Jumat lalu, 2 Mei 2014, Sahabat
Insan kembali berkunjung ke Eboni, ruang jiwa yang menampung para buruh migran
di salah satu rumah sakit di Jakarta .
Ketika kami sampai, kami melihat tak banyak orang dengan kegiatan berarti di sana . Itu adalah pemandangan
seperti biasa.
Bahkan kami yang hanya sesekali
berkunjung pun merasa bosan melihat kegiatan mereka yang hanya makan, tidur,
bersih-bersih, atau menonton televisi saja. Semua seperti di dalam penjara.
Apalagi mereka yang berbulan-bulan berada di sana tanpa kepastian kapan mereka akan
dipulangkan.
Kami berkumpul di ruang depan dan
mengobrol dengan beberapa dari mereka.
Wajah-wajah pasien di sana tak asing bagi kami. Mereka muka-muka lama yang
kami jumpai. J yang kami jumpai sekitar sebulan lalu menyapa kami dan kembali
mengeluh bosan. Perempuan
muda cantik itu berasal dari Kupang. Dia merasa sehat dan tak mengalami
gangguan jiwa sedikit pun. Sampai kini nasibnya tak jelas. BNP2TKI belum
memberikan kepastian kapan dia akan dipulangkan.
Fia yang kami jumpai sejak dua bulan lalu masih berada di Eboni dalam
keadaan lupa ingatan. Dia hanya menginat namanya, tapi rumahnya di mana dia tak
ingat sama sekali. Kami baru saja menyadari bahwa dia tengah dalam keadaan
hamil. Pikiran kami mulai mengira-ngira apa yang terjadi terhadapnya. Kami
bersedih karenanya, padahal kami tak tahu pasti kejadian buruk yang menimpanya.
Seorang perempuan bernama Siti baru satu minggu berada di Eboni, dia
meracau dalam bahasa daerah yang kadang bercampur dengan bahasa Arab. Kami
sulit memahaminya. Kadang dia menjadi begitu agresif dan marah-marah sendiri
pada kalimat keempat kelima dan seterusnya. Kemudian, setelah kami tegur lagi,
dia tertawa. Di satu sisi kami prihatin, tapi di sisi lain kami terhibur karena
tidak mengerti apa yang dia sampaikan.
Berbeda lagi dengan seorang ibu yang awalnya kami ajak bicara dan masih
menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan baik. Dia bercerita bahwa gajinya tak dibayar majikan.
Dia kabur dan mengemis di Malaysia. Kemudian dia pergi ke Kedutaan dan
dipulangkan sampai akhirnya tiba di Eboni. Dia bertanya kepada kami, apakah
kami punya uang. Dia kemudian, mengadahkan tangannya meminta Rp1000,00. Ketika
tak kami berikan dia protes, lalu pergi meninggalkan kami dengan wajah cemberut.
Entah apa yang mereka alami ketika bekerja di luar negeri. Kami memang
hanya bisa menduga-duga. Tapi, kebanyakan cerita yang kami dengar memang mereka
mengalami berbagai tindakan yang tidak menyenangkan, bahkan dapat dikatakan
tidak manusiawi oleh majikan mereka.
Kunjungan hari itu menjadi berkesan karena kami berjumpa dengan seorang ibu
yang pernah kami jumpai beberapa waktu lalu di Eboni. Dia adalah Ibu Eti. Dia bukan mantan TKI seperti yang
lainnya. Dia mantan pasien umum di sana. Melihat kami berkunjung, wajahnya tampak gembira, dia masih mengenali kami. Pertama-tama, Ibu Eti langsung menyalami Suster Murph dan berusaha berbicara dalam
bahasa Inggris. Kemudian, dia duduk bersama kami dan ikut mengobrol. Suasana
kali itu menjadi penuh tawa karena dia berusaha berkomunikasi dengan Siti. Kami
tertawa terbahak-bahak karena Siti dari yang bicaranya penuh emosi dan marah
menjadi ikut tertawa ketika Ibu Eti berkata, ”Hei jangan marah-marah begitu!”.
Melihat Ibu Eti yang berkunjung ke Eboni, kemudian dia mau menyapa kami,
juga mengajak bicara para mantan TKI, membesarkan hati kami. Kami terharu melihat kepeduliannya itu. Dia memiliki empati kepada mereka yang
menderita. Mungkin terlihat sepele, hanya berkunjung, lalu duduk sebentar untuk
mengajak mereka mengobrol. Namun, perhatian kecil ibu itu telah menghibur
mereka yang telah lama termarginalkan. Mungkin Ibu Eti sedang bercermin. Dia melihat dirinya sendiri ketika berada
lama sebagai pasien di Eboni. Dia ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Maka, dia kembali untuk memberikan perhatian
kepada mereka.
Usai berkunjung ke sana, kami seolah diajak juga untuk bercermin.
http://www.yaztahtaya.org/sacmalik/empati-nedir/ |