Tema kopi darat kali ini adalah mendengarkan kesan-kesan Arta setelah selama 9 bulan, yaitu sejak bulan April 2018 sampai bulan Januari 2019, ikut melayani dan mendampingi kasus-kasus migran dan perdagangan manusia di Kupang dan Nusa Tenggara Timur bersama Sr, Laurentina. Tanggapan ini dimaksudkan agar mereka dapat mengetahui penilaian orang di luar terhadap keadaan NTT secara umum sehingga dapat dijadikan bahan evaluasi untuk memperbaikinya di kemudian hari. Tanggapan tersebut oleh frater Vian dinamai 10 Keprihatinan. Sebelum menguraikan 10 keprihatinan, Arta bertetrima kasih atas pengalaman-pengalaman yang sudah didapatkan selama 9 bulan di lapangan yang tak urung kadang-kadang membuat ia terkejut menyaksikan kenyataan-kenyataan yang selama ini bahkan tidak pernah ia pikirkan.
Hal pertama yang menjadi sorotan adalah anak-anak SEKAMI yang tidak terbina karena dikoordinir oleh Paroki. Keprihatinan kedua adalah pendidikan di NTT yang sebagian besar tidak sesuai dengan kurikulum di Indonesia. Tidak hanya itu. Pendidikan berbasis karakter juga masih sangat minim. Kemudian, adanya budaya pesta pora yang setiap saat dilakukan dan di setiap acara. Keprihatinan selanjutnya berkaitan dengan ekologi, yaitu lingkungan yang sangat kotor namun tidak ada niat untuk membersihkan. Tidak berani keluar dari kungkungan keluarga (kekerabatan) meskipun menjerumuskan dan merugikan, bahkan sampai menghilangkan nyawa sesamanya.
Keprihatinan selanjutnya adalah adanya karakter yang suka melempar tanggung jawab dan tidak menyelesaikan hingga akhir. Sebagian besar orang di sana juga tidak disiplin waktu, sampai sudah mendarah daging, sehingga tidak merasa bersalah jika datang terlambat dan pihak lain sudah menunggu, dan juga terlalu banyak bicara. Contoh nyatanya ialah sangat lama jika memberikan kata sambutan, bahkan dalam beberapa seminar, ada yang menjadi nara sumber dadakan saat diberikan kesempatan pada sesi tanya jawab.
Dari semua itu, karakter yang paling miris adalah karakter "Hamba Mata", yaitu hanya melakukan sesuatu jika ada yang mengawasi. Contohnya saat mengerjakan pekerjaan, jika pimpinan mengamati, maka akan dikerjakan, namun jika tidak, pekerjaan tersebut tidak diselesaikan sebagaimana mestinya. Keprihatinan yang terakhir adalah pembiaran. Meskipun sudah mengetahui bahwa hal itu adalah hal yang salah, namun karena tidak mau zona nyamannya terusik, maka lebih memilih untuk membiarkan, alias tidak mau tahu dan tidak mau terlibat.
Atas seluruh keprihatinan tersebut, semua yang hadir di situ memberikan tanggapannya.
Hal pertama yang menjadi sorotan adalah anak-anak SEKAMI yang tidak terbina karena dikoordinir oleh Paroki. Keprihatinan kedua adalah pendidikan di NTT yang sebagian besar tidak sesuai dengan kurikulum di Indonesia. Tidak hanya itu. Pendidikan berbasis karakter juga masih sangat minim. Kemudian, adanya budaya pesta pora yang setiap saat dilakukan dan di setiap acara. Keprihatinan selanjutnya berkaitan dengan ekologi, yaitu lingkungan yang sangat kotor namun tidak ada niat untuk membersihkan. Tidak berani keluar dari kungkungan keluarga (kekerabatan) meskipun menjerumuskan dan merugikan, bahkan sampai menghilangkan nyawa sesamanya.
Keprihatinan selanjutnya adalah adanya karakter yang suka melempar tanggung jawab dan tidak menyelesaikan hingga akhir. Sebagian besar orang di sana juga tidak disiplin waktu, sampai sudah mendarah daging, sehingga tidak merasa bersalah jika datang terlambat dan pihak lain sudah menunggu, dan juga terlalu banyak bicara. Contoh nyatanya ialah sangat lama jika memberikan kata sambutan, bahkan dalam beberapa seminar, ada yang menjadi nara sumber dadakan saat diberikan kesempatan pada sesi tanya jawab.
Dari semua itu, karakter yang paling miris adalah karakter "Hamba Mata", yaitu hanya melakukan sesuatu jika ada yang mengawasi. Contohnya saat mengerjakan pekerjaan, jika pimpinan mengamati, maka akan dikerjakan, namun jika tidak, pekerjaan tersebut tidak diselesaikan sebagaimana mestinya. Keprihatinan yang terakhir adalah pembiaran. Meskipun sudah mengetahui bahwa hal itu adalah hal yang salah, namun karena tidak mau zona nyamannya terusik, maka lebih memilih untuk membiarkan, alias tidak mau tahu dan tidak mau terlibat.
Atas seluruh keprihatinan tersebut, semua yang hadir di situ memberikan tanggapannya.
Pater Vian mengungkapkan kekagumannya karena Arta mampu membaca NTT secara baik. NTT sendiri memiliki identitas dan keberimanan yang masih bersifat kolektif, dan ia mengakui bahwa di NTT sendiri tidak ada pendidikan berbasis karakter. Menurut beliau, keprihatinan nomor 1 sampai 5 merupakan suatu masalah eksternal, sedangkan nomor 6 sampai 10 merupakan gugatan-gugatan pribadi yang sangat kritis. Dan memang benar, JPIC pada akhirnya hafal gerak internal. Kadang-kadang bukan hanya faktor luar saja yang menentukan, tetapi juga internalnya. JPIC dibangun untuk mendengar suara Allah melalui alam, lingkungan, dan sebagainya yang menjadi tanggung jawab bersama. JPIC sendiri tidak hanya menjadi sebuah aktivitas namun juga merupakan suatu grand design, yang layak untuk mendapatkan penebusan.
Sr Lauren sendiri ingin agar JPIC bisa bekerja sama dengan pemerintah, karena banyak yang hanya ikut-ikut saja namun akhirnya tidak berkelanjutan. Beberapa kali Suster sendiri mengalami saat berkunjung ke beberapa daerah, awalnya bisa mengumpulkan banyak orang-orang muda, namun setelah itu tidak ada kelanjutan setelah pergi dari sana, sedangkan pemuka agamanya juga hanya mendengarkan tanpa adanya aksi. Suster menambahkan, OMK di sini saja tidak bisa mengurus diri sendiri, apalagi mengurus anak-anak muda lainnya. Suster Laurentina manambahkan, bahwa JPIC tidak hanya melakukan aktivitas sosial kemanusiaan, tetapi juga ada dokumen gereja yang menguatkan. Meskipun sering disebut sebagai Suster Cargo dan secara manusiawi tidak ada artinya, namun kegiatan religius itu sesuatu yang kuat. Meski pun ada resiko yang didapat, namun Allah akan memberikan kekuatan. Selain itu, juga ada rasa saling percaya dan mendukung yang menguatkan. Kita dituntut untuk keluar dari zona nyaman kita, dituntut kesetiaan, juga komitmen.
Pater Seles menambahkan bahwa hal tersebut sudah menjadi keprihatinan banyak orang, tetapi mereka tidak tahu harus bagaimana. Banyak hal yang irasional untuk dilakukan namun di sana sudah menjadi suatu kebiasaan. Pater Seles kemudian menanggapi dengan memberikan pertanyaan mengenai hal-hal umum yang dapat kita tarik dalam hubungan masalah sosial yang digeluti, seperti masalah trafficking, ekologi, dan lain-lainnya, Sangat eratkah kaitannya dengan hal ini?
Frater Robin mengungkapkan pengalamannya bahwa semua itu tergantung dari yang memimpin, yang dibawa bergerak apa adanya sesuai dengan kemampuan. Anak muda bergabung hanya untuk hura-hura, sedangkan kalau ada kegiatan yang lebih serius tidak mau ambil bagian. Jeny sendiri mengungkapkan bahwa pada SEKAMI di sini, anak tidak dibina sesuai dengan usia perkembangannya, tidak tertarik dengan hal-hal yang menambah kreativitas mereka, namun cenderung menyukai semua yang ditawarkan oleh dunia luar. Hal-hal negatif lebih tertarik bagi mereka daripada mengembangkan iman mereka. Ini terjadi tidak hanya karena perkembangan jaman yang tentu saja tidak bisa ditolak, namun juga minimnya pembinaan dari orang tua dan juga pendampingan di SEKAMI. Frater Robin sendiri juga merasakan apa yang dirasakan oleh Arta. Jam karet sudah merupakan suatu kebiasaan dan tidak merasa bersalah. Kebanyakan juga hanya mengerjakan pekerjaan besar saja, tidak mau mengerjakan pekerjaan kecil.
Frater Robin mengungkapkan pengalamannya bahwa semua itu tergantung dari yang memimpin, yang dibawa bergerak apa adanya sesuai dengan kemampuan. Anak muda bergabung hanya untuk hura-hura, sedangkan kalau ada kegiatan yang lebih serius tidak mau ambil bagian. Jeny sendiri mengungkapkan bahwa pada SEKAMI di sini, anak tidak dibina sesuai dengan usia perkembangannya, tidak tertarik dengan hal-hal yang menambah kreativitas mereka, namun cenderung menyukai semua yang ditawarkan oleh dunia luar. Hal-hal negatif lebih tertarik bagi mereka daripada mengembangkan iman mereka. Ini terjadi tidak hanya karena perkembangan jaman yang tentu saja tidak bisa ditolak, namun juga minimnya pembinaan dari orang tua dan juga pendampingan di SEKAMI. Frater Robin sendiri juga merasakan apa yang dirasakan oleh Arta. Jam karet sudah merupakan suatu kebiasaan dan tidak merasa bersalah. Kebanyakan juga hanya mengerjakan pekerjaan besar saja, tidak mau mengerjakan pekerjaan kecil.
Sr Lauren sendiri ingin agar JPIC bisa bekerja sama dengan pemerintah, karena banyak yang hanya ikut-ikut saja namun akhirnya tidak berkelanjutan. Beberapa kali Suster sendiri mengalami saat berkunjung ke beberapa daerah, awalnya bisa mengumpulkan banyak orang-orang muda, namun setelah itu tidak ada kelanjutan setelah pergi dari sana, sedangkan pemuka agamanya juga hanya mendengarkan tanpa adanya aksi. Suster menambahkan, OMK di sini saja tidak bisa mengurus diri sendiri, apalagi mengurus anak-anak muda lainnya. Suster Laurentina manambahkan, bahwa JPIC tidak hanya melakukan aktivitas sosial kemanusiaan, tetapi juga ada dokumen gereja yang menguatkan. Meskipun sering disebut sebagai Suster Cargo dan secara manusiawi tidak ada artinya, namun kegiatan religius itu sesuatu yang kuat. Meski pun ada resiko yang didapat, namun Allah akan memberikan kekuatan. Selain itu, juga ada rasa saling percaya dan mendukung yang menguatkan. Kita dituntut untuk keluar dari zona nyaman kita, dituntut kesetiaan, juga komitmen.
Jeny sendiri sebagai anak muda NTT menyampaikan tanggapannya sehubungan dengan ketidaktepatan waktu yang sudah menjadi kebiasaan di NTT. Di sana, jam karet merupakan suatu pemakluman Jika ada acara-acara pesta dan adanya undangan kepada pihak pemerintah untuk memberi sambutan, maka acara tersebut tidak akan dimulai sebelum undangan dan pemerintah itu hadir. Masyarakat melihat itu dan menirunya. Mereka mungkin berpikir bahwa pemerintah saja terlambat, jadi tidak masalah kalau kita pun melakukan hal tersebut.
Di akhir sesi kopi darat ini, Pater Vian yang menjabat sebagai Delegatus Tarekat CMF Indonesia-Timur Leste, memberikan kenang-kenangan kepada Arta berupa selembar Surat Perutusan dari Paus Fransiskus, yang berisi Isi Hati dan Doa Paus untuk menyertai tugas pewartaan Injil melalui gerakan kemanusiaan. Acara kemudian ditutup dengan foto bersama dan semua yang hadir sepakat untuk melaksanakan Kopi Darat selanjutnya dengan agenda menyusun hal-hal konkrit yang bisa dilakukan bersama berkaitan dengan 10 keprihatinan yang telah disampaikan.
Di akhir sesi kopi darat ini, Pater Vian yang menjabat sebagai Delegatus Tarekat CMF Indonesia-Timur Leste, memberikan kenang-kenangan kepada Arta berupa selembar Surat Perutusan dari Paus Fransiskus, yang berisi Isi Hati dan Doa Paus untuk menyertai tugas pewartaan Injil melalui gerakan kemanusiaan. Acara kemudian ditutup dengan foto bersama dan semua yang hadir sepakat untuk melaksanakan Kopi Darat selanjutnya dengan agenda menyusun hal-hal konkrit yang bisa dilakukan bersama berkaitan dengan 10 keprihatinan yang telah disampaikan.