Tuesday, May 6, 2014

Bercermin

Jumat lalu, 2 Mei 2014, Sahabat Insan kembali berkunjung ke Eboni, ruang jiwa yang menampung para buruh migran di salah satu rumah sakit di Jakarta. Ketika kami sampai, kami melihat tak banyak orang dengan kegiatan berarti di sana. Itu adalah pemandangan seperti biasa.

Bahkan kami yang hanya sesekali berkunjung pun merasa bosan melihat kegiatan mereka yang hanya makan, tidur, bersih-bersih, atau menonton televisi saja. Semua seperti di dalam penjara. Apalagi mereka yang berbulan-bulan berada di sana tanpa kepastian kapan mereka akan dipulangkan.

Ada seorang ibu yang kami jumpai di sana, sedang berdiri di sebuah kursi sambil melihat keluar jendela kecil. Dia berdiri di sana lama sekali. Hanya dengan terus memandang ke luar itu, kami tahu bahwa ibu yang kurus dengan wajah tirus tersebut mendambakan kebebasan.

Kami berkumpul di ruang depan dan mengobrol dengan beberapa dari mereka.
Wajah-wajah pasien di sana tak asing bagi kami. Mereka muka-muka lama yang kami jumpai. J yang kami jumpai sekitar sebulan lalu menyapa kami dan kembali mengeluh bosan. Perempuan muda cantik itu berasal dari Kupang. Dia merasa sehat dan tak mengalami gangguan jiwa sedikit pun. Sampai kini nasibnya tak jelas. BNP2TKI belum memberikan kepastian kapan dia akan dipulangkan.

Fia yang kami jumpai sejak dua bulan lalu masih berada di Eboni dalam keadaan lupa ingatan. Dia hanya menginat namanya, tapi rumahnya di mana dia tak ingat sama sekali. Kami baru saja menyadari bahwa dia tengah dalam keadaan hamil. Pikiran kami mulai mengira-ngira apa yang terjadi terhadapnya. Kami bersedih karenanya, padahal kami tak tahu pasti kejadian buruk yang menimpanya.

Seorang perempuan bernama Siti baru satu minggu berada di Eboni, dia meracau dalam bahasa daerah yang kadang bercampur dengan bahasa Arab. Kami sulit memahaminya. Kadang dia menjadi begitu agresif dan marah-marah sendiri pada kalimat keempat kelima dan seterusnya. Kemudian, setelah kami tegur lagi, dia tertawa. Di satu sisi kami prihatin, tapi di sisi lain kami terhibur karena tidak mengerti apa yang dia sampaikan.

Berbeda lagi dengan seorang ibu yang awalnya kami ajak bicara dan masih menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan baik. Dia bercerita bahwa gajinya tak dibayar majikan. Dia kabur dan mengemis di Malaysia. Kemudian dia pergi ke Kedutaan dan dipulangkan sampai akhirnya tiba di Eboni. Dia bertanya kepada kami, apakah kami punya uang. Dia kemudian, mengadahkan tangannya meminta Rp1000,00. Ketika tak kami berikan dia protes, lalu pergi meninggalkan kami dengan wajah cemberut.

Entah apa yang mereka alami ketika bekerja di luar negeri. Kami memang hanya bisa menduga-duga. Tapi, kebanyakan cerita yang kami dengar memang mereka mengalami berbagai tindakan yang tidak menyenangkan, bahkan dapat dikatakan tidak manusiawi oleh majikan mereka.

Kunjungan hari itu menjadi berkesan karena kami berjumpa dengan seorang ibu yang pernah kami jumpai beberapa waktu lalu di Eboni. Dia adalah Ibu Eti. Dia bukan mantan TKI seperti yang lainnya. Dia mantan pasien umum di sana. Melihat kami berkunjung, wajahnya tampak gembira, dia masih mengenali kami. Pertama-tama, Ibu Eti langsung menyalami Suster Murph dan berusaha berbicara dalam bahasa Inggris. Kemudian, dia duduk bersama kami dan ikut mengobrol. Suasana kali itu menjadi penuh tawa karena dia berusaha berkomunikasi dengan Siti. Kami tertawa terbahak-bahak karena Siti dari yang bicaranya penuh emosi dan marah menjadi ikut tertawa ketika Ibu Eti berkata, ”Hei jangan marah-marah begitu!”.

Melihat Ibu Eti yang berkunjung ke Eboni, kemudian dia mau menyapa kami, juga mengajak bicara para mantan TKI, membesarkan hati kami. Kami terharu melihat kepeduliannya itu. Dia memiliki empati kepada mereka yang menderita. Mungkin terlihat sepele, hanya berkunjung, lalu duduk sebentar untuk mengajak mereka mengobrol. Namun, perhatian kecil ibu itu telah menghibur mereka yang telah lama termarginalkan. Mungkin Ibu Eti sedang bercermin. Dia melihat dirinya sendiri ketika berada lama sebagai pasien di Eboni. Dia ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Maka, dia kembali untuk memberikan perhatian kepada mereka.

Usai berkunjung ke sana, kami seolah diajak juga untuk bercermin.


http://www.yaztahtaya.org/sacmalik/empati-nedir/