Bagi
para pasien di ruang jiwa sebuah rumah sakit di Jakarta, mendapat kunjungan,
perhatian berupa sapaan, senyum, dan ajakan untuk bicara adalah obat bagi kesembuhan
mereka.
Sebelum
kami berjumpa dengan para pasien jiwa di rumah sakit itu, kami terlebih dahulu
berkunjung ke Shelter Sahabat Insan. Di sana, ada seorang Ibu yang baru saja datang
ke Shelter pada hari Selasa (2/7). Ibu Ani, bukan nama sebenarnya, sebelumnya
bekerja di Arab Saudi. Dia kembali ke Indonesia karena sakit tumor hati dan
penyakitnya telah menyebar juga ke paru-paru dan kakinya. Maka, setelah dia
menjalani operasi pengangkatan tumor di hati dan penyedotan pada paru-paru, tak
lama kemudian Ibu Ani ditampung di Shelter. Ketika ditanya perihal kondisi dirinya,
dia mengaku sudah lebih baik, daripada sebelumnya. Padahal, malam yang lalu dia
sempat sesak nafas sampai dua kali. Menurutnya, hal itu terjadi karena cuaca
yang dingin dan dia mungkin masuk angin. Dia pulih, setelah Mbak Ari memberikan
balsam pada tubuhnya. Rencananya Ibu Ani akan kembali ke Banjarnegara, kampung halamannya,
sebelum kontrol lagi ke rumah sakit pada Selasa (9/7).
Perjalanan
dari Shelter lalu kami lanjutkan menuju ke rumah sakit. Di sana, kami kembali
menjenguk pasien-pasien jiwa yang sebelumnya adalah buruh migran. Beberapa dari
mereka menyambut kami dengan sukacita. Hal tersebut terlihat dari raut wajah
mereka yang memberikan kami senyuman serta tingkah laku mereka yang menyediakan
kami tempat duduk dan memanggil teman-teman lainnya untuk berkumpul bersama kami.
Hal biasa yang kami lakukan di sana pertama-tama memberi mereka salam dan
menanyakan kabar mereka. Setelah itu, kami berkumpul di ruangan belakang dan
satu-satu dari mereka bercerita kepada kami. Beberapa pasien menunjukkan
perkembangan diri mereka. Beberapa orang sudah dapat memberi tahu kepada kami
nama mereka, asal mereka, lama mereka bekerja, dan lainnya. Namun, ada juga
yang bicara melantur, ada yang masih menutup diri, dan ada yang berada dalam
ruang isolasi.
Dua
orang yang menarik perhatian kami adalah Jen dan Ibu Ita. Jen, perempuan yang
masih begitu muda, 22 tahun, terlihat memiliki mata yang kosong dan rambut yang
agak berantakan. Ketika mendapat giliran untuk bercerita dia mengatakan kepada
kami kalau dia bekerja di Arab Saudi ketika usianya masih 16 tahun. Dia pun masih
ingat bahwa dia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Jen tentu telah menjadi
korban perdagangan anak dan dokumen-dokumennya pasti telah dipalsukan.
Berbeda
dengan Ibu Ita, menurut perawat yang menjaga di sana, dia baru seminggu yang
lalu dirawat. Sejak berjumpa dengan kami dia bicara terus. Bicara macam-macam
dan bercampur bahasa Arab, bahasa Sunda, dan bahasa Indonesia. Kami tersentuh
ketika kami hendak pamit, dia memeluk kami seolah kami adalah keluarganya yang
begitu dia rindukan. Entahlah apa yang membuatnya jadi sedemikian rupa. Bisa
jadi karena perlakuan majikan terhadapnya yang begitu keras, sehingga dia
terlihat begitu kurus, dan begitu marah. Sakit dalam hatinya terpancarkan dari
bicaranya yang ngawur itu maka, kami pun mau tak mau jadi larut bersamanya.
Tak
banyak memang yang dapat kami lakukan untuk mengurangi penderitaan mereka dan
rindu mereka pada keluarga atau kampung halaman. Kunjungan, sapaan, senyuman,
dan berbagi cerita bersama mereka semoga menjadi gula dalam getirnya kehidupan yang
mereka harus hadapi.