Monday, July 10, 2017

Laporan Koalisi Insan Peduli Migran di Ende Dalam Pertemuan Koalisi Peduli Migrasi dan Perdagangan Orang NTT

Pada tanggal 8-10 Mei 2017, Sahabat Insan mengikuti Pertemuan Koalisi Peduli Migrasi dan Perdagangan Orang NTT yang diadakan di Wisma Unio Indonesia. Selain Sahabat Insan, pertemuan yang dilaksanakan di bawah koordinasi Romo Benny Juliawan, SJ yang bekerja untuk Karya Sosial Jesuit Asia Pasifik, dihadiri oleh Pater Fransiskus Funan SVD (ketua divisi hubungan antar lembaga di koalisi), RD Perno (pastor paroki di Ende dan Ketua Komisi Migran di Keuskupan Ende), Pak Deni (Kepala Desa Ranggatalo dan Ketua Koalisi di Ende), Cornelis Selan (baru selesai kuliah di Fakultas Teologi Kupang, tahun lalu bertemu dengan Romo Leo Mali, dan tahun 2016 bergabung di Solidaritas Peduli Kemanusiaan Perdagangan Orang di Kupang), Sr. Irene OSU (Divisi Peduli Migran - KAJ), Sr. Laurentina, PI dan Sr. Genoveva SSPS (IBSI-CWTC), Sr. Lia, RGS yang dalam kesempatan ini mewakili Sr. Lidwina di Maumere), serta  Fajar Santoadi dari Tenaganita



Pertemuan ini sendiri merupakan tindak lanjut dari pertemuan pertama yang diadakan pada tanggal 5 – 7 April 2016 di Wisma Guadalupe - Duren Sawit Jakarta. Pada saat itu , Counter Women Trafficking Commission Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia (CWTC-IBSI), Suster-suster Gembala Baik, Sahabat Insan, Vivat Indonesia, JPIC PI, JPIC FMM, dan KPPMP-KWI telah mengawali sebuah pertemuan untuk membentuk koalisi peduli migrasi dan perdagangan orang NTT. Koalisi ini terbuka bagi siapapun yang bekerja di bidang migrasi serta anti perdagangan orang dan memiliki kepedulian kepada warga NTT. Koalisi ini dipandang penting untuk dibentuk karena NTT merupakan daerah asal buruh migran terbesar dan kerap menemui masalah dalam proses migrasi, mulai dari perdagangan orang, deportasi serta penganiayaan yang berujung pada deportasi, sakit parah bahkan kematian. Setelah setahun berjalan, para anggota koalisi kembali bertemu untuk melakukan evaluasi dan menyusun rencana ke depan agar dapat melayani dengan lebih baik. Pertemuan koalisi pada tahun 2016 sendiri menghasilkan renstra sebagai berikut: 
1. Advokasi,
2. Pelayanan Pastoral, agar hirarki paham dan peduli dengan nasib migran
3. Pemberdayaan ekonomi, agar BMI bijaksana memakai uang, dan terbentuk pusat wirausaha di desa asal BMI. 

Koalisi Insan Peduli Migran di Ende melalui Kepala Desa Bapak Deni mengungkapkan bahwa, di Ende, dengan 27 paroki dan 10 titik pelayanan, terdapat 19 ribu orang yang melakukan migrasi dan yang non-prosedural mencapai 90%. Tahun 2016 telah dibentuk 9 desa ramah migran dan 1 paroki ramah migran. Pihak gereja sendiri ada yang pro dan kontra dengan gerakan ini, karena menganggap ini adalah pekerjaan koalisi. Di masing-masing desa, ada satuan tugas (satgas) yang terdiri dari para TKI purna migran dan mantan calo yang sudah insaf. Para satgas ini dikukuhkan oleh Romo Vikep Ende. Ende merupakan kabupaten yang rawan migran. Selain merupakan daerah darurat TPPO, selama tahun 2017, mereka menerima 5 jenazah yang semuanya berasal dari paroki ramah migran. Koalisi sendiri saat ini  menjadi tempat pengaduan masyarakat dan rajin melakukan sosialisasi ke sekolah dan OMK. Kendala yang sering mereka hadapi adalah kesulitan untuk mendapatkan ambulance saat ada jenazah. Bahkan pernah suatu saat biaya ambulan ditanggung dengan cara patungan antara anggota koalisi. Dalam rangka Hari Migran Sedunia, pada tanggal 18 Desember 2016 lalu koalisi mengumpulkan 100 satgas untuk melihat perkembangannya. Di Ende, koalisi ini dianggap memiliki data yang valid dan sering diajak Disnakertrans untuk melakukan sosialisasi. Saat ini, sudah ada kerja sana antara kolaisi dan kepolisian serta pelabuhan, sehingga diharapkan penanganan kasus akan lebih cepat. Keuskupan Ende sendiri saat ini mengambil tema 'Perdagangan Orang', namun koalisi sendiri berada di luar struktur gereja. Pemberdayaan ekonomi sudah mulai membuat kegiatan pengolahan kolang kaling dan pembuatan pupuk. Ada 2 desa dampingan koalisi menjadi contoh untuk desmigratif.

Romo Frans Funan, SVD kemudian menambahkan pengalaman beliau saat mengunjungi perantau kelapa sawit asal NTT di Kalimantan pada tanggal 23 Desember 2016 - 2 Januari 2017. Persoalan utama yang dihadapi di sana adalah: (1) pendidikan untuk anak-anak dan generasi muda. PT membuat sekolah tetapi tidak membuat anak menjadi cerdas. Anak tidak naik kelas dan tidak bisa baca tulis. Anak-anak yang lahir di hutan kelapa sawit merasa asing di kampungnya. Saat ini, jumah anak di sana sekitar 2000 orang. (2) Karyawan. Nasib karyawannya pun juga tidak lebih baik. Dengan gaji 700-800ribu sebulan, mereka harus membeli beras dari PT dengan harga 600ribu sekarung. Ada beberapa karyawan yang menjadi tenaga tetap, namun ada juga buruh harian yang sulit naik menjadi karyawan tetap. Buruh harian rata-rata bekerja selama 3-9 tahun. Di sana, warga NTT dianggap sebagai perantau yang hanya bawa badan dan otaknya ditinggal di kampung. Saat sebuah PT dijual, ia memberikan seluruh asetnya kepada pembeli, termasuk karyawannya. (3) Pelayanan Rohani. Di sana ada sekolah tapi tidak ada guru agama Katolik. Ada kapela tapi untuk oukumene. Persoalan iman dan pelayanan Sakramen juga memprihatinkan. Semua tenaga kerja dari NTT berstatus illegal karena tidak membawa dokumen resmi.

Tentang Paroki Ramah Migran:

Koalisi diberi nama Insan Peduli Migran karena banyak orang yang terlibat dalam pelayanan tidak melulu dari gereja tetapi juga orang yang beda iman. Koalisi ini memiliki prinsip kemanusiaan sebagai yang utama, sehingga baik pekerja legal maupun illegal akan tetap diurus jika mereka menjadi korban. Tindakan ini bukan berarti mendukung pekerja illegal, namun sebagai bentuk rasa kemanusiaan yang sama untuk semua orang. Koalisi ini membuat jaringan dengn KKPPMP dan KWI.

Dalam pelaksanaannya, Paroki Ramah Migran sendiri mengambil konsep desa ramah migran: mendata nama, nomor telpon yang dihubungi, berapa lama di rantau, serta ada tidaknya pasangan. Paroki ini terbuka 24 jam untuk pengaduan. Setelah paroki menjadi paroki ramah migran, ada banyak laporan dari umat. Beberapa kasus yang sering diterima adalah pekerja migran yang tidak bisa pulang karena punya istri dan anak baru di tempat tujuan. Program yang sedang disusun saat ini adalah:
·         Pemberdayaan istri migran dan anak yang amat sangat diperlukan, karena ada perbedaan antara anak yang ditinggal bermigrasi dan anak yang didampingi oleh orangtuanya
·         Bekerjasama dengan KOMSOS untuk membuat film pendek tentang persoalan migrasi
·         Memiliki satgas yang terdiri atas satgas dari desa ramah migran
·         Pemberdayaan ekonomi dilakukan kerjasama dengan koalisi
·         Sudah melakukan sosialisasi bagi paroki
·         Kerjasama dgn RRI Ende untuk sosialisasi persoalan migrasi setiap bulan

Hasil evaluasi kinerja koalisi selama setahun dapat disimpulkan sebagai berikut:

Kelebihan:
·         Adanya pihak yang memperhatikan nasib buruh migran, terutama dari NTT
·         Jaringan sudah mulai terbentuk walaupun belum sempurna
·   Adanya sosialisasi-sosialisasi baik melalui radio, paroki serta OMK, untuk meningkatkan kesadaran adanya resiko bermigrasi ke tempat lain. 
·   Sudah memiliki akses dengan polisi dan media jika ada kasus-kasus migran sehingga mudah mencari solusi.

Kekurangan:
·       Belum adanya dukungan dari Pemerintah/Pemda dan gereja sendiri untuk melaksanakan gerakan ini 
·         Keterbatasan dana/prasarana yang digunakan untuk menunjang pelayanan
·         Belum semua iman, biarawan/wati merasa terpanggil untuk karya kemanusiaan
·         Keterlibatan masyarakat terhalang oleh praktek LSM/insentif uang
·         Jaringan menyusut
·         Adanya struktur yang kaku di gereja dan birokrat yang menghambat jalannya pelayanan
·         Kurangnya komunikasi
·         Pemasaran hasil kerja desa dampingan

·         Masih minimnya jaringan komunitas/organisasi di negara tujuan (Malaysia)