Bertempat di Atheneo de Manila dan Cagayan de Oro,
Mindanau.
Jesuit Conference Asia Pacific 2018 (JCAP 2018) adalah
pertemuan tahunan yang telah dimulai tahun 2014 di Jakarta. Forum ini merupakan
program atas keputusan Konferensi Jesuit Asia Pacific 2010 yang memutuskan
mengambil isu/kasus imigrasi sebagai prioritas bersama dalam tindakan sosial.
Pada JCAP2018 masing-masing organisasi memaparkan
kemajuan atau informasi terkini, program atau project yang sedang dilakukan
terkait dengan empat dimensi yang disampaikan Bapa Suci (welcome,
protect, promote, integrate) dan rencana kerja yang lebih baik dan
efektif untuk kolaborasi dan jaringan kerja.
Hadir pada JCAP 2018:
1. Tokyo Migration Desk: Fr.
Ando, SJ; Ms. Jessie
2. Yiutsari Korea
3. Rerum Novarum Taiwan: Ms.
Jialing, Ms. Caroline See
4. JRS Cambodia: Sr. Denise
5. Vietnam
6. Filipina: Fr. Pat, SJ.
7. Sahabat Insan, Indonesia:
Ms. Rufina Astuti Sitanggang, Ms. Antoinette Ludi
8. JRS Asia Pacific: Fr.
Bambang Sipayung, SJ
9. Observers: Br. Joseph Zaw
Goan, Br. Albert Kim
4. It is precisely in society
and in culture that we must show respect for the dignity of man, of the migrant
and of the refugee. In this regard, I once again urge States to adhere to the
International Convention for the Protection of the Rights of Migrant Workers
and their Families which took effect on 1 July 2003. Similarly, I appeal to
States to respect the International Treaties concerning refugees. Such
protection of human persons must be guaranteed in every civil society and
espoused by all Christians.
Update: Migration Section of Vatican’s Dicastery
Fr. IJ Chan-Gonzaga, SJ
Lihat lampiran.
1. Tokyo Migration Desk
Fr. Ando Isamu, Ms. Jessie Tayama
Fakta:
1.
Perkawinan
bertujuan untuk mendapatkan visa. Sesudah 1 atau 2 tahun kemudian
bercerai.
Banyak kasus dengan illegal broker
2.
Jepang masih cukup
menarik bagi para pekerja migran. Jepang memerlukan orang muda setiap tahunnya;
sekitar 200.000 orang per tahun. Sementara di Vietnam (terutama di rural area),
mereka tidak dapat pekerjaan.
3.
Banyak orangtua
Vietnam merasa bangga anaknya bekerja di Jepang dan tidak menginginkan anaknya
kembali.
4.
Banyak Vietnamese
merasa optimis bekerja di Jepang untuk mendapatkan gaji yang baik untuk
membayar utang mereka. Kenyataan dari wawancara yang dilakukan, hal itu tidak
selalu terjadi. Sekitar 1/3 bagian populasi migran (Vietnam) tidak menyadari
bahwa bekerja di Jepang berrisiko tinggi untuk mendapatkan upah yang baik.
5.
Para calon pekerja
diminta belajar bahasa Jepang 3-4 minggu
6.
Jalur orang muda
Vietnam untuk memperoleh pekerjaan di Jepang adalah melalui training. Lebih
dari 240.000 Vietnamese bekerja di Jepang dengan status “trainee” dan
mendapatkan upah murah. Pertumbuhan Vietnamese di Jepang cukup
menyolok sehingga Jepang melakukan investasi official development assistance di
Vietnam.
Tentang training.
Center yang disebut sebagai Japanese language schools
menyiapkan mereka yang akan ke Jepang. Kursus selama 3 -5 bulan. Pendirinya
pernah belajar dan akhirnya bekerja di Jepang selama 3 tahun di
Japanese schools di Tokyo. Dia kembali ke Vietnam dan membangun sekolah/kursus tersebut. Para
pengajar adalah orang Vietnam yang pernah bekerja di Jepang.
Prakarsa training dilakukan oleh Keuskupan di Vietnam.
Bahkan ada fasilitas pinjaman dana dari Keuskupan untuk pekerja/trainees.
Pelayanan:
1.
Legal
consultation: visa, status formal, perkawinan international. Perceraian,
masalah keluarga, employment, kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas,
pengadilan dan hal terkait foreigners.
2.
Pendampingan
migrants ke rumah sakit, sekolah, pengadilan; mengunjungi “ruma: migrants,
mengajak makan.
3.
Melakukan riset
terhadap 10 migran dari Vietnam terkait sistem broker.
Tantangan:
Masalah terkait program training.
Meskipun tujuannya adalah membantu negara yang sedang
berkembang, pada kenyataannya tidak demikian. Training digunakan mereka
unskilled labor diberi upah murah untuk perusahaan Jepang. Banyak perusahaan
atau organisasi Jepang melakukan ketidak-adilan seperti upah yang tidak
dibayarkan, labor law, kekerasan.
Contoh: tenaga kerja magang dapat bekerja 100 jam per
bulan. Adanya pekerja migran dengan upah murah tentu tidak menyenangkan orang
Jepang yang memerlukan pekerjaan. Maka tidak heran apabila saat orang jepang
menjumpai pekerja migran dan menemukan satu alasan tepat, dia akan melaporkan
pekerja migran tersebut.
Kebijakan Baru
1.
Fast
trackpermanent residency rule (4 Januari 2018)
Skilled-non Japanese hanya memerlukan satu tahun untuk
mendapatkan permanent residency (sebelumnya dipersyaratkan 5 tahun).
2.
Membatasi pencari
suaka untuk bekerja (12 Januari 2018).
3.
Preferential Visa
system sampai ke generasi keempat.
2. Yiutsari Korea
Kategori migran
1. Pekerja migran
2. Foreign spouses
3. Refugess dari negara lain
4. Mereka yang datang dari
Korea Utara (tidak dianggap pengungsi)
Fakta:
Yang paling rentan adalah pekerja migran pada sekotor
pertanian dan perikanan karena tidak ada proteksi secara hukum pada EPS (employment
permit system).
Pelayanan:
Pada sektor pekerja migran dan foreign spouses:
1. Labor Counseling
2. Shelter
3. Education:
(1) For migrant workers
(2) For children of foreign spouses
(3) For foreign spouses
Beberapa project yang sedang berjalan antara lain
mewawancarai para migran (female migrants), menerbitkan buku, medical care:
bekerja sama dengan medical team satu rumah sakit (university hospital).
Membangun relasi antara Korean dan ethnic Korean community.
Tantangan:
Orang Korea tidak senang atas kehadiran pekerja
migran. Karena itu menjadi perhatian utama juga menumbuhkan awareness untuk menggugah
penerimaan masyarakat untuk kehadiran migran.
Banyak dihubungi oleh migrant workers terutama
Cambodia, Vietnam dan Filipina juga masyarakat dan Gereja setempat. Akan tetapi
belum dapat menanggapi sepenuhnya. Memerlukan lebih banyak Jesuit untuk memperhatikan
migration dan networking.
Menjawab tantangan itu, Yuitsari masih mencari peluang
untuk kolaborasi dengan kerasulan intelektual melalui Sogang University dan
juga bekerja sama dengan Fr. Denis Kim melalui kelas internasional terkait
migration mahasiswa Jepang dan Korea.
3. Myanmar
Joseph Zaw Goan
Menyertai Fr. Paul Zau Lat, seorang pastor diosesan
Kachin State, pada visit pastoral ke Kachin, Malaysia Desember 2017.
Di antara kunjungan utama ke komunitas katolik
berbagai area di Kuala Lumpur, sempat menemui migrant workers dan refugees
Myanmar di Malaysia (dan Thailand).
Fakta:
1.
Tinggal di low-cost
apartments atau rumah. Tidak ada privacy, personal space karena dua atau 3
keluarga hidup bersama pada satu apartement atau rumah.
2.
Banyak migrant
workers datang ke Malaysia berpikir bahwa mereka datang secara sah (legally).
Kenyataannya: mereka datang tanpa dokumen, sehingga banyak yang mengalami
ditahan.
3.
Banyak refugees
memiliki UN cards, akan tetapi ini tidak menjamin mereka aman. Sering terjadi
mereka bisa ditangkap juga.
4.
Tidak ada bedanya
refugee dan undocumented migrants. Setiap kali mereka tertangkap polisi, mereka
harus membayar, atau bisa dideportasi. Bahkan mereka bisa ditangkap saat mereka
berobat di rumah sakit. Ada juga yang ditangkap sesaat sesudah melahirkan,
tanpa mempedulikan kesehatan ibu dan bayi pasca melahirkan. Di dalam tahanan,
bisa terjadi kekerasan seksual.
5.
Mereka juga
sasaran perampok.
6.
Hidup mereka tidak
aman (not secure), tidak dilindungi social security system dan hidup dalam
ketakutan.
7.
Tidak memiliki
akses untuk medical care dan pendidikan.
8.
Pendidikan
tergantung pada refugees schools yang dikelola oleh refugee communities di
bawah UNHCR (sejak 2016, sudah tidak ada dukungan dana dari UNHCR untuk
guru-guru sekolah tersebut).
9.
Banyak yang
depresi dan bunuh diri (ada 10 kasus pada 2015-2016).
10. Tidak ada akses untuk legal employement.
11. Sulit untuk mendapatkan lahan makam atau tempat abu.
12. Tidak ada pelayanan pastoral akan tetapi mereka bisa
bersama beriadah dan saling menguatkan iman.
Harapan para refugee:
1.
Mereka menunggu
kesempatan diterima oleh satu negara yang aman.
2.
Ingin melanjutkan
sekolah.
3.
Menginginkan masa
depan anak-anak mereka lebih baik.
4.
Berharap ada
organisasi melakukan advocacy program resttlement bagi refugees di Malaysia.
Harapan Joseph Z. Goan: JCAP migration networks
memberi perhatian pada Kachin refugees dan migrant workers di Malaysia.
4. Cambodia
Sr. Denise
Bekerja melalui dua centers: Phnom Penh Welcome Center
dan Mindol Metta Karuna Siem Reap.
Fakta:
1.
Cambodia memiliki
1,5 juta migran workers di Thailand (kebanyakan undocumented), di Malaysia,
Korea, Hong Kong, dan Taiwan.
2.
Di Cambodia ada 70
ribu keturunan Vietnamese yang sudah bertahun-tahun hidup di Cambodia yang
kedatangannya saat itu akibat masalah politik. Selain itu masih ada lagi
sekitar 500 ribu Vietnamese workers. Selain itu ada Chinese dan Filipino serta
masih ada nationalities lain yang bekerja di Cambodia di bawah NGO,
missionaries atau bekerja mandiri (self employed).
3.
Migration menambah
income, akan tetapi juga mengakibatkan banyak anak terlantar. Banyak orang
Vietnam yang tak punya warga negara (stateless) dan anak-anaknya tidak dapat
bersekolah.
4.
Informasi mengenai
legal document tersedia akan tetapi mahal.
5.
Tak ada
dokumentasi yang mencatat bahwa legal migration lebih aman daripada mereka yang
datang dengan cara illegal.
Pelayanan:
Pendampingan refugee dan pencari suaka, memberikan
pelayanan cultural orientation, education, problem solving. Memberi
pendampingan dan advocacy pengurusan dokumen. Melakukan survey terhadap anak
terlantar dan mengusahakan, meyakinkan adanya akses pendidikan bagi anak-anak
terlantar.
Tantangan:
Akses pendidikan bagi anak-anak Cambodia sendiri masih
sangat kurang. Karena itu, memberi perhatian dan mengusahakan pendidikan bagi
anak-anak terlantar (migran) menghadapi kesulitan besar.
5. Rerum Novarum Center, Taiwan
Ms. Jialing, Ms. Caroline See
Pelayanan:
Tujuan pelayanan,
1.
Kepedulian pada
pekerja, keadilan, menjaga mata pencarian dan hak para disadvantage workers dan
keluarganya.
2.
Memberi pelayanan
langsung untuk bantuan hukum dan hal terkait pekerjaan serta kesejahteraan
sosial.
3.
Memberi training
dan dukungan kepada mereka yang berada pada keadaan sulit. Training dilakukan
dengan kerja sama (bahkan bertempat) di sekolah Jesuit. Tidak dipungut biaya
untuk training.
4.
Advocacy untuk hak
dan social concern terkait hal rentan pada ketenagakerjaan, perlindungan atas
rusaknya hak para pekerja.
Yang diutamakan,
1. Shelter untuk migran workers
dan hak serta benefit.
1.1. female migrant
workers di Taipei
1.2. Hak para migrant
workers: training
2. Social Action
2.1 Menyuarakan the weak and disadvantage groups melalui
press conference atau partisipasi pada public hearings.
2.2 Partisipasi pada jaringan strategik: mencari akar
permasalahan dan usaha perbaikan, hak-hak para pekerja dan amandement (reform
of legislation).
3
Melakukan
rekrutmen volunteer dan menyiapkan mereka melalui taining agar mereka memahami
situasi yang terjadi pada migran workers di Taiwan dan menghargai hak azasi
manusia serta hak para pekerja. Rekrutmen ini memungkinkan keterlibatan kaum
muda untuk berpartisipasi pada pelayanan dan pemahaman mengenai pekerja migran.
Rencana program baru: Pelayanan hak-hak nelayan.
6. The Ateneo Leadership amd Social Entrepreneurship
(Ateneo LSE)
Ms. Tina Liamzon, Mr. Edgar Valenzuela
Fakta:
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Tina Liamzon
pada 2005 mengenai “Situation of Filipino Migrant Youth in Rome”:
1. Pertumbuhan pesat orang muda
Filipino melalui family reunification dan kelahiran.
2. Muncul masalah dropping out
dari sekolah, kurangnya visi dan ambisi.
Pelayanan:
1
Program for
Overseas Filipinos and their Families.
2
Program ini
digagas oleh the Association Pilipinas OFSPS (non profit orgz in Italy) bersama
Ateneo School of Government, The Philippines Government agencies.
3
Pada awalnya
program ditujukan untuk orang muda, akhirnya siapa pun Filipino (migran
workers) dapat mengikutinya. Tak ada batasan usia. Diutamakan mereka yang
bekerja pada 3D (dirty, demeaning and diddicult/dangerous).
Tujuan program:
1.
Capacity building
bagi OFWs dan keluarga (leadership, financial, literacy, social
entrepreneurship skills).
2.
Melatih peserta
untuk mampu menjadi leaders dan mempunyai inisiatif (social enterprise)
memperbaiki situasi dirinya, keluarga dan komunitas.
3.
Memberikan
mentoring dan dukungan lain untuk memberdayakan kemampuan peserta dan
mengembangkan social enterprise.
Diharapkan para OFWs mampu memiliki kemampuan
mengelola keuangan dan dengan demikian dapat membatasi lama waktu bekerja
sebagai OFWs.
7. Sahabat Insan, Indonesia
Ms. R. Astuti Sitanggang, Ms. Antoinette W. Ludi
Sahabat Insan bekerja dengan tiga orang; dan didukung
oleh para relawan.
Sesuai namanya, aktivitas Sahabat Insan tidak fokus
kepada satu kelompok politik atau kelompok agama tertentu. SI dilandasi sengat
Ignatian dan mengambil Bapa Suci Francis pada Evangeli Gaudium 53: Perintah
“Jangan Membunuh” menetapkan batasan jelas demi menjaga nilai hidup manusia.
Ketidaksetaraan, mereka yang tersisihkan, mereka yang terbuang. Dalam kasus Indonesia,
yang terbuang adalah para pekerja migran terutama mereka yang gagal bekerja di
luar negeri, dan bahkan dikembalikan sebagai mayat.
Fakta:
Jumlah korban migrasi semakin bertambah.
Pelayanan:
1.
Pelayanan kepada
para korban disampaikan menggunakan jaringan yang ada (assist the helpers).
Kecuali benar-benar diperlukan.
2.
Memberikan suara
kepada mereka yang berjuang untuk hak-hak dasar.
3.
Mempelajari hukum
dan peraturan tentang migrasi
4.
Mengawasi praktik
keadilan di lapangan: mendukung/mendorong yang baik, mencela yang
bertentangan dengan hak asasi manusia.
Tujuan:
1.
Momen penderitaan
tidak berlalu begitu saja.
2.
Ada orang muda
yang melihat dan memahami masalah kemanusiaan di negeri ini, negerinya.
3.
Memiliki informasi
akurat dan dapat memberikannya kepada donor.
Aktivitas baru:
Menempatkan satu relawan, Arta Purba, di Kupang untuk
bekerja dengan tim Sr. Florentina PI. Divine Providene Institution Sisters di
Kupang selama ini telah melayani dan mempersiapkan tenaga kerja yang
akan berangkat: memberi pemahaman dan wawasan tentang migran; meengikuti proses
pemulangan tenaga kerja korban trafficking, pemulangan jenasah hingga diterima
keluarga.
Kehadiran Arta di sana, memungkinkan ia mengirimkan
informasi terkini situasi yang ada: menyampaikan kepada dunia terkait
penderitaan dan ketidakadilan yang terjadi di sana melalui media publik.
8. JRS Asia Pacific
Fr. Bambang Sipayung, SJ
Lihat lampiran.
Field Visit: Marawi, 19 April 2018
1. West Pantar Tent Area:
mengunjungi para pengungsi di tempat penampungan sementara.
2. Evacuation Center
Tempat ini lebih baik dari West Pantar dan areanya lebih luas. Bangunan
semi permanen, bisa digunakan sampai sekitar 5 tahun. Kami bertemu para
pengungsi dan berinteraksi dengan mereka, termasuk anak-anak. Pesan yang
disampaikan kepada mereka adalah bahwa mereka tidak sendiri. Mereka mendapat
dukungan dari berbagai bangsa, pun berbeda agama. Anak-anak tetap
bergembira dengan situasi yang ada, mereka menyanyi: “universal
love... peace”.
3. Resettlement community
(Xavier University project).
Xavier University ikut berperan pada resetllement comunity (pendampingan
dan pembangunan rumah). Rumah dibangun dengan cepat. Luasnya 24meter persegi.
Dalam kurun 2 bulan akan siap diserahkan (pada bulan Mei ini) sebagian besar
(lebih dari separuh target). Sisanya masih negosiasi lahan.
Direncanakan kami juga berkunjung ke Ground Zero di Marawi, akan tetapi
dibatalkan karena ijin tidak diberikan. Pada hari itu, 19 April 2018,
Pemerintah Filipina memberi ijin penduduk Marawi mengunjungi reruntuhan
rumah untuk pertama kalinya sejak pertempuran pasukan Filipina
melawan kelompok radikal di kota itu, Mei 2017.
Pengayaan:
1. Counseling for Migrants
Fr. Nilo Tanalega,
SJ
2. Understanding Stress
Fr. Roger
Champoux, SJ
Action Plan
JCAP migration network bertujuan untuk mempromosikan
dan memberikan tanggapan Komunitas terkait migrants pada level global. Bersama
jaringan migration lain memberi perhatian dan kepedulian kepada hak asasi para
pekerja migran, melalui advocacy dan pendampingan sosial (dan pastoral),
pendidikan, riset dan training. Juga menghadapi penyebab struktural
migration dan displacement. Serta meningkatkan awarenes masyarakat Asia Pacific
terhadap migration dan displacement serta perubahan sosial yang terjadi.
JCAP migration network AP akan memperkuat
jaringannya dengan cara mendukung project masing-masing
organisasi, memperbaiki sistem agar dinamika jaringan ini lebih
dinamik, lebih efektif.
Selain Pertemuan Tahunan, dibentuk forum komunikasi
(teknis) yaitu WA Group.
Critical Review:
1.
Belum tampak
jaringan kerja sama antar organisasi. Masing-masing masih fokus pada program
kerjanya.
2.
Selama JCAP
migration network meeting, fokus diskusi adalah migran workers. Refugees
dibahas pada jaringan tersendiri (khusus refugees).
3.
Filipina
memperlengkapi migrant workers dengan Leadership Social Entrepreneurship (LSE).
Program ini mempersiapkan para trainees menjadi leader yang kuat dan dapat
menjalankan usahanya sendiri untuk mengubah dan memperbaiki hidupnya serta
keluarganya.
4.
Ada kesadaran para
migran workers (dan keluarganya) ndari Filipina untuk mengikuti training itu.
Mereka mau membayar.
5.
Rerum Novarum
Center juga menyelenggarakan training, akan tetapi lebih kepada hal teknis dan
semua pengetahuan mengenai ketenagakerjaan. Training telah dilakukan sejak
tahun 1985.
6.
Menarik disimak,
Rerum Novarum Center mendapat kepercayaan Pemerintah Kota Taipei (sejak 2002)
untuk mengurus dan mengoperasikan shelter untuk pekerja perempuan.
7.
Penyelenggaraan
pertemuan secara umum baik. Semua peserta mendapatkan materi (paper para
peserta) dalam bentuk flash disc. Tetapi, tidak ada catatan tentang
perkembangan dalam diskusi selama pertemuan berlangsung dalam bentuk notulen.
Program - Network:
1.
Memperluas
jaringan dengan organisasi Katolik yang mempunyai kepedulian sama dengan menggunakan
koneksi Jesuit.
- Southeast Asia Major Superiors
(SEAM)
- JRS AP
- Koordinator Regional untuk Asia (Vatican
Dicastery for the Promotion of Integral Human - Development).
- Caritas
- Beberapa contact person lain: Sr.
Janthana RGS, Fr. Ray SX (Thailand).
2. Staff
Staff exchange
untuk mempelajari berbagai hal mengenai migrasi
Mengikuti seminar
dan pelatihan
3. Pertemuan Tahunan
Program - Advocacy:
1.
Advocacy
initiatives di berbagai masalah
·
Asean Economic
Community
·
SDGs
·
Tokyo Olympic 2020
·
Anti trafficking
campaign
2.
Riset dan
publikasi
3.
Membuat pernyataan
publik atas satu masalah migrasi. Untuk masalah besar, hal ini harus dilakukan
bersama JRS.
4.
Berusaha bergabung
dengan UN Global Compact on Migration and Refugees.
Program - Awareness:
Berusaha membuat semakin banyak orang mengetahui dan
peduli atas masalah migran terutama berbagai hal yang rentan terkait migran.
Hal ini dilakukan melalui program:
1. Kolaborasi dengan AJCU-AP
2. Menyelenggarakan joint
conference dengan AJCU-AP
3. Melalui Facebook Page
Jakarta, 15 Mei 2018