Monday, September 17, 2018

Saksi Bisu

Sudah hampir enam bulan terakhir ini, Sahabat Insan kerap mendatangi Terminal Kedatangan dan Keberangkatan Kargo - Bandara El-Tari Kupang. Bukan untuk menerima atau mengirimkan barang, tetapi untuk mengurus dan memberangkatkan jenazah pekerja migran, yang kebanyakan berasal Malaysia.  


Sampai tulisan ini dibuat, tercatat sudah 33 jenazah dari total 79 jenazah selama tahun 2018 yang dijemput oleh Sahabat Insan di terminal kargo ini. Walaupun sepertinya kegiatan penjemputan jenazah ini terlihat monoton, karena hanya menjemput, kemudian mendoakan dan mendampingi jenazah agar lancar diterima oleh keluarganya, namun sebenarnya setiap jenazah memiliki kisahnya sedihnya sendiri. Yang lebih menyedihkan lagi, dalam suasana duka seperti itu, masih ada saja oknum-oknum yang mencari keuntungan pribadi, baik di negeri jiran maupun di tanah air sendiri, dengan menagih biaya pemulangan jenazah dalam jumlah yang sangat besar, sekitar 15-20 juta rupiah. Keluarga korban, apalagi yang tidak mampu, terpaksa mencari hutang ke tetangga kanan kiri agar dapat menerima jenazah dan memakamkan keluarganya dengan layak. Padahal sebenarnya biaya yang dikeluarkan tidak perlu sebesar itu. Oleh sebab itulah diperlukan pendampingan agar oknum-oknum tersebut tidak merajalela.

Tidak semua jenazah yang tiba di Terminal Kargo - Bandara El-Tari Kupang dijemput oleh seluruh  keluarganya. Seperti halnya seorang jenazah wanita dan seorang jenazah pria yang tiba di Bandara El-Tari pada tanggal 22 Juni yang lalu. Tidak satu pun keluarga yang menjemput mereka. Jenazah tanpa penjemput ini kemudian diurus oleh BP3TKI, bekerja sama dengan para pemuka agama yang hadir di situ, untuk dimasukkan ke mobil jenazah, kemudian didoakan sesuai dengan kepercayaan masing-masing, dan kemudian disemayamkan di RSUD Johannes Kupang untuk kemudian diberkati sebelum diberangkatkan ke kampung halamannya. Sore harinya, saat akan dilakukan doa pemberkatan jenazah, barulah datang beberapa orang yang berasal dari satu kampung, namun tidak dekat atau bahkan tidak mengenal jenazah sama sekali. Untunglah sikap solider terhadap saudara sekampung di NTT masih tinggi sehingga masih ada perhatian bagi mereka yang kurang beruntung. Ada beberapa jenazah yang sebenarnya keluarganya juga berada di Malaysia karena sama-sama bekerja sebagai pekerja migran. Namun keluarga tersebut tidak bisa mengantar jenazah untuk dimakamkan ke tanah air karena BP3TKI hanya menanggung biaya pengiriman jenazah, sedangkan biaya transportasi keluarga korban ditanggung sendiri-sendiri.

Akhir-akhir ini, proses pengurusan jenazah menjadi sedikit rumit. Kadang kala, jenazah yang akan diberangkatkan dibatalkan keberangkatannya secara sepihak oleh pihak penerbangan dengan alasan-alasan tertentu. Apalagi jika ada kondisi peti yang masih disangsikan keadaannya. Hal ini diakibatkan karena beberapa waktu yang silam, ada beberapa peti jenazah yang menimbulkan bau hingga mengeluarkan air dan membasahi seluruh koper penumpang pesawat. Sejak kejadian tersebut, pihak penerbangan melakukan seleksi pengiriman jenazah dengan sangat ketat. Oleh karena itu, meski sudah di-packing dengan sangat baik dan rapi dari luar negeri, peti jenazah kerap harus di-wrapping ulang oleh BP3TKI agar lulus dari sinar X-Ray dan dinyatakan siap untuk diberangkatkan ke daerah asal.

Penyebab kematian jenazah pekerja migran ini juga relatif beragam. Ada yang meninggal karena sedang mengandung anaknya. Ada yang meninggal beserta anaknya saat melahirkan. Beberapa meninggal karena mengalami kecelakaan kerja. Seperti yang dialami oleh BP (50 tahun) yang meninggal pada awal Juli 2018 karena mengalami kecelakaan saat mengendarai traktor dan jatuh terguling di tanah yang terjal. Pada saat kejadian, tak seorang pun yang berada di tempat itu. Kecelakaan tersebut baru diketahui oleh rekan kerjanya keesokan harinya. Dari Bandara El Tari, jenazah yang sudah bekerja sebagai sopir di sebuah kebun sawit selama 2 tahun di Malaysia ini dipulangkan ke kampung halamannya, Ende, melalui jalur laut atas permintaan keluarga. Ia meninggalkan seorang istri dan 3 orang anak. Meninggal karena kecelakaan kerja juga dialami oleh RMB (39 tahun), pekerja migran asal Ende, NTT. Ia ditimpa alat berat yang jatuh dari lantai 5 saat bekerja sebagai kuli bangunan. Akibat kecelakaan itu, kakinya patah, badannya penuh dengan lebam, dan akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya. RMB sudah bekerja di Malaysia selama 20 tahun. Satu lagi jenazah PMI yang meninggal karena kecelakaan kerja adalah BB (45 tahun) yang meninggal pada akhir Juni yang lalu. Ia terpaksa harus kehilangan nyawa ketika terjatuh saat mengurus kebun dan sempat dirawat di rumah sakit selama 2 minggu. Ia pergi meninggalkan seorang istri dan 4 orang anak.

Penyebab kematian terbanyak dari sekian banyak jenazah adalah karena sakit. Penyakit yang sering menjadi penyebab kematian jenazah yang diterima di Terminal Kargo ini adalah asma atau gangguan pernafasan. Namun ada juga yang meninggal karena overdosis obat sakit kepala. Karena sakit kepala yang tak kunjung sembuh, ybs meminum 6 butir obat sakit kepala sekaligus sehingga mengakibatkan ia mengalami kejang dan meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Penyakit lain yang merengut nyawa PMI ini adalah leukimia, jantung, demam berdarah, infeksi virus, darah tinggi dan juga muntah darah. Selain itu ada beberapa jenazah yang diterima tanpa diketahui penyebab kematiannya.


Dari semua cerita yang menyedihkan di atas, ada satu hal yang patut disyukuri, yaitu kehadiran para pemerhati migran dan juga para pemuka agama yang dengan sukarela mengulurkan tangan untuk mendoakan, menghibur keluarga yang sedang berduka, membantu kelancaran administrasi, bahkan mengawal jenazah dan memastikan agar sampai di tempat tujuan. Juga para petugas kargo bandara dan BP3TKI, walaupun ini semua adalah tugas mereka, namun mereka cukup sigap membantu jika ada kendala-kendala teknis yang terjadi agar jenazah ini secepatnya dipulangkan ke kampung halamannya. Dan Terminal Kargo Bandara El-Tari Kupang akan tetap menjadi saksi bisu kisah sedih anak-anak manusia yang berangkat dengan penuh harapan untuk kesejahteraan keluarganya, namun harus menerima kenyataan dipulangkan ke kampung halaman tanpa nyawa.