Panas dan macet, itulah yang
kami rasakan saat dalam perjalanan ke Sukabumi pada Sabtu, 3 Mei 2014 yang lalu.
Tujuan kami adalah ke rumah Sri, korban yang pernah ditolong dan tinggal di shelter Sahabat Insan pada tahun 2012. Sri,
mantan TKI, yang pernah mengalami kecelakaan kerja di Oman . Dia terbakar karena kompor
meledak saat sedang memasak untuk majikannya. Kami ingin melihat kondisinya
saat ini. Kabarnya, dia sudah mulai bekerja di salah satu pabrik di
Sukabumi.
Sri dan anaknya |
Kami berangkat dari shelter pukul 10.45 WIB, jalanan hari
itu padat merayap. Beberapa kali kami turun untuk bertanya letak tempat janjian
kami dengan Sri. Kami memang belum pernah ke rumah Sri. Namun, berbekal nomor
ponsel Sri, kami yakin pasti bisa sampai. Sri mengkehendaki supaya kami berjumpa
di Terminal Lembur Situ supaya lebih dekat dengan rumahnya.
Setiap Sabtu, Sri bekerja
setengah hari, sehingga kami mempunyai kesempatan untuk menemuinya setelah
pulang bekerja. Salah satu penyebab kemacetan perjalanan kami adalah karena
banyaknya angkot dan sepeda motor yang memenuhi badan jalan. Mereka menunggu
penumpang yaitu para karyawan pabrik yang mulai pulang kerja. Kebanyakan para
karyawan pabrik yang tampak dalam pemandangan kami siang itu adalah para
perempuan muda. Ada
yang mengenakan seragam pabrik masing-masing, ada yang mengenakan seragam hem, dan ada yang hanya mengenakan kaos.
Matahari hampir tengelam ke Barat
saat kami sampai di Terminal Lembur Situ. Kami menghubungi Sri memberi tahu
bahwa kami sudah sampai di terminal dan kami menunggunya di depan Alfamart.
Sambil menunggu Sri, kami keluar dari mobil dan mengerakkan badan, serta kaki
kami yang sudah sepanjang hari terlipat di dalam. Setelah dua puluh menit
menunggu, akhirnya Sri datang dengan anak perempuannya.
Sri mengenakan kerudung
bermotif kuning kembang-kembang. Dia tampak
cantik dan bersih tetapi badannya tampak lebih kurus. Anak perempuannya berumur
empat tahun, berambut keriting besar-besar , dan mengenakan sweater merah. Ica, demikian
nama anak itu. Ica tampak takut dengan
kami dan tidak mau berjabat tangan, dia hanya bersembunyi di belakang, sambil
memegang baju ibunya.
Kami
bercerita tentang berbagai hal sambil makan bakso, sementara Ica asyik bermain
dengan seekor kucing. Sri bercerita tentang situasi keluarganya saat ini,
pekerjaannya sebagai karyawan pabrik, anaknya yang aktif, dan tentang suami
yang sudah meninggalkannya. Kata ”Ibu” tak pernah diucapkan Ica kepada Sri. Ica
memanggil Sri dengan panggilan namanya, sedangkan memanggil neneknyadengan
ibu. Itu karena sejak kecil Ica tak pernah kenal dengan Sri, baru sekarang Sri
kembali dan Ica belum dapat memahami.
Sri
adalah perempuan berbadan pendek dan kecil, tetapi dibalik itu dia
adalah perempuan kuat dan tegar. Sri menanggung semua penderitaan dengan jiwa
besar dan penuh kepasrahan. Dia dijual oleh suaminya sendiri untuk
menjadi TKI saat anaknya masih berusia delapan bulan, perjuangan sebagai
pembantu rumah tangga di negeri orang tanpa mengetahui budaya dan bahasanya,
pekerjaan berat yang harus dilakukan setiap hari tanpa diimbangi dengan
istirahat dan makan yang cukup, luka bakar akibat kecelakaan kerja, dibuang
oleh majikan dalam keadaan sekujur tubuh masih melepuh dan ditinggal menikah
lagi oleh suami yang dicintainya.
Sekarang Sri mulai bangkit
membangun hidup dan masa depannya. Sri tinggal dengan kedua orang tuanya,
ayahnya bekerja sebagai buruh serabutan dengan penghasilan yang tidak tentu,
dua adiknya masih sekolah, sementara ibunya tidak bekerja. Gaji Sri sebagai
buruh pabrik digunakan untuk menghidupi enam orang termasuk anaknya sendiri,
untuk biaya makan, sekolah adiknya, dan untuk transport hariannya. Tiap bulan
masih harus berhutang untuk memenuhi semuanya.
Walau demikian, Sri tetap mampu
bersyukur dengan situasinya saat ini, dia tidak mau lagi pergi bekerja ke luar
negeri. Suatu kali Sri pernah didatangi seorang agen yang menawarinya untuk
kembali bekerja di luar negeri. Dengan tegas Sri menolaknya. Menurut pengalaman
Sri, gaji yang ditawarkan agen tidak sesuai dengan kenyataan yang diterimanya saat
bekerja di luar negeri dan kalau dihitung-hitung secara keseluruhan lebih
untung kerja di tempat sendiri karena bisa dekat dengan keluarga, terlebih anak.
Selain itu, di negeri sendiri juga jauh lebih aman dan nyaman.
Setelah puas bercerita di
warung bakso, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke rumah Sri yang
berada di Desa Gunung Guruh. Letak rumah Sri tidak bisa dijangkau dengan
kendaraan roda empat. Kami masih harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak
melalui perkampungan dan pematang sawah dengan di sebelah sisinya adalah sungai
berarus deras dengan air yang berwarna cokelat. Sesekali kami harus melompat
kecil untuk melewati genangan air, karena sebelumnya hujan turun begitu deras.
Kami yang tidak biasa berjalan di jalan setapak, di antara pematang dan sungai
harus ekstra hati-hati karena takut terjatuh, apalagi hari sudah mulai gelap.
Sampai di rumah Sri, kami
disambut oleh bapak dan ibu serta adik laki-laki yang duduk di kelas 2 SMP.
Mereka menyambut kami dengan ramah dan penuh persaudaraan. Rumah keluarga Sri
masih sangat sederhana, berukuran kecil, dindingnya terbuat dari anyaman bambu,
dan lantainya tanah liat yang dialasi dengan bambu-bambu yang ditata rapi. Dinding bagian dalam ditutup dengan kain bekas spanduk
dan sebagian lagi dengan koran dan majalah bergambar. Rasanya rumah ini terlalu
sempit dihuni oleh lima orang dewasa dan satu orang anak.
Kami
semakin memahami mengapa dulu Sri mampu bertahan sampai 22 bulan di Oman dengan
kondisi kerja yang sangat berat dengan upah yang tidak sesuai. Kebanggaan kami
pada Sri tumbuh dengan sendirinya, Sri perempuan perkasa yang sungguh sangat
bertanggung jawab terhadap anak dan keluarganya. Ia rela berkurban dan menderita
demi orang-orang yang dicintainya dan tetap teguh walau dibujuk rayu untuk
kembali bekerja ke luar negeri. Walau
hanya mengenyam pendidikan sampai kelas empat SD, tapi Sri tidak mau mengulang
mengalaman pahitnya di negeri orang. Ia ingin melanjutkan hidup dan menatanya
di negeri sendiri.
Bagi
kami, berjumpa dan menyapa Sri dan keluarga merupakan pengalaman yang sangat
berharga. Sri telah mengalami metamorfosis seperti kupu-kupu. Kendati demikian, perjuangan demi kehidupan terus dilakoninya. Kami berharap dan berdoa untuk kehidupan yang lebih baik bagi Sri,
keluarga, serta anaknya kelak. Semoga Sri-Sri lain mempunyai kesadaran yang
sama dalam membangun hidup di negeri sendiri demi keutuhan dan kebahagiaan
keluarga.