Tuesday, May 13, 2014

Metamorfosis Sri

Panas dan macet, itulah yang kami rasakan saat dalam perjalanan ke Sukabumi pada Sabtu, 3 Mei 2014 yang lalu. Tujuan kami adalah ke rumah Sri, korban yang pernah ditolong dan tinggal di shelter Sahabat Insan pada tahun 2012. Sri, mantan TKI, yang pernah mengalami kecelakaan kerja di Oman. Dia terbakar karena kompor meledak saat sedang memasak untuk majikannya. Kami ingin melihat kondisinya saat ini. Kabarnya, dia sudah mulai bekerja di salah satu pabrik di Sukabumi. 

Sri dan anaknya
Kami berangkat dari shelter pukul 10.45 WIB, jalanan hari itu padat merayap. Beberapa kali kami turun untuk bertanya letak tempat janjian kami dengan Sri. Kami memang belum pernah ke rumah Sri. Namun, berbekal nomor ponsel Sri, kami yakin pasti bisa sampai. Sri mengkehendaki supaya kami berjumpa di Terminal Lembur Situ supaya lebih dekat dengan rumahnya.

Setiap Sabtu, Sri bekerja setengah hari, sehingga kami mempunyai kesempatan untuk menemuinya setelah pulang bekerja. Salah satu penyebab kemacetan perjalanan kami adalah karena banyaknya angkot dan sepeda motor yang memenuhi badan jalan. Mereka menunggu penumpang yaitu para karyawan pabrik yang mulai pulang kerja. Kebanyakan para karyawan pabrik yang tampak dalam pemandangan kami siang itu adalah para perempuan muda. Ada yang mengenakan seragam pabrik masing-masing, ada yang mengenakan seragam hem, dan ada yang hanya mengenakan kaos.

Matahari hampir tengelam ke Barat saat kami sampai di Terminal Lembur Situ. Kami menghubungi Sri memberi tahu bahwa kami sudah sampai di terminal dan kami menunggunya di depan Alfamart. Sambil menunggu Sri, kami keluar dari mobil dan mengerakkan badan, serta kaki kami yang sudah sepanjang hari terlipat di dalam. Setelah dua puluh menit menunggu, akhirnya Sri datang dengan anak perempuannya.

Sri mengenakan kerudung bermotif kuning kembang-kembang. Dia tampak cantik dan bersih tetapi badannya tampak lebih kurus. Anak perempuannya berumur empat tahun, berambut keriting besar-besar , dan mengenakan sweater merah.  Ica, demikian nama anak itu.  Ica tampak takut dengan kami dan tidak mau berjabat tangan, dia hanya bersembunyi di belakang, sambil memegang baju ibunya.

Kami bercerita tentang berbagai hal sambil makan bakso, sementara Ica asyik bermain dengan seekor kucing. Sri bercerita tentang situasi keluarganya saat ini, pekerjaannya sebagai karyawan pabrik, anaknya yang aktif, dan tentang suami yang sudah meninggalkannya. Kata ”Ibu” tak pernah diucapkan Ica kepada Sri. Ica memanggil Sri dengan panggilan namanya, sedangkan memanggil neneknyadengan ibu. Itu karena sejak kecil Ica tak pernah kenal dengan Sri, baru sekarang Sri kembali dan Ica belum dapat memahami.

Sri adalah perempuan berbadan pendek dan kecil, tetapi dibalik itu dia adalah perempuan kuat dan tegar. Sri menanggung semua penderitaan dengan jiwa besar dan penuh kepasrahan. Dia dijual oleh suaminya sendiri untuk menjadi TKI saat anaknya masih berusia delapan bulan, perjuangan sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang tanpa mengetahui budaya dan bahasanya, pekerjaan berat yang harus dilakukan setiap hari tanpa diimbangi dengan istirahat dan makan yang cukup, luka bakar akibat kecelakaan kerja, dibuang oleh majikan dalam keadaan sekujur tubuh masih melepuh dan ditinggal menikah lagi oleh suami yang dicintainya.

Sekarang Sri mulai bangkit membangun hidup dan masa depannya. Sri tinggal dengan kedua orang tuanya, ayahnya bekerja sebagai buruh serabutan dengan penghasilan yang tidak tentu, dua adiknya masih sekolah, sementara ibunya tidak bekerja. Gaji Sri sebagai buruh pabrik digunakan untuk menghidupi enam orang termasuk anaknya sendiri, untuk biaya makan, sekolah adiknya, dan untuk transport hariannya. Tiap bulan masih harus berhutang untuk memenuhi semuanya.

Walau demikian, Sri tetap mampu bersyukur dengan situasinya saat ini, dia tidak mau lagi pergi bekerja ke luar negeri. Suatu kali Sri pernah didatangi seorang agen yang menawarinya untuk kembali bekerja di luar negeri. Dengan tegas Sri menolaknya. Menurut pengalaman Sri, gaji yang ditawarkan agen tidak sesuai dengan kenyataan yang diterimanya saat bekerja di luar negeri dan kalau dihitung-hitung secara keseluruhan lebih untung kerja di tempat sendiri karena bisa dekat dengan keluarga, terlebih anak. Selain itu, di negeri sendiri juga jauh lebih aman dan nyaman.

Setelah puas bercerita di warung bakso, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke rumah Sri yang berada di Desa Gunung Guruh. Letak rumah Sri tidak bisa dijangkau dengan kendaraan roda empat. Kami masih harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak melalui perkampungan dan pematang sawah dengan di sebelah sisinya adalah sungai berarus deras dengan air yang berwarna cokelat. Sesekali kami harus melompat kecil untuk melewati genangan air, karena sebelumnya hujan turun begitu deras. Kami yang tidak biasa berjalan di jalan setapak, di antara pematang dan sungai harus ekstra hati-hati karena takut terjatuh, apalagi hari sudah mulai gelap.

Sampai di rumah Sri, kami disambut oleh bapak dan ibu serta adik laki-laki yang duduk di kelas 2 SMP. Mereka menyambut kami dengan ramah dan penuh persaudaraan. Rumah keluarga Sri masih sangat sederhana, berukuran kecil, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, dan lantainya tanah liat yang dialasi dengan bambu-bambu yang ditata rapi. Dinding bagian dalam ditutup dengan kain bekas spanduk dan sebagian lagi dengan koran dan majalah bergambar. Rasanya rumah ini terlalu sempit dihuni oleh lima orang dewasa dan satu orang anak.

Kami semakin memahami mengapa dulu Sri mampu bertahan sampai 22 bulan di Oman dengan kondisi kerja yang sangat berat dengan upah yang tidak sesuai. Kebanggaan kami pada Sri tumbuh dengan sendirinya, Sri perempuan perkasa yang sungguh sangat bertanggung jawab terhadap anak dan keluarganya. Ia rela berkurban dan menderita demi orang-orang yang dicintainya dan tetap teguh walau dibujuk rayu untuk kembali bekerja ke luar negeri. Walau hanya mengenyam pendidikan sampai kelas empat SD, tapi Sri tidak mau mengulang mengalaman pahitnya di negeri orang. Ia ingin melanjutkan hidup dan menatanya di negeri sendiri.

Bagi kami, berjumpa dan menyapa Sri dan keluarga merupakan pengalaman yang sangat berharga. Sri telah mengalami metamorfosis seperti kupu-kupu. Kendati demikian, perjuangan demi kehidupan terus dilakoninya. Kami berharap dan berdoa untuk kehidupan yang lebih baik bagi Sri, keluarga, serta anaknya kelak. Semoga Sri-Sri lain mempunyai kesadaran yang sama dalam membangun hidup di negeri sendiri demi keutuhan dan kebahagiaan keluarga.