Tuesday, June 25, 2013

Sentuhan di Ruang Rawat Jiwa

Selama hampir 6 bulan terakhir, Sahabat Insan mempunyai kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari Jumat, yaitu mengunjungi pasien-pasien di ruang rawat jiwa di sebuah rumah sakit di Jakarta. Ruang rawat jiwa merupakan tempat untuk merawat dan melakukan proses penyembuhan untuk pasien-pasien yang mengalami gangguan mental atau lebih dikenal dengan depresi. Ada beberapa relawan Sahabat Insan yang biasanya bergabung melakukan kunjungan rutin tersebut, yaitu Fr Mike SJ, Sr. Melvy RSCJ, Sr. Santi RSCJ, Jenni dan Anne.

ilustrasi: shutterstock

Dalam setiap kunjungan, para relawan Sahabat Insan menemui kurang lebih 15-25 orang yang sedang dirawat di ruang tersebut. Sebagian besar dari mereka adalah mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dideportasi dari negeri orang (sebagian besar berasal dari Timur Tengah), namun ada juga 1-2 orang pasien non-TKI. Rentang usia mereka juga cukup panjang. Ada pasien yang masih dibawah umur usia 16 – 17 tahun, ada juga yang berusia lebih dari 40 tahun. Tetapi sebagian besar masih berusia muda, sekitar 18 – 25 tahun.  Pasien-pasien yang berusia muda ini biasanya baru pertama kali bekerja di negeri orang dan langsung mengalami depresi. Sedangkan yang berusia 30-40 tahun rata-rata sudah bekerja di beberapa tempat atau negara. Hampir 75% dari pasien di ruang tersebut adalah perempuan.   

Secara umum, para pasien ini mengalami trauma karena adanya perbedaan/gap yang cukup besar antara harapan-harapan yang mereka bawa saat berangkat untuk bekerja ke negeri orang, dengan kenyataan pahit yang harus mereka terima di sana. Dengan iming-iming gaji yang sangat besar tentu mereka berangkat dengan penuh semangat dan berpikir bahwa persoalan ekonomi yang selama ini membelenggu mereka akan segera berakhir. Namun sesampainya di sana mimpi-mimpi itu seakan lenyap begitu saja. Fluktuasi keadaan psikologis yang cukup drastis inilah yang akhirnya menyebabkan mereka mengalami depresi. Pemicunya bisa bermacam-macam, mulai dari tekanan yang cukup berat dari majikan karena harus bekerja keras dengan pengawasan yang ketat,  pelecehan fisik dan seksual, ataupun tekanan ekonomi / keuangan karena gaji mereka yang tak kunjung diterima.  Pada akhirnya mereka tidak bisa menerima kenyataan tersebut sehingga mentalnya terganggu.

Menurut Fr. Mike, kondisi gangguan kejiwaan mereka juga cukup beragam. Ada yang mengalami gangguan ringan, ada yang cukup berat. Ada yang dalam depresinya suka berdekatan dengan lelaki - sehingga suster perawatnya dijadikan musuh. Ada yang dalam depresi bertindak seperti zombie - mata terbuka besar, melihat ke depan, berdiri diam dengan tangan di samping, rambut tak begitu rapi, hanya jalan kalau didorong, tidak menoleh jika ada orang yang berbicara dengannya. Ada yang teringat bahasa-bahasa yang digunakan sewaktu di luar negeri, sehingga dapat menyanyi (bahasa Mandarin) atau berpidato (bahasa Arab), bahkan dalam kunjungan terakhir Sr. Melvy berbincang-bincang dengan salah satu pasien dalam Bahasa Inggris. Ada yang mengenakan pakaian yang sangat trendi lengkap dengan kaca mata hitam, ada juga yang berpakaian sangat seadanya. Ada yang suka bertepuk tangan, ada yang suka berbicara dengan suara keras untuk mendapat perhatian, dan ada yang suka tidur terus. Ada yang suka membawa boneka, atau cara berbicaranya lembut dan halus seperti anak kecil. Ada yang tertawa terus atau tersenyum., tetapi yang juga yang selalu marah-marah atau menangis. Biasanya pasien dengan kondisi demikian ditangani langsung oleh para perawat, termasuk perawat lelaki.

Kondisi kejiwaan ini masih ditambah lagi dengan masalah relasi dengan keluarga. Kadang mereka  tidak ingat dimana keluarganya berada. Ada yang sudah dinyatakan sembuh tapi bingung harus pulang ke mana. Ada juga yang setelah sembuh dijemput kembali oleh agennya atau lelaki yang tak jelas hubungannya. Pernah juga suami dan anak-anak dari salah satu pasien datang menjenguk, tetapi pasien tersebut begitu bingung dan tidak mengenali suami dan anaknya, sehingga membuat suami dan anaknya  menangis. Tetapi yang sangat menyedihkan adalah ketika tidak ada keluarga yang datang menjenguk . Pasien-pasien seperti ini biasanya akan lebih lama sembuhnya.  

Ruang inilah yang coba diisi oleh para relawan Sahabat Insan, dengan mengunjungi orang yang merasa dilupakan, hidupnya kosong, tidak berguna, dan bahkan terpenjara dari lingkungan sosialnya. Menurut Suster Melvy, dalam setiap kunjungan, mereka menyapa, mengajak berbicara, mendengarkan (walau pun kadang tidak mengerti apa yang sedang diceritakan) atau sekedar melihat para pasien beraktifitas.  Cara ini terlihat sederhana, monoton, bahkan nyaris seperti tidak ada gunanya, tetapi ternyata memiliki kontribusi tinggi untuk kesembuhan pasien.  Dengan dikunjungi, para pasien merasa ada yang memperhatikan dan peduli dengan mereka. Kunjungan ini juga merangsang aktifitas otak yang selama ini ‘diam’ menjadi lebih aktif bergerak. Kegiatan ini  juga  meningkatkan kemampuan pasien untuk berinteraksi dengan orang di sekitarnya. Semakin sering dikunjungi, para pasien akan semakin mampu membuka diri dan memiliki teman bercerita untuk menumpahkan semua yang ada di hati, mengingat telah sekian lama mereka berada di dunianya sendiri. Hal-hal tersebut melengkapi pengobatan secara medis yang telah dilakukan oleh pihak rumah sakit dan para perawat.

Selain kunjungan rutin di atas, Sahabat Insan juga pernah memberikan beberapa bantuan, seperti shampoo, sabun cair, pakaian, pembalut wanita dan barang lainnya.  Beberapa minggu lalu Sahabat Insan juga membantu memperbaiki radio di ruangan tersebut yang rusak. Semoga sentuhan-sentuhan kasih yang diberikan mampu memberikan kemajuan berarti bagian pasien tersebut agar segera memperoleh kesembuhan dan kembali bersama keluarga.