan baik fisik maupun psikis. Mirisnya, beberapa PMI yang berhasil pulang ke tanah air berubah menjadi pelaku radikal sebagai teroris.

Kemudian panelis Wahyu Susilo menyoroti isu hukuman mati yang kerap mengancam para PMI di luar negeri. Sementara realitanya, negara Indonesia masih memberlakukan hukuman mati namun menginisiasi advokasi pembebasan pekerja migran yang terjerat hukuman mati di luar negeri. Hal ini menurutnya sangat bertentangan.

Sebagai respon, empat dari lima caleg menentang dengan bulat praktik hukuman mati yang sama sekali berlawanan dengan HAM, sementara Cristina dari Golkar masih memandang aspek permasalahan dari pemberlakuan hukuman mati. Menurutnya, pada beberapa kasus tertentu yang sama sekali tidak bisa ditolerir, hukuman mati masih bisa diberlakukan demi ketentraman masyarakat.

foto: migrant care
Dalam kesempatan ini, Arta Elisabeth sebagai perwakilan dari Sahabat Insan mengungkapkan realitas di lapangan mengenai jumlah jenazah PMI asal NTT yang dipulangkan ke tanah air, yang selalu mengalami peningkatan.

“Apa yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah pemulangan PMI dalam peti jenazah yang tampaknya tiada henti dan selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,” tanyanya kepada Calon Legislatif PSI, Tsamara Amani.

“Seperti yang saya katakan di awal dalam visi dan misi saya, yaitu evaluasi PJTKI karena sebenarnya permasalahannya ada pada mereka ini. Jadi kita akan adakan moratorium, evaluasi keseluruhan dan kalau memang harus dibubarkan, ya kita bubarkan, diambil alih oleh pemerintah,” tegasnya.   

Di akhir sesi, panelis Hariyanto, lebih menyoroti strategi jangka pendek dan konkret yang akan dilakukan oleh para calon legislatif untuk PMI ketika sudah duduk di DPR. Ia juga menyarankan agar para calon legislatif bisa meningkatkan koordinasi antar fraksi, pemerintah pusat dan daerah serta penguatan bantuan hukum.

Semoga melalui pemaparan para calon legislatif dalam Dialektika ini, dapat semakin memberi pencerahan pada masyarakat untuk mampu memilih calon legislatif yang akan mampu menyuarakan suara rakyat, dalam hal ini suara PMI yang masih menjadi korban karena Suara Korban adalah Suara Tuhan (Vox Victimae, Vox Dei). 



Wednesday, March 13, 2019

Terjemahan Pastoral Orientations On Human Trafficking

Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah
supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk,
supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk,
supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar 
dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan
apabila engkau melihat orang telanjang,
supaya engkau memberi dia pakaian 
dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!,
(Yesaya 58:6-7)

Ayat di atas tertulis di sampul buku "Pastoral Orientations On Human Trafficking" yang dikeluarkan oleh Migrants and Refugees Section, Integral Human Development - Palazzo San Calisto - 00120 Vatican City. Dalam pengantarnya, Fabio Baggio dan Michael Czerny, SJ sebagai penyusun buku ini menulis bahwa Paus Fransiskus sangat menganggap penting penderitaan jutaan laki-laki, perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan dan diperbudak. Mereka adalah  orang-orang  yang sangat dilecehkan  karena dianggap  bukan sebagai manusia dan dibuang  di dalam dunia modern ini  dan di  seluruh dunia. Perdagangan manusia, katanya, adalah “bencana yang mengerikan ,"[ sebuah "wabah yang luar biasa" dan "luka menganga  di tubuh masyarakat jaman ini.”

Pada awal tahun 2015, Paus Fransiskus  menyampaikan Pesan Tahunan Pada Hari Perdamaian Dunia dengan isi utama mengenai  perdagangan manusia. “Kita sedang menghadapi gejala global yang melebihi kompetensi dari satu komunitas atau negara, "dan karena itu," kita membutuhkan mobilisasi dalam ukuran yang sebanding dengan gejala itu sendiri."

Pada bulan September 2015, Bapa Suci menyatakan kepada PBB bahwa kejahatan seperti perdagangan manusia, jual beli organ dan jaringan manusia, eksploitasi seksual anak laki-laki dan perempuan, kerja paksa, termasuk pelacuran ” tidak cukup ditanggapi dengan  "komitmen hura-hura" saja. “Kita perlu memastikan bahwa lembaga kita - dan memang semua upaya kita  - benar-benar efektif dalam perjuangan melawan semua bencana ini."

Demikianlah  tujuan dari Orientasi Pastoral Tentang Perdagangan Manusia ini, yaitu memberikan sebuah bacaan tentang Perdagangan Manusia dan  pemahaman yang memberi  motivasi dan melanjutkan perjuangan jangka panjang yang sangat dibutuhkan .

Bagian Migran & Pengungsi (M&R, untuk selanjutnya di dalam terjemahan ini kita singkat menjadi BMP, Bagian Migran dan Pengungsi) mulai berfungsi pada 1 Januari 2017. Ini didirikan oleh Paus Fransiskus  dan saat ini secara langsung berada di bawah bimbingan beliau. Tugas BMP  adalah  menangani Perdagangan Manusia, permasalahan para migran dan pengungsi. Sementara misinya adalah untuk membantu para Uskup Gereja Katolik dan semua yang melayani kelompok rentan ini.

Untuk menangani perdagangan dan perbudakan manusia, selama tahun 2018, BMP mengadakan dua konsultasi dengan para pemimpin Gereja, cendekiawan dan praktisi yang berpengalaman serta dengan  organisasi mitra yang bekerja di lapangan. Para peserta bertukar pengalaman dan sudut pandang gejala tersebut dari segala  segi  yang relevan. Tanggapan Gereja sepenuhnya dipertimbangkan, baik dari segi  kekuatan, kelemahan, pastoral dan peluang-peluang  politik maupun  peningkatan koordinasi di seluruh dunia.

Proses selama enam bulan itu  menghasilkan Orientasi Pastoral  Tentang Perdagangan Manusia yang disetujui oleh Bapa Suci dan dimaksudkan untuk mengarahkan pekerjaan BMP dan mitra-mitranya. Orientasi  ini  digunakan oleh keuskupan, paroki dan komunitas hidup bakti, umat Katolik, sekolah dan universitas, oleh organisasi baik yang Katolik maupun yang lainnya   di dalam masyarakat sipil dan oleh kelompok mana pun yang mau menanggapinya. Selain agar diwujudkan di dalam program lokal maupun kerjasama jarak jauh,  Orientasi ini juga menawarkan pokok-pokok yang  penting untuk homili, pendidikan dan media.

BMP mengundang semua orang untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran, dalam komunikasi dan usaha  mencegah serta menyembuhkan perdagangan manusia, yang diperkaya  dengan refleksi, doa dan ajaran Paus Fransiskus.

Teks asli Pastoral Orientations On Human Trafficking juga dapat diunduh di https://drive.google.com/file/d/1iCwldMIzzRl3eRIG4236wEoxVhcu0Hpr/view?usp=sharing

Sedangkan terjemahan Bahasa Indonesia bisa didapatkan di https://drive.google.com/file/d/1CZG9NfHj6SjD7MUIgMolrNZSbfHGMkV3/view?usp=sharing  



Sosialisasi “Bahaya Human Trafficking” untuk Komunitas Persink

Hari Sabtu (8/3/2018) Arta, Saraswati dan Ibu Ibnurini memberikan sosialisasi “Bahaya Human Trafficking” untuk Komunitas Persink (Persaudaraan Siswa-Siswi Negeri Katolik) di Jl Kramat VII No. 25. Acara yang dihadiri 15 orang siswa siswi Katolik yang bersekolah di SMA Negeri Jakarta ini dimulai tepat pada pukul 10.00 WIB.

Frater Bary dan Frater Arnold yang merupakan frater SJ dan sekaligus pendamping Komunitas Persink, menyambut kedatangan para pembicara dan peserta dengan hangat. Setiap orang yang memasuki ruangan akan memberikan salam hangat kepada semua orang yang sudah berada di dalam ruangan.

Sebelum memberikan materi mengenai Bahaya Human Trafficking yang sedang marak terjadi, Ibu Ibnurini terlebih dahulu memperkenalkan Komunitas Sahabat Insan kepada semua peserta. “Komunitas Sahabat Insan itu merupakan perkumpulan orang-orang yang bersahabat satu dengan yang lain karena iman kekatolikannya. Sama seperti kalian sekarang, meskipun berasal dari sekolah yang berbeda-beda, kalian akhirnya bertemu di tempat ini dan saling mengenal satu dengan yang lainnya,” ujarnya membuka acara. Ia menjelaskan bahwa hubungan persahabatan yang terawat dengan baik melalui komunikasi yang intens, mampu menciptakan sebuah hubungan harmonis dan awet hingga kapan pun. “Oleh karena itu kalian harus bisa merawat hubungan persahabatan kalian dalam komunitas kalian ini, komunitas Persink agar semuanya merasa saling memiliki dalam persaudaraan. Jadi meskipun kalian tidak punya saudara kandung, kalian akan punya saudara yang banyak jika kalian bisa merawat persahabatan ini, sama seperti kami dulu ketika menjadi mahasiswa romo,” ujarnya lagi.

Melalui kesempatan ini, Ibu Ibnurini juga menjelaskan kegiatan bersama yang sudah dilakukan Sahabat Insan dalam menangani dan ambil bagian memecahkan permasalahan bangsa ini, salah satunya dengan memberikan bantuan ketika Peristiwa Tsunami di Aceh Tahun 2004 silam. “Jadi saat tsunami Aceh tahun 2004 yang lalu memporak-porandakan Aceh, Romo Ignatius Ismartono SJ segera menghubungi kami, mantan mahasiswanya yang dulu bergabung dalam sebuah komunitas Kramat VII untuk berbuat sesuatu. Akhirnya kami mengumpulkan berbagai jenis bantuan makanan, pakaian dan barang-barang lainnya yang dibutuhkan. Tak hanya itu, ketika bantuan tak lagi datang dari pihak manapun, kami tetap memberikan bantuan yang sangat berguna bagi masa depan anak-anak Aceh yakni bantuan pendidikan dengan memberikan beasiswa S1 kepada 100 orang anak Aceh hingga mereka bisa bangkit lagi menata masa depannya,” tuturnya.

Ia kemudian menjelaskan karya lain yang dijalankan oleh Sahabat Insan  seiring berjalannya waktu yakni penanganan migran yang merupakan korban eksploitasi dari kegiatan human trafficking“Jadi saat ini kami fokus untuk menangani permasalahan PMI yang menjadi korban human trafficking oleh orang-orang di sekitarnya dan oknum-oknum yang terlibat. Oleh karena itu, kami mengirimkan seorang relawan yakni orang muda dan yang rela agar membantu langsung proses penanganan korban human trafficking dari akar rumputnya di NTT selama 9 bulan,” ujarnya sambil memperkenalkan Arta dan Saraswati.

Sebagai seorang relawan, Arta yang bergabung dalam karya pelayanan Kerasulan Anti Human Trafficking oleh susteran PI (Penyelenggaraan Ilahi) mempresentasikan tentang Bahaya Human Trafficking dan seputar pengalamannya di lapangan. “Ada banyak kasus PMI yang menjadi korban human trafficking yang kami dampingi di NTT, mulai dari korban hidup maupun yang sudah meninggal,” ujar Arta membuka presentasinya. Ia kemudian menjelaskan definisi perdagangan orang berdasarkan Undang-Undang No 21 pasal 1 tahun 2007. Melalui pemaparannya, ia juga menjelaskan tentang proses awal perekrutan hingga akhirnya menjadi korban eksploitasi dan berujung pada kematian di negara penempatan. “Selama saya membantu penanganan korban human trafficking sudah ada 50 jenazah yang dipulangkan terhitung dari April 2018 hingga Januari 2019,” ujarnya. Ia juga menjelaskan berbagai permasalahan yang dialami oleh PMI yang berhasil dipulangkan ke Tanah Air dalam keadaan hidup. “Ada beberapa yang berhasil kami pulangkan dalam keadaan hidup namun membawa permasalahan tersendiri. Beberapa dari antara mereka tertekan batin, stres dan bahkan pulang dalam keadaan tidak waras,” ujarnya sambil menayangkan beberapa video penjemput jenazah yang dialami di Kargo Bandara El Tari Kupang.

Pada sesi selanjutnya, Saraswati menjelaskan tentang Bahaya Human Trafficking yang bisa saja terjadi disekitar para peserta. “Tidak tertutup kemungkinan kalau permasalahan human trafficking yang memperdaya penduduk NTT tersebut bisa melanda penduduk kota seperti Jakarta melalui kecanggihan teknologi yang ada sekarang, yakni melalui internet,” ujarnya. Ia memaparkan beberapa bahaya yang ditimbulkan dari berbagai situs online yang digunakan oleh para trafficker untuk memperdaya korbannya. “Nah, bagi kamu yang suka bermain media sosial tolong berhati-hati karena kamu bisa secara tidak sadar diperdaya oleh trafficker dan kamu sudah menjadi korbannya. Jangan sampai kamu kehilangan segalanya karena masuk dalam perangkap si pelaku yang kasat mata,” ujarnya. Ia kemudian menjelaskan bagaimana usaha trafficker dalam memperdaya korbannya melalui berbagai aplikasi yang harus diwaspadai. Selain itu, ia juga memberikan beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mewaspadai berbagai taktik jitu trafficker“Apalagi bagi kalian yang nantinya akan melamar kerja, tolong memeriksa dengan cermat alamat website perusahaan yang kalian lamar karena ada banyak perusahaan yang ingin mendapatkan data kalian dan kemudian memanfaatkannya untuk meraup keuntungan dengan data diri kalian,’ ujarnya lagi. Ia juga memperkenalkan beberapa situs resmi yang bisa digunakan oleh para pencari kerja agar tidak terpedaya oleh trafficker dan untuk melindungi dari dari pelaku kejahatan lainnya.

Di akhir acara, peserta mengadakan diskusi mengenai kasus Human Trafficking yang telah dipaparkan oleh kedua relawan. Sebagian besar dari mereka mengaku tidak mengetahui berbagai praktik human trafficking yang sedang terjadi, baik di NTT maupun di sekitar mereka.


Acara ditutup dengan permainan ringan asah otak yang mempertajam konsentrasi dan berfoto bersama. Mereka sangat berterimakasih atas kegiatan yang sudah diberikan secara gratis dan bermanfaat. “Kami sangat bersyukur kepada Tuhan dan berterimakasih kepada teman-teman dari Sahabat Insan karena sudah memberikan waktu, tenaga dan pencerahannya kepada kami semua yang hadir sehingga kami mengetahui berbagai permasalahan human trafficking yang ternyata ada di sekitar kita,” ujar frater Barry. Ia berharap melalui kegiatan ini, pengetahuan para peserta mengenai human trafficking bisa digunakan sebagai senjata untuk memerangi dan menangkal kejahatan yang terorganisir“Semoga teman-teman bisa menjadi perpanjangan lidah untuk mewartakan kabar yang bermanfaat ini untuk mencegah praktik human trafficking di tengah masyarakat kita,” tutupnya.   


Tuesday, March 12, 2019

Kunjungan Suster Laurentina Ke Kantor SI

Senin, 11 Maret 2019, Sr Laurentina PI mengunjungi kantor Sahabat Insan di Pasar Baru, Jakarta Pusat. Sudah seminggu ini suster ke Jakarta untuk mengikuti kegiatan Workshop Pengembangan SOP Pengelolaan Shelter Bagi Korban TTPO dan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak yang diselenggarakan oleh CWTC Di Wisma Guadalupe, Duren Sawit, Jakarta Timur. Dalam kunjungannya tersebut, Suster menceritakan perkembangan pelayanan terhadap korban perdagangan manusia di Nusa Tenggara Timur serta tak lupa juga menceritakan tentang perjalanannya ke Bangladesh 2 minggu lalu, mengikuti seminar dengan tema "Migrants, Refugees, the Displaced and Human Trafficking and Renewable Energy Option in the Asian Context" yang diselenggarakan pada tanggal 11-17 Februari 2019 di Beach Way Hotel, Cox's Bazar, Chattogram, Bangladesh dan dilanjutkan dengan pertemuan jaringan APJPWN (Asia Pacific Justice and Peace Workers Network) tanggal 18-19 Februari 2019. 



Suster mengawali cerita tentang kunjungannya ke Bangladesh dengan menunjukkan foto2 yang tersimpan di laptopnya. Dalam foto tersebut terdapat kegiatan Suster saat mengikuti seminar dan juga saat berkunjung ke camp pengungsian Rohingnya. Suster menjelaskan, pada seminar tersebut hadir Fabio Baggio C.S dari Departemen Kepausan Vatikan, yang baru saja melucurkan buku Pastoral Orientations On Human Trafficking bersama Michael Czerny, SJ. Dalam kesempatan tersebut, Mr Fabio Baggio mennguraikan tentang isi buku tersebut berkaitan dengan implementasi Global Compact on Migrations (GCM) dan Global Compact on Refugees (GCR) yang baru saja diluncurkan bulan Desember 2018 yang lalu. Ia juga menegaskan bahwa Paus Fransiskus sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik sangat menganggap penting penderitaan jutaan laki-laki, perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan dan diperbudak. Mereka adalah  orang-orang  yang sangat dilecehkan  karena dianggap  bukan sebagai manusia dan dibuang  di dalam dunia modern ini  dan di seluruh dunia. Sebagai gereja, kita harus bisa memberikan tempat bagi para pengungsi, migran dan korban perdagangan manusia secara tulus. Selain Indonesia, hadir dalam pertemuan tersebut wakil dari Thailand, Malaysia, Phillipina, Cina, Hongkong, Jepang, India, Sri Lanka, dan tuan rumah Bangladesh. 



Saat paling menyentuh adalah ketika Suster memperlihatkan foto-foto kunjungannya ke camp pengungsi Rohingnya. Seperti kita ketahui sebelumnya, Cox's Bazar merupakan pesisir pantai di Bangladesh yang menjadi tempat pengungsian Rohingnya di sana. Mereka merasa aman tinggal di tempat itu, dan tidak ingin kembali kepada suasana teror yang terjadi di tempat asalnya. Sejak bulan Agustus 2017, para pengungsi Rohingnya berduyun-duyun melintasi perbatasan untuk menyelamatkan diri dari situasi konflik yang terjadi di negaranya. Tak kurang dari 600ribu - 1 juta jiwa baik orang tua maupun anak-anak yang terpaksa meninggalkan tanah airnya menuju tempat yang lebih aman. Mereka datang dalam dua gelombang, yaitu pada bulan Agustus dan September 2017.


Dalam kunjungannya, Suster mengunjungi pengungsi Rohingnya yang berada di camp Kutupalong, Ukhiya Bangladesh. Di situ Suster bergabung dalam kelompok pendampingan anak-anak.  Kelompok tersebut mengunjungi unit HOPE dampingan JRS Bangladesh dan Caritas Luxemburg. Jumlah dampingan di unit ini sebanyak kurang lebih 700 jiwa, lebih dari setengahnya adalah anak-anak berusia kurang dari 16 tahun. Suster sendiri mengunjungi unit Child Friendly Space yang merupakan pusat bermain dan belajar anak-anak, dengan dampingan dari lembaga-lembaga internasional seperti UNHCR, IOM, JRS dan Caritas Internasional. Banyak dari anak-anak ini yang mengalami trauma berat akibat konflik yang dialaminya. Pada kesempatan ini, anak-anak diajak untuk bermain, menari, bernyanyi, menggambar dan juga mewarnai.





Setelah kurang lebih 1,5 tahun sejak gelombang pertama masyarakat Rohingnya mengungsi di tempat ini, aktifitas sosial kemasyarakatan sudah mulai terbentuk.  Berbagai macam layanan sudah tersedia walaupun tentu saja belum terlalu memadai. Diantaranya adanya layanan konseling/trauma healing untuk para perempuan, terutama mereka yang pernah mengalami pelecehan seksual. Di sana juga sudah didirikan sekolah setingkat Madrasah walaupun masih harus ditingkatkan kualitasnya. Di tempat itu, gadis-gadis kecil belajar matematika dan bahasa. Mereka mengakui bahwa di tempat asalnya mereka malah tidak mendapatkan pendidikan dan hanya bekerja di perikanan. Pendidikan akan membantu mereka untuk memperluas wawasan dan meningkatkan kualitas mereka, sehingga diharapkan 15-20 tahun ke depan akan banyak pengungsi yang bisa menyuarakan kondisinya sendiri, seperti halnya yang sekarang banyak dilakukan oleh para pekerja migran. Sistem ekonomi juga sudah berjalan dengan adanya transaksi jual-beli untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dukungan lembaga-lembaga internasional yang telah diberikan semoga bisa membantu para pengungsi untuk sedapat mungkin hidup secara manusiawi di tempat mereka yang baru. Berbagai upaya masih terus akan dilakukan untuk membantu mereka agar tetap memiliki harapan akan masa depannya.