Dalam forum ini dibahas
mengenai cara berjejaring yang baik dan efisen khususnya dalam menangani
permasalahan real para TKI yang banyak terjadi di daerah NTT. Kasus ini sedemikian
menarik sehingga semua mata sedang tertuju pada daratan timur untuk masalah
perdagangan orang. Sungguh miris, namun tak jua bisa dihentikan begitu saja.

Pada acara yang dihadiri 20 orang yang berasal dari keuskupan yang ada di NTT ini semua mengupas pada permasalahan yang ada di NTT. Bahkan ada pemetaan yang dirumuskan bersama mengenai permasalahan para migran. Dari sekian banyaknya permasalahan yang telah diungkapkan, ditarik 1 kesimpulan yang akan dibahas dan nantinya dirumuskan sebagai satu gerakan bersama melalui koordinasi sesama peserta, upaya penanganan korban perdagangan manusia dan upaya koordinasi dengan pihak pemerintah. Peserta kemudian diminta untuk membahas mengenai persoalan yang terjadi di Keuskupan masing-masing dan hal apa yang sudah dilakukan di keuskupan/ jaringan masing masing yang akan dipresentasikan pada hari kedua

Beranjak dari masalah PMI yang terjadi di Malaysia, keuskupan satu dengan keuskupan lainnya tergerak untuk mengadakan pertemuan yang intens di Malaysia dan dikenal dengan Tripartitie (pertemuan antara keuskupan asal, penerima dan pengirim). Nama “Koalisi” baru digunakan oleh para pemerhati migran (gabungan dari biarawan/biarawati dan juga Gereja Kristen serta organisasi lainnya) pada tahun 2015. Menggunakan nama Koalisi, para peduli migran dengan mantap mengadakan pertemuan dengan pemerintah untuk menyadarkan pemerintah akan kinerja tugas dan tanggungjawab yang seharusnya dilakukan bagi para migran. Sejak pertemuan itu, para peduli migran merangkul semua jaringan yang ada dan menguatkan koalisi sehingga mampu membiayai 10 kasus pemulangan PMI ke tanah air. Bahkan program Desmigraf yang dicanangkan oleh Kemenaker RI ternyata terlebih dahulu dicanangkan oleh para anggota koalisi. Pada waktu itu, pak Wahyu Susilo juga merupakan bagian dari kelompok koalisi dari MigrantCare untuk mencari data, membuat model dan memberikan pemaparan pada pemerintah terkait Desmigraf. Alhasil, Kemenaker akhirnya setuju dengan usulan tersebut dan memilih NTT sebagi fokus untuk diterapkannya Desmigraf.
Semenjak ada desmigratif, maka pekerja bisa langsung berurusan dengan pengelola. Melalui program desmigratif, masyarakat sekitar juga bisa menghasilkan produk olahan daerah sendiri seperti produk minyak kemiri dari Runawo Barat, Karakatau. Adapun penanggungjawab desmigratif diharuskan untuk langsung memberikan laporan ke Kementerian Ketenagakerjaan terkait semua program yang telah diterapkan dalam masyarakat. Kementerian Ketenagakerjaan memberikan akses Wifi dengan pembiayaan 50 juta rupiah perbulan dan aktif 24 jam untuk digunakan masyarakat sebagai sarana pemasaran melalui online. Kapasitas internet yang digunakan juga jauh lebih besar daripada internet di bank. Line internet terbagi ke dalam wifi server, perangkat dan pengunjung (masyarakat sekitar). Masyarakat sangat senang dan bisa menggunakannya dengan sangat baik.
Pada hari kedua, semua lembaga ataupun keuskupan yang hadir memaparkan program-program yang sudah berhasil dilakukan di daerah keuskupannya masing-masing. Salah satu yang menarik perhatian adalah paparan yang sangat bagus dari Keuskupan Agung Ende yang bergerak dengan sangat masif dengan menggerakkan kelompok regio dan koalisi (kelompok emergency khusus untuk migrasi) guna menangani para migran. Ende di daratan Flores adalah kantong migrasi, urutan ke-2 setelah Malaka. Melihat kenyataan ini, maka keuskupan tidak tinggal diam. Beranjak dari isu migran, gereja mengangkat hal itu sebagai prioritas pastoral yang harus mendapat penanganan khusus. Keuskupan kemudian melakukan pendataan migran perantau, keluarga migran dan purna migran. Tak hanya itu, keuskupan juga membentuk desa ramah migran-desa migran produktif dan paroki peduli migran. Dalam menjalankannya, gereja mengajak umat untuk turut serta dan terlibat. Keuskupan Ende juga mengakui bahwa selain mendampingi para korban, juga giat dalam melakukan sosialisasi migrasi aman dan legal serta bahaya human trafficking. Para peserta yang hadir sangat mengapresiasi kerja sama yang berhasil dilakukan oleh Keuskupan Agung Ende dengan BP3TKI, PNP2TKI, Kemenaker, KBRI, KJRI, Kemenlu dan IOM serta pihak Bandara H. Aroebusman, pelabuhan, terminal bus, Kepolisian hingga ke Kejaksaan.
Pada pertemuan malam, dirumuskan 3 hal yakni koordinasi dengan sesama peserta yang hadir kedepannya, penanganan korban dan juga kerjasama dengan pemerintah. Peserta sepakat untuk masing-masing keuskupan saling bekerjasama bergabung dengan koalisi guna mendukung program keuskupan khususnya mengenai persoalan PMI. Satu hal paling terpenting yang kudapatkan dalam pertemuan ini adalah “Pelayanan bukan untuk mengejar nama melainkan karena faktor emergency guna memperjuangkan pihak yang terintimidasi, korban eksploitasi dan termarginalkan. Jejaring koalisi tidak bisa berjuang sendiri. Semua butuh kerjasama bak sel yang tak bisa bekerja sendirian jika ingin sistemnya berjalan dengan bagus dan lancar. Hal yang paling ditekankan adalah peran Keuskupan yang WAJIB mengetahui kondisi umatnya yang terlunta-lunta di belahan negara lainnya yang berasal dari daratan NTT.
Di hari
terakhir pertemuan, peserta mengunjungi BP3TKI untuk mendengarkan secara
langsung proses pengurusan PMI (Pekerja Migran Indonesia) untuk bekerja di luar
negeri dan proses pemulangan PMI ke tanah air.
Unit
pelaksanaan teknis BNP2TKI di daerah dikenal dengan nama BP3TKI. Khusus BP3TKI
di daerah ini menaungi 21 kabupaten dan 1 kota. Dalam pertemuan yang
berlangsung kurang lebih 2 jam, pihak BP3TKI memaparkan secara umum program
kerja yang telah dilakukan oleh pihaknya dan juga program yang dilakukan
bersama dengan jaringan koalisi NTT. Berdasarkan
keterangan dari Bapak Siwa (kepala bidang di BP3TKI), pihaknya telah bekerjasama
dengan baik dengan koalisi peduli migran NTT dan juga beberapa tokoh agama
dari Gemit dan Katolik untuk pemulangan PMI baik dalam kondisi hidup maupun
yang sudah meninggal. Selama ini, BP3TKI mengaku telah membiayai secara penuh
proses pemulangan jenazah ke tanah air. Selain itu, keluarga PMI yang berduka
akan diberikan santunan berupa uang duka sebesar Rp. 2.500.000 per jenazah.
Namun khusus untuk tahun 2018, pihaknya hanya akan memberikan uang duka sebesar
Rp.2.000.000 per jenazah karena kuota penerima santunan diperbanyak menjadi 50 kuota.
Melalui
pemaparannya, BP3TKI telah melakukan sosialisasi, advokasi, pemberdayaan ke
beberapa kabupaten dan kota baik di pedalaman maupun di kota Kupang sendiri.
Dibantu oleh tenaga honorer, mahasiswa KKN, pegawai pemerintah, jaringan
koalisi peduli PMI dan pers, pihak BP3TKI berusaha untuk memberikan pelayanan
maksimal kepada PMI. BP3TKI juga melakukan penyuluhan cara bermigrasi yang baik
kepada masyarakat yang ingin bermigrasi guna menjamin keselamatan kerja dan
juga kesejahteraan para pekerja. Calon PMI wajib dihimbau untuk bepergian
melalui jalur resmi dengan dokumen yang lengkap guna mengantisipasi berbagai
hal yang tak diinginkan seperti penindasan, eksploitasi bahkan ancaman nyawa.
Berdasarkan
keterangan Pak Siwa, jika PMI yang berada di luar negeri (dalam hal ini
Malaysia) meninggal di luar rumah sakit, maka wajib dilakukan otopsi oleh
pemerintah Malaysia sebelum jenazah dipulangkan ke Indonesia. Jika belum
dilakukan otopsi, maka jenazah tidak bisa dipulangkan ke tanah air. Oleh karena
itu, pihaknya akan berusaha memfasilitasi pengurusan otopsi dan mengawal
kepulangan jenazah hingga ke daerah asalnya dengan mobil ambulans BP3TKI dan
memberikan santunan. Meskipun
demikian, menurut salah satu peserta jaringan koalisi, ada kalanya pihak BP3TKI
tidak memberikan pelayanan yang baik kepada PMI dengan alasan kuota anggaran habis,
PMI bermigrasi melalui jalur ilegal dan lain sebagainya guna menghindari
kasus-kasus tertentu. Oleh karena itu, peran Jaringan Koalisi sangat besar dalam
mengawal kasus PMI guna memperjuangkan hak-hak PMI yang bermasalah di luar
negeri hingga kembali ke tanah air.
Setelah
melakukan kunjungan ke BP3TKI, para peserta kembali ke Claretian House dan
menyepakati rencana kerja ke depannya yang dilakukan oleh jaringan. Ada 3 poin
utama yang telah disepakati yakni:
1. Meningkatkan
koordinasi
Peserta akan membentuk grup WA Peduli
Migran Emergency dengan menentukan batasan-batasan tertentu yakni data orang
hidup harus japri (chat) dan harus ada surat tembusan ke keuskupan dalam
pergerakan migran. Selain itu, saling memperkuat jejaring dengan berkoordinasi
bersama kelompok koalisi yang lain.
2. Penanganan
Korban
Untuk penanganan korban akan dibuat
database melalui pendataan bersama-sama (Kerjasama koalisi dan KKPPNP) guna
mengetahui jumlah migran perantau yang merangkum semua hal. Kemudian akan
melakukan identifikasi kasus melalui pemetaan dan tindakan/penanganan masalah
PMI.
3. Kerjasama
dengan pemerintah
Akan terlibat serta di gugus tugas
TPPO, P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Penanggulangan Perempuan dan Anak) dan
turut serta dalam memantau pelatihan para legal desa guna mengarahkan
pemerintah pada isue kekerasan perempuan, anak dan migrasi.
Usai menyepakati ke 3 hal di atas, diadakan penyerahan cenderamata kepada para peserta sebagai kenang-kenangan khas Kupang yakni selendang tenun asli NTT. Acara kemudian ditutup dengan doa dan berkat penutup dari Rm Gusti.
Di sore hari, peserta berkunjung ke Pantai Lasiana di Osafa untuk menikmati suasana pantai di sore hari. Setelah berfoto bersama, para peserta kemudian melanjutkan perjalanan ke Taman Doa Yosep Maria Claretian yang dikelolah oleh Pater Claretian di daerah Oebelo. Usai kunjungan doa, peserta koalisi kembali ke Claretian House untuk santap malam bersama ikan bakar khas Liliba. Usai acara makan bersama, masing-masing peserta segera berkemas untuk kembali ke daerah asal masing-masing, termasuk aku dan suster Laurentina yang kembali ke Biara PI pada pukul 21.30 WITA. Sementara itu, masih ada beberapa peserta yang memilih untuk bermalam dan berangkat di keesokan harinya. Semoga semua niat baik dan kesepakatan yang disepakati bersama berjalan dengan baik dan diberkati oleh Allah Bapa.
Usai menyepakati ke 3 hal di atas, diadakan penyerahan cenderamata kepada para peserta sebagai kenang-kenangan khas Kupang yakni selendang tenun asli NTT. Acara kemudian ditutup dengan doa dan berkat penutup dari Rm Gusti.
Di sore hari, peserta berkunjung ke Pantai Lasiana di Osafa untuk menikmati suasana pantai di sore hari. Setelah berfoto bersama, para peserta kemudian melanjutkan perjalanan ke Taman Doa Yosep Maria Claretian yang dikelolah oleh Pater Claretian di daerah Oebelo. Usai kunjungan doa, peserta koalisi kembali ke Claretian House untuk santap malam bersama ikan bakar khas Liliba. Usai acara makan bersama, masing-masing peserta segera berkemas untuk kembali ke daerah asal masing-masing, termasuk aku dan suster Laurentina yang kembali ke Biara PI pada pukul 21.30 WITA. Sementara itu, masih ada beberapa peserta yang memilih untuk bermalam dan berangkat di keesokan harinya. Semoga semua niat baik dan kesepakatan yang disepakati bersama berjalan dengan baik dan diberkati oleh Allah Bapa.