Friday, July 5, 2013

Gula dalam Getirnya Hidup



Bagi para pasien di ruang jiwa sebuah rumah sakit di Jakarta, mendapat kunjungan, perhatian berupa sapaan, senyum, dan ajakan untuk bicara adalah obat bagi kesembuhan mereka.
 
http://browse.deviantart.com/art/More-Sugar-262346880

Sebelum kami berjumpa dengan para pasien jiwa di rumah sakit itu, kami terlebih dahulu berkunjung ke Shelter Sahabat Insan. Di sana, ada seorang Ibu yang baru saja datang ke Shelter pada hari Selasa (2/7). Ibu Ani, bukan nama sebenarnya, sebelumnya bekerja di Arab Saudi. Dia kembali ke Indonesia karena sakit tumor hati dan penyakitnya telah menyebar juga ke paru-paru dan kakinya. Maka, setelah dia menjalani operasi pengangkatan tumor di hati dan penyedotan pada paru-paru, tak lama kemudian Ibu Ani ditampung di Shelter. Ketika ditanya perihal kondisi dirinya, dia mengaku sudah lebih baik, daripada sebelumnya. Padahal, malam yang lalu dia sempat sesak nafas sampai dua kali. Menurutnya, hal itu terjadi karena cuaca yang dingin dan dia mungkin masuk angin. Dia pulih, setelah Mbak Ari memberikan balsam pada tubuhnya. Rencananya Ibu Ani akan kembali ke Banjarnegara, kampung halamannya, sebelum kontrol lagi ke rumah sakit pada Selasa (9/7).

Perjalanan dari Shelter lalu kami lanjutkan menuju ke rumah sakit. Di sana, kami kembali menjenguk pasien-pasien jiwa yang sebelumnya adalah buruh migran. Beberapa dari mereka menyambut kami dengan sukacita. Hal tersebut terlihat dari raut wajah mereka yang memberikan kami senyuman serta tingkah laku mereka yang menyediakan kami tempat duduk dan memanggil teman-teman lainnya untuk berkumpul bersama kami. Hal biasa yang kami lakukan di sana pertama-tama memberi mereka salam dan menanyakan kabar mereka. Setelah itu, kami berkumpul di ruangan belakang dan satu-satu dari mereka bercerita kepada kami. Beberapa pasien menunjukkan perkembangan diri mereka. Beberapa orang sudah dapat memberi tahu kepada kami nama mereka, asal mereka, lama mereka bekerja, dan lainnya. Namun, ada juga yang bicara melantur, ada yang masih menutup diri, dan ada yang berada dalam ruang isolasi.

Dua orang yang menarik perhatian kami adalah Jen dan Ibu Ita. Jen, perempuan yang masih begitu muda, 22 tahun, terlihat memiliki mata yang kosong dan rambut yang agak berantakan. Ketika mendapat giliran untuk bercerita dia mengatakan kepada kami kalau dia bekerja di Arab Saudi ketika usianya masih 16 tahun. Dia pun masih ingat bahwa dia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Jen tentu telah menjadi korban perdagangan anak dan dokumen-dokumennya pasti telah dipalsukan.

Berbeda dengan Ibu Ita, menurut perawat yang menjaga di sana, dia baru seminggu yang lalu dirawat. Sejak berjumpa dengan kami dia bicara terus. Bicara macam-macam dan bercampur bahasa Arab, bahasa Sunda, dan bahasa Indonesia. Kami tersentuh ketika kami hendak pamit, dia memeluk kami seolah kami adalah keluarganya yang begitu dia rindukan. Entahlah apa yang membuatnya jadi sedemikian rupa. Bisa jadi karena perlakuan majikan terhadapnya yang begitu keras, sehingga dia terlihat begitu kurus, dan begitu marah. Sakit dalam hatinya terpancarkan dari bicaranya yang ngawur itu maka, kami pun mau tak mau jadi larut bersamanya.

Tak banyak memang yang dapat kami lakukan untuk mengurangi penderitaan mereka dan rindu mereka pada keluarga atau kampung halaman. Kunjungan, sapaan, senyuman, dan berbagi cerita bersama mereka semoga menjadi gula dalam getirnya kehidupan yang mereka harus hadapi.