Dalam menanggulangi perdagangan manusia, berbagai daya upaya
telah dilakukan mulai dari tindakan pencegahan, penegakkan hukum, pemulihan,
reintegrasi (ganti rugi) baik oleh pemerintah, maupun Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Namun, sampai sekarang ini, masih banyak korban perdagangan
manusia yang tidak melaporkan kasus mereka dan pelaku tidak dijerat dengan
hukum yang sebagaimana mestinya. Maka, Solidarity Center yang bekerja sama
dengan Peduli Buruh Migran menyelanggarakan pelatihan dengan tajuk
”Pendampingan Hukum bagi Korban Trafiking” pada tanggal 3—4 September yang lalu
di Cikini. Sebanyak tiga belas orang baik dari lembaga pemerintah, maupun LSM
mengikuti pelatihan tersebut. Beberapa di antaranya berasal dari Solidaritas
Perempuan, Migrant Care, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Peduli Buruh
Migran, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Rumah
Perlindungan Trauma Center (RPTC), Gembala Baik, dan Sahabat Insan.
Pembicara selama dua hari tersebut adalah Bapak Willy
Balawala, selaku program officer Solidarity
Center, dan Ibu Erna
Ratnaningsih dari LBH APIK. Pertemuan pada hari pertama tersebut (3/9), dimulai dengan suasana yang cair dan penuh keakraban. Masing-masing
dari kami berbagi pengalaman ketika menangani para buruh migran yang menjadi korban.
Pemaparan yang tak terkira datang dari Pak Willy di awal. Secara global, lima tahun lalu, kasus
perdagangan orang terbesar ketiga setelah senjata dan narkoba. Namun, sekarang
persoalan perdagangan orang telah menjadi masalah pertama di dunia.
Salah satu isu hangat yang diangkat adalah kasus anak-anak
yang dijual untuk menjadi anak buah kapal (ABK). Mereka sampai berlayar ke
Pulau Christmas di Australia. Sampai saat ini, proses hukum masih berjalan.
Anak-anak tersebut selain mendapat kekerasaan selama bekerja, mereka juga tidak
digaji.
Usai bercerita, pelatihan dimulai tentang definisi dari perdagangan
orang seperti yang dimuat dalam Pasal 2 (1) dan (2) UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Bunyinya adalah setiap orang yang
melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau
penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan uang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk
tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, di pidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Kita dapat membaginya menjadi tiga unsur yaitu proses, jalan atau cara, dan
tujuan. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
Berangkat dari definisi tersebut, kami dihadapkan dengan
berbagai contoh kasus untuk mengidentifikasi apakah itu kasus perdagangan orang
atau bukan. Jadi, kasus yang dapat dijerat dengan UU TPPO adalah yang memenuhi
tiga unsur tersebut, apabila kurang salah satu, pelaku tidak dapat dijerat
dengan UU TPPO. Selain itu, yang perlu digarisbawahi adalah sekalipun korban
awalnya telah setuju kepada si pelaku perdagangan orang untuk pergi bekerja,
hal itu tidak membuat si pelaku menjadi bebas.
Penipuan adalah modus yang paling sering dilakukan untuk
merekrut tenaga kerja. Sang penipu dengan jani manisnya berkata kepada keluarga
dan korban tentang pekerjaan baik dengan gaji tinggi. Untuk janji-janji yang
tinggi itu dokumen-dokumen korban dipalsukan. Ternyata apa yang terjadi? Apa
yang kemudian mereka alami? Korban kemudian dieksploitasi, mereka dijual,
tempat mereka bekerja tidak sesuai dengan janji awal, mereka dianiaya oleh
majikan, gaji mereka pun tidak dibayar,
atau bahkan mereka dijadikan pelacur. Salah satu contoh yaitu kasus trafiking
di Batam, sebanyak 100 perempuan dipekerjakan di diskotek, salon, tempat pijat,
atau tempat pelacuran di sana.
Hal ini menjadi sulit diberantas salah satunya karena sudah menjadi bisnis dari
para mafia yang memiliki akses dan aset tak terkira.
Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pendamping
korban perdagangan orang.
Menempatkan korban di rumah aman atau shelter. Memperhatikan kondisi korban, beberapa korban cenderung tak
mau terbuka, memiliki kecurigaan tinggi sekali. Oleh karena itu, pendamping
butuh kesabaran luar biasa dan perlu melakukan sistem kekeluargaan. Baik
apabila tidak langsung melakukan assesment, melainkan pendekatan, mengobrol
seperti keluarga, sampai korban mau terbuka. Setelah itu, baru bercerita saat kondisi
korban sudah membaik.
- Melapor kepada kepolisian setelah memberi tahu berbagai
proses yang akan dilalui korban apabila menempuh jalur hukum.
- Melakukan visum apabila korban terluka atau teraniya dalam
rangka membantu mengumpulkan bukti-bukti.
- Meminta polisi tidak memakai pakaian polisi saat BAP,
apabila memungkinkan juga meminta polisi perempuan. Hal itu akan membuat korban
lebih nyaman untuk bertemu dan menyampaikan berbagai hal. Karena sangat wajar
bila si korban tertutup, mengingat orang-orang yang dia jumpai ternyata
trafiker.
- Tempat pemeriksaan juga lebih baik tidak di kantor polisi.
- Kata-kata yang digunakan dipilih. Para
pendamping diharapkan lebih “sensitif”.
- Melakukan mediasi dengan tujuan menuntut restitusi (ganti
rugi). Tetapi, beberapa mediasi yang terjadi berdampak pada berhentinya proses
pengadilan. Oleh karenanya, menjadi penting melihat bahwa kasus TPO yang
merupakan delik biasa, sebaiknya tidak melakukan mediasi kalau akibatnya adalah
untuk menghentikan proses pengadilan.
- Dalam proses persidangan, korban berhak mendapatkan
informasi yang dapat diintervensi menggunakan UU Keterbukaan Informasi Publik.
Kalau tidak diberikan, dapat digunakan sengketa informasi publik.
- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bisa menjadi
salah satu tempat untuk menuntut perlindungan bagi korban.
- Memediasi korban dengan keluarganya.
- Bekerja sama dengan semua pihak seperti polisi, jaringan
LSM, LBH, pengacara, pers.
- Mengawal proses hukum yang berlangsung sampai putusan
keluar.
Pelatihan hari pertama sebenarnya banyak dihabiskan dengan
berbagi cerita. Pada hari berikutnya (4/9) kami lebih fokus membahas
strategi-strategi advokasi dalam mendampingi dan memulihkan korban, proses
peradilan pidana, dan mendapatkan alat bukti. Pada dasarnya, kekhususan memakai
UU TPPO adalah karena dalam KUHAP tidak ada hukuman minimal, sedangkan di dalam
UU TPPO Pasal 2, hukuman minimal 3 tahun bagi pelaku.
Penting diketahui bahwa kebanyakan kasus yang seharusnya
kasus perdagangan orang, tidak dimasukkan oleh polisi ke dalam UU TPPO. Hal itu,
seringkali disebabkan karena polisi tidak tahu tentang UU TPPO dan dalam proses
yang berjalan, polisi yang memeriksa pekara berganti, sehingga pendekatan dari
pendamping bisa jadi sia-sia apabila ini terjadi. Maka, UU TPPO menjadi semacam
kitab suci bagi para aktivis yang hendak mengadvokasi para korban perdagangan
orang.
Proses hukum yang dijalani korban bisa sangat lama dan belum
tentu pelaku tertangkap. Selain itu, yang menjadi kendala adalah sistem rantai
putus. Perekrut tidak selalu menjadi pelaku perdagangan orang. Karena setelah
korban direkrut dari daerah asal, kemudian dijual ke agen lain. Jadi tidak ada
pemantauan secara terus-menerus dari perekrut. Bisa jadi korban juga dibuang
begitu saja. Jadi, antara perekrut, agen satu dan agen yang lain, tidak saling
kenal. Justru mereka menghilangkan jejak agar tidak kena proses hukum. Apalagi
kalau korban sudah lintas negara, semakin sulit dan lama proses hukumnya.
Karena selain keberanian, tentu dalam proses peradilan, baik
pendamping atau korban membutuhkan kesabaran. Kasus TPPO ini membutuhkan waktu sampai
bertahun-tahun untuk menjerat pelaku ke penjara serta demi menuntut ganti rugi
yang setimpal. Ganti rugi yang diberikan pun bisa sangat tidak sesuai dengan
yang dituntut.
Terkait dengan pelaku perdagangan orang, sering yang terjadi
pelakunya adalah orangtua korban sendiri. Orang-orang terdekat korban justru
memiliki peluang paling besar untuk menjerumuskan sanak saudara mereka ke dalam
perdagangan orang. Bukan berarti karena keluarga mereka tidak dijerat hukuman.
Hal inilah yang kemudian menjadi perbincangan kami karena begitu dilematis
persoalannya. Dalam UU TPPO Pasal 9 ditulis bahwa setiap orang yang berusaha
menggerakan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang dijerat
pidana pula. Dengan demikian, orangtua pun bisa terjerat. Walaupun, ada juga
orangtua korban yang memang tidak tahu dan tidak bermaksud menjual anaknya.
Mungkin orangtuanya berada dalam kemiskinan, pendidikan rendah, terjerat hutang,
ditipu, dsb.. Ada
juga orangtua yang memang ikut serta memalsukan dokumen dan menjual secara
terang-terangan anak-anaknya. Sayangnya, dalam logika hukum, ketidaktahuan
tidaklah diterima, sekalipun dapat dikatakan bahwa orangtua minim pegetahuan,
dsb.. Pada akhirnya, kebanyakan korban tidak melanjutkan kasusnya.
Advokasi bagi korban
meliputi litigasi (jalur hukum) dan nonlitigasi (nonhukum). Keduanya harus dilakukan
secara bersama-sama. Pendamping juga tidak boleh lupa untuk menanyakan
keinginan utama korban. Apakah korban memang ingin menempuh jalur hukum untuk
memenjarakan pelaku dan menuntut ganti rugi atau tidak. Pendamping tidak dapat
memaksakan, hanya berusaha memberi tahu secara detail proses beserta risiko
yang akan korban jalani bila memilih jalur hukum.
Karena perdagangan orang sudah menjadi masalah kemanusiaan paling besar di seluruh dunia, maka sudah
seharusnya semua pihak mulai dari keluarga, civil
society, pemerintah, serta media saling bekerja sama untuk menuntaskan
persoalan ini.