Daya juang perempuan seanteru Negara mendesak segera disahkannya RUU PKS patut diapresiasi dan menjadi modal sosial untuk menghentikan berbagai kasus kekerasan Seksual yg sudah sangat tinggi dari tahun ke tahun. Tidak terkecuali desakan dari Provinsi NTT. Dalam rangka merayakan Hari Perempuan International, PIAR, Rumah Perempuan, Akademisi dan jaringan perempuan lainnya menyelenggarakan webinar yang membahas sampai dimana perkembangan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari kacamata akademisi, aktivis perempuan dan legislatif. Narasumber yang menjadi pembicara adalah Ibu Libby Sinlaloe (Lembaga Layanan NTT), Deddy CH Manafe (Dosen Universitas Cendana), Emanuel Melkiades Laka Lena (Anggota DPR RI Fraksi Golkar), Valentina Sagala (Founder Institut Perempuan).
Berikut hasil pertemuan online yang diadakan pada pagi hari ini.
Materi 1-Ibu
Libby Sinlaloe tentang Pengalaman Masyarakat Sipil Dalam Penanganan Kasus
Kekerasan Seksual (Rumah Perempuan NTT)
PENGANTAR
Rumah Perempuan Kupang adalah salah satu lembaga layanan non pemerintah yang bekerja untuk isu perempuan dan anak. Berdiri di Kupang sejak 15 September 2020 untuk merespon ketidakadilan gender dan bentuk kepedulian terhadap maraknya kasus kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, yang terjadi di Kota Kupang, yang diinisisasi oleh 3 tokoh Perempuan NTT, yang merupakan reprentasi dari Flores, Sumba dan Timor.
VISI DAN MISI
VISI:
terciptanya lembaga yang memiliki sumber daya yang profesional, eksis dan
konsisten terhadap perjuangan ketidakadilan gender, sehingga tercapainya relasi
laki laki dan perempuan yang adil, demokratis, damai dan sejahtera pada semua
level.
MISI:
1) Mewujudkan pendampingan dan pelayanan terhadap perempuan dan korban kekerasan secara terpadu dan prima yang didukung oleh sarana prasarana yang memadai, sesuai dengan kebutuhan korban.
2) Meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kekerasan perempuan dan laki laki tentang isu HAM, KESPRO, KTP/A, memiliki akses dan kontrol terhadap berbagai program pembangunan dan posisistrategis baik dalam lembaga formal maupun non formal.
3) Mengembangkan dan mempromosikan pangan lokal sebagai komoditas unggulan sebagai salah satu upaya peningkatan pendapatan masyarakat dampingan, melalui berbagai usaha tani dan usaha produktif lainnya dengan mitra pihak lain.
4) Memperjuangkan adanya komitmen
pemerintah, swasta dan LSM, serta semua pihak untuk memiliki kepedulian
terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk Buruh Migran
dalam melakukan perubahan dan pembuatan kebijakan yang tidak diskriminatif,
serta melestarikan nilai nilai budaya yang berpihak pada keadilan gender dalam
rangka mengimbangi budaya luar yang merugikan masyarakat. 5) Meningkatkan
kapasitas staf terjait dengan bidang bidang yang digeluti lembaga dan merekrut
staf yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahlian yang dibutuhkan
oleh lembagaserta mengupayakan peluang peluang kemitraan dengan pihak
pemerintah, swasta, NGO dan pihak lainnya yang tidak mengikat, termasuk
penggalian dana secara mandiri, demi mendukung tersedianya sarana dan prasarana
ynag memadai untuk melaksanakan pelayanan yang optimal dan berkelanjutan.
POTRET KEKERASAN SEKSUAL DI NTT
- Kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa yang terjadi pada seseorang, terutama perempuan, karena memberikan dampak yang sangat buruk bagi korban. Karena perbuatannya merendahkan, menghina, menyerang terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, organ reproduksi secara paksa.
- Bentuk bentuk kekerasan seksual antara lain : (1) perkosaan; (2) percobaan perkosaan; (3) pelecehan seksual; (4) eksploitasi seksual; (5) perdagangan perempuan dengan tujuan eksploitasi seksual; (6) prostitusi paksa; (6) perbudakan seksual; (7) pemaksaan perkawinan; (8) pemaksaan aborsi.
- Data: (1) RPK – 4240 kasus KTPA KS sejumlah 1080 (2) SIMPONI PPA sistim informasi online perlindungan Perempuan dan Anak mencatat 6.620 (3) KOMNAS 2011 sd 2019 – 46.698 KS di Indonesia.
- Kekerasan seksual terjadi di Ranah Publik dan Domestik.
- Dilakukan oleh Orang orang dekat (Bapak, anak, paman, kakak, opa, tetangga, guru, dll)
- Kekerasan Seksual menembus batas : usia, pendidikan, pekerjaan, status ekonomi, status sosial
PENYEBAB • Relasi yang
timpang antara Korban dan pelaku (Atasan-bawahan, ortu-anak, kakak-adik,
guru-murid) • Penyebab Relasi Timpang (Publik dan Domestik):
Kuasa/wewenang/Jabatan,Uang, Otot, • Dibawah pengaruh Minuman Keras • Sering
menonton video porno
DAMPAK • Fisik : Melukai
dan dilukai, Perubahan fisik akibat Hamil, Bunuh diri • Psikis : Gangguan
kesehatan mental- ketakutan, cemas, Percobaan bunuh diri • KesPro: Gangguan di
alat Vital- infeksi, IMS, pendarahan di vagina, iritasi, gatal dst • Sosial:
Korban menarik diri dari kehidupan sosial, karena digunjingkan, dikucilkan dan
disalahkan di komunitas • Pendidikan : Tidak dapat mengikuti KBM dengan baik,
Berhenti sekolah Drop out sekolah, percobaan bunuh diri,bunuh diri, menjadi ibu
disuia anak
HAMBATAN • Jumlah APH
terbatas (polwan), polki APH yg punya perspektif gender/korban sedikit •
Penanganan hukum yang belum teritegrasi dengan sistim pemulihan korban
(psikolog, psikiater) • Belum ada siStim pencegahan KS yang komprehensif, yang
berkualitas dan mempunyai perspektif korban • Belum ada UU yang secara khusus
mengatur pemulihan, pemberdayaan korban, serta rehabilitasi para Korban dan
pelaku KS • Relasi gender yang timpang, cenderung mengakibatkan korban
disalahkan • Belum didukung dengan SDM dan fasilitas yang memadai untuk
pemulihan dan pemberdayaan korban dan pelaku • Kekerasan Sulit dibuktikan
(Masyarakat belum mau jadi saksi, meninggal, biaya sendiri, disabilitas)
KEKUATAN • Mempunyai
Jejaring kerja • Pusat Krisis terpadu
Materi 2-INFID
(International NGO Forum an Indonesian Development): Paparan Studi Kuantitatif
dan Kualitatif, tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
(RUU P-KS)
Fakta Kekerasan Seksual di Indonesia
Data Catahu Komnas Perempuan ▪ 5.280 kasus kekerasan seksual (2018) ▪ 4.898 kasus kekerasan seksual (2019) ▪ 659 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online/KBGO (Jan-Okt 2020) • Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kementerian PPPA (2020) ▪ 6.177 kasus kekerasan Seksual di Indonesia
DETAIL DAN TUJUAN STUDI
|
Studi
Kualitatif Persepsi dan Dukungan Pemangku Kepentingan (Stakeholders) Terhadap
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual |
Studi
Kualitatif Persepsi dan Dukungan Pemangku Kepentingan (Stakeholders) Terhadap
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual |
Waktu |
Feb – Maret 2020 |
Mei – Juli 2020 |
Jumlah Responden |
101 |
2210 di 34 provinsi, |
Metode Pengumpulan Data |
Diskusi terfokus (FGD) Wawancara mendalam |
Survei melalui telepon Multistage cluster sampling |
Tujuan Penelitian: 1. Menghasilkan bukti terbaru tentang hambatanpencapaian
kesetaraan gender di Indonesia 2. Menghasilkan fakta studi tentang urgensi RUU P-KS |
Dukungan Stakeholders Terhadap RUU P-KS
Persetujuan:
Sebagian organisasi keagamaan, ormas, pemuka agama
Keterlibatan: Lembaga penyedia layanan, NGO, jurnalis, akademisi, kelompok professional, penyintas, kelompok pemuda, inham, K/L, sebagian ormas dan pemuka agama à Masukan konstruktif, diseminasi dan sosialisasi, jejaring advokasi, kampanye publik
Respons Masyarakat terhadap RUU P-KS
Setuju
diberlakukan 70, 5%
Tidak setuju diberlakukan 20, 1% à alasan tidak setuju (17, 1%) menganggap bahwa uu ini terlalu kontroversional bertentangan dengan agama-ada LGBT, seks bebas, aborsi. Lebih dari 20 % masih belum memahami isi dari RUU P-KS. Untuk itu perlu diadakan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat luas.
Prevalensi Terjadinya Kekerasan Seksual
Tidak pernah
mengalami 28, 2%
Pernah mengalami 71, 8% à ❖ 66,7% dialami oleh perempuan 33,3% dialami laki-laki ❖ 65,1% mengalami pelecehan seksual ❖ 99,8% pelaku adalah orang yang dikenal korban ❖ 69,7% mengalami di trotoar/pinggirjalan ❖ 34,4% mengalami di rumah ❖ 57,3% tidak melapor ❖ 57% tidak mendapatkan penyelesaian
Pengetahuan Masyarakat terhadap Dampak Kekerasan
Seksual
n: 2210
❖ Trauma, takut, malu 94,5%
❖ Luka/kerusakan organ reproduksi (rahim, alat vital) 83,2%
❖ Luka/cedera fisik 73%
❖Dikucilkan/tidak diterima oleh masyarakat 56,7%
❖ Sulit mendapat pasangan 48%
❖ Putus sekolah 47,1%
❖ Keluar biaya pengobatan sendiri 39,9%
❖ Dipaksa menikah 37,5%
❖ Kehilangan/tidak diterima pekerjaan 30,6%
❖ Kehilangan uang dan harta benda 25,1%
❖ Dipersulit mendapatkan dokumen kependudukan 4,7%
❖
Kehilangan hak waris 3, 7%
Hak Pemulihan Korban Kekerasan Seksual >93% merasa penting agar mereka memperoleh berbagai hak pemulihan seperti konseling, pengobatan, untuk kembali ke masyarakat
Persepsi Masyarakat tentang Kriminalisasi Korban
Kekerasan Seksual
90% Setuju bahwa
tidak perlu menghukum korban apabila melukai pelaku karena membela diri
65% Setuju bahwa
tidak perlu menghukum korban yang menyebarkan foto/rekaman/chat bukti kekerasan
seksual
49, 6% Setuju bahwa tidak perlu menghukum korban yang hamil karena kekerasan seksual dan menggugurkannya
Persepsi Hukuman terhadap Pelaku Kekerasan Seksual
Hukuman berat
(10-15 tahun) penjara: 80, 7%
Hukuman sedang
(5-10 tahun) penjara 15, 4%
Hukuman tambahan bagi pelaku Kekerasn Seksual à 56, 8% beranggapan bahwa perlu ada hukuman tambahan yaitu bayar denda/ganti rugi. 31, 7% beranggapan bahwa perlu ada hukuman tambahan yaitu Rehabilitasi
Kesimpulan
• RUU P-KS
mendapatkan dukungan dari masyarakat luas • Masyarakat menganggap bahwa RUU
P-KS sangat berkontribusi terhadap pencapaian kesetaraan gender di Indonesia •
Diperlukan payung hukum yang lebih komprehensif untuk penanganan kekerasan
seksual, termasuk untuk pemulihan korban dan rehabilitasi pelaku • RUU P-KS
diharapkan dapat mengakomodasi berbagai jenis tindak pidana kekerasan seksual yang
tidak diatur dalam KUHP maupun UU lainnya
Rekomendasi
1. Mempercepat proses pembahasan dan pengesahan RUU P-KS dengan melibatkan partisipasi public; 2. Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual harus dilakukan secara komprehensif dan holistic; 3. Memastikan adanya pengaturan tentang pemulihan bagi korban, terutama pemulihan fisik, psikis dan sosial dalam pengaturan penanganan kekerasan seksual; 4. Perbaikan layanan pemulihan korban yang terintegrasi dan terpadu dalam satu atap (one stop crisis centre); 5. Mengedepankan upaya pencegahan dan pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan pelecehan seksual; 6. Tidak menunda lagi penyelenggaraan pendidikan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang komprehensif di semua tingkatan pendidikan.
Materi 3- Valentina Sagala: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
PERBANDINGAN SISTEMATIKA RUU PKS DPR RI tahun 2017 RUU
DPR RI tahun 2017 |
RUU Jaringan Masyarakat Sipil - KP |
Judul :RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual Bab I Ketentuan Umum Bab II Asas dan Tujuan Bab III Ruang Lingkup Bab IV Pencegahan Bab V Tindak Pidana Kekerasan
Seksual Bab VI Hak Korban, Keluarga
Korban, dan Saksi Bab VII Penanganan Perkara KS BAB VIII Partisipasi Masyarakat Bab IX Pendidikan dan Pelatihan Bab X Pemantauan Penghapusan KS Bab XI Pendanaan Bab XII Kerja sama Internasional
Bab XIII Ketentuan Pidana Bab XIV Ketentuan Peralihan Bab XV Ketentuan Penutup |
Judul: RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual Bab I Ketentuan Umum Bab II Asas, Tujuan, dan Ruang
Lingkup Bab III Tindak Pidana Kekerasan
Seksual Bab IV Hak Korban, Keluarga
Korban, Saksi dan Ahli Bab V Pencegahan Bab VI Penyidikan, Penuntutan
dan Pemeriksaan di Pengadilan Bab VII Koordinasi dan
Pengawasan Bab VIII Ketentuan Pidana Bab IX Peran Serta Masyarakat Bab X Ketentuan Peralihan Bab XI Ketentuan Penutup |
Materi 4- Deddy CH Manafe (Dosen Universitas Cendana): PERAN PERGURUAN TINGGI
Untuk Mendukung Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan Dilihat Dari Draft RUU-PKS
Pengantar
• Keterlibatan
atau partisipasi Perguruan Tinggi khususnya Universitas Nusa Cendana [Undana]
dalam dinamika atau proses penyusunan Draft Rancangan Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Seksual [RUU-PKS], semenjak 2016. • Partisipasi dimaksud, yakni
antara lain: – Seminar Penelitian Empirik RUU tentang Penghapusan Kekersan
Seksual, Komite III DPD RI dan LSM Rumah Perempuan Kupang, Hotel Aston Kupang,
Kamis, 12 Mei 2016. Kepala Pusat Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia
Universitas Nusa Cendana menjadi salah satu nara sumber lokal. – Diskusi LSM
Rumah Perempuan Kupang, 4 Nopember 2016. Pembantu Dekan Bidang Akademik
Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana menjadi salah nara sumber. • Dalam
Diskusi yang diselenggarakan oleh LSM Rumah Perempuan Kupang dan INFID hari
ini, ada 2 [dua] aspek yang menjadi dasar, yakni: – Draft RUU-PKS tidak
diberikan oleh Panitia, sehingga yang digunakan adalah Drfat RUU PKS yang
diakses dari website yang tertulis DPR pada Draft RUU PKS 2020. – Materi yang
disampaikan terkait peran Perguruan Tinggi dalam pengaturan Draft RUU PKS
terkait dengan bagaimana mendukung perempuan dan anak korban kekerasan seksual.
– Karena naskahnya masih pada tahap Draft RUU, maka materi ini juga melingkupi
apa saja yang bisa dilakukan oleh Perguruan Tinggi dalam kerangka tersebut.
Perkembangan Konsep Kekerasan Seksual: Perspektif HAM
• Jika
ditelisik, maka perkambangan konsep kekerasan seksual di Indonesia setidaknya
dalam perspektif HAM terdapat 3 [tiga] periode normatif, yakni: – Periode
perlindungan moral manusia; – Periode perlindungan harkat dan martabat
kemanusiaan; dan – Periode perlindungan hakikat kemanusiaan.
Periode perlindungan moral manusia
• Periode ini,
merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [KUHP]. • Bab XIV Pasal
281-Pasal 303 KUHP diberi title [judul] kejahatan terhadap kesopanan, delik
susila, atau kejahatan terhadap kesusilaan. • Hal ini, menunjuk kepada aspek
yang mau lindungi, yakni moral manusia. • Lebih khusus lagi, hak untuk
melakukan reproduksi secara sehat. • Dalam hal ini, kekerasan seksual dalam
penyebutan delik susila merupakan kejahatan yang menyerang hak untuk melakukan
reproduksi secara sehat.
Periode perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan
• Periode ini
dimulai dengan dilansirnya: – UU No.23/2002 tentang Perlindungan anak, yang kini
telah diamandemen dengan UU No.35/2014. – Kemudian diikuti oleh UU No.23/2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, – UU No.21/2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan – yang terakhir melalui UU
No.11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. • Ke-4 UU ini, jelas mengusung
perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan. • Dalam konteks ini, kekerasan
seksual dipandang sebagai kejahatan yang menyerang harkat dan martabat manusia
pada kualifikasi anak, perempuan dan anak dalam lingkup rumahtangga, dan
terutama perempuan dan anak yang dijadikan komoditas perdagangan. • Dengan
demikian, kekerasan seksual tersebut dikonstruksikan sebagai kejahatan
terkualifikasi [gekwalificeerde delicten].
Periode perlindungan hakikat kemanusiaan
• Semenjak Draft
RUU PKS dari Tahun 2016 hingga 2020 digulirkan, konsep kekerasan seksual
ternyata sudah bergeser menjadi perlindungan hakikat kemanusiaan. •
Indikasinya, yakni: – Kekerasan seksual tidak dipandang sebagai kejahatan yang
menyerang harkat dan martabat manusia dengan kualifikasi tertentu saja, namun
merupakan bentuk penyerangan pada hakikat kemanusiaan itu sendiri. Manusia
dilihat secara utuh, termasuk anak dan dewasa, laki-laki dan perempuan, dalam
lingkup rumahtangga maupun di luar lingkup rumahtangga. – Konsep kekerasan
seksual sudah mengakomodir konsep kekerasan seksual dalam sistem hukum adat
[minimal hukum adat yang ada di NTT sangat pas], sistem hukum agama [minimal
hukum Agama Kristen Protestan yang dianut oleh GMIT tidak ada yang bertentangan],
sistem hukum Eropa Kontinental dengan memperbaharui KUHP, sistem hukum nasional
dengan mengharmoniskan dan memperkuat 4 UU yang sudah disebut, dan mengikuti
perkembangan sistem hukum internasional. Oleh karena itu, RUU PKS dari berbagai
Draft yang ada, sesungguhnya mengusug fungsi hukum sebagai a tool of social
integration [alat integrasi sosial]. • Pasal 1 angka 1 RUU PKS 2020 menyatakan
bahwa, Kekerasan Seksual adalah: – setiap perbuatan merendahkan, menghina,
menyerang, dan/atau perbuatan lainnya [unsur perbuatan; feit, handeling]; –
terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, [unsur
korban]; – secara paksa, bertentangan 2 dengan kehendak seseorang, [unsur cara;
modus]; – yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan
dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender,
[unsur sebab]; – yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau
kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau politik. [unsur akibat].• Sementara untuk anatomi deliknya
yang masih harus didiskusikan lebih intensif dan komprehensif. Paling tidak
terkait: • Jenis-jenis delik [strafbaarfeit], dalam hal ini bentuk pokok dan
kualifikasinya; • Jika membedah anatomi tindak pidana yang diatur dalam KUHP,
maka KUHP juga mengenal sejumlah jenis tindak pidana, yakni: 1. tindak pidana
yang dilakukan karena kesengajaan (doleuse delicten), 2. tindak pidana yang
dilakukan karena kealpaan/kelalaian (culpose delicten), 3. tindak pidana yang
tidak mensyaratkan adanya akibat (formeele delicten), 4. tindak pidana yang
mensyaratkan adanya akibat (materiele delicten), 5. tindak pidana yang
didasarkan pada perbuatan (commissie delicten), 6. tidak pidana yang didasarkan
karena tidak melakukan perbuatan (ommissie delicten), 7. tindak pidana yang
terdiri dari satu perbuatan (zelfstandige delicten), 8. tindak pidana yang
terdiri dari rangkaian perbuatan (voorgezette delicten), 9. tindak pidana
biasa/pokok (eenvoundigde delicten), 10. tindak pidana dengan kualifikasi
tertentu (gekwalificeerde delicten), 11. tindak pidana yang dilakukan oleh
orang dengan kualitas tertentu (delicta propria), 12. percobaan melakukan
tindak pidana (poging), 13. tindak pidana yang terdiri dari gabungan beberapa
perbuatan (concursus), dan ( 14. tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari
satu orang (deelneeming). • Pertangungjawaban pidana [toerekenbaarheid], dalam
hal ini selain pertanggungjawaban pidana karena kesalahan, juga harus
dipikirkan bentuk pertanggungjawaban pidana yang lain seperti
pertanggungjawaban pidana pengganti ketika pelaku tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban pidananya [dalam hal anak yang belum bisa dimintai
pertanggungjawaban pidana, orang gila, misalnya]. • Pidana [straf], yakni stelsel
pidana yang digunakan baik dari segi jenis pidana, bobot pidana dan cara
menjatuhkan pidananya. Dalam hal ini, sedapat mungkin menghindari penggunaan
pidana denda yang seolah-olah menempatkan negara sebagai germo. • Delik-delik
yang boleh ditangani secara non-litigasi [diselesaikan di luar pengadilan;
diversi oleh kepolisian, hukum adat, dan hukum adat] dan yang harus ditangani
secara litigasi [jalur pengadilan]. • Mekanisme penanganan dan perlindungan
korban dan saksi baik secara kelembagaan, personil, fasilitas, dan
pendanaannya. • Semua hal ini menjadi sangat penting, karena Draft RUU PKS
mencoba untuk mengintegrasikan: – Sistem hukum adat; – Sistem hukum agama; –
Sistem hukum Eropa Kontinental; – Sistem hukum nasional; dan – Sistem hukum
internasional.
Peran Perguruan Tinggi
• Peran
Perguruan Tinggi yang dapat dilakukan tentunya mengacu pada Tri Dharma
Perguruan Tinggi. • Oleh karena itu, baik yang sudah diatur dalam Draft RUU PKS
maupun yang belum, akan diidentifikasikan, yakni: – Bidang Pendidikan dan
Pengajaran; – Bidang Penelitian; dan – Bidang Pengabdian Pada Masyarakat.
Bidang Pendidikan dan Pengajaran
• Bidang ini
lebih terfokus pada aspek pencegahan terjadinya kekerasan seksual. • Peran yang
dapat dilakukan, yakni: – memasukkan materi penghapusan Kekerasan Seksual
sebagai bahan ajar dalam kurikulum, non kurikulum, dan/atau ekstra kurikuler
pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi; – menguatkan pengetahuan dan
keterampilan tenaga pendidik di pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi
tentang materi penghapusan Kekerasan Seksual; dan – menetapkan kebijakan
penghapusan Kekerasan Seksual dalam lingkungan lembaga pendidikan. • Bidang ini
sudah dirumuskan dengan baik.
Bidang Penelitian
• Membentuk
kelembagaan khusus [Pusat Kajian/Pusat Studi/Klinik Hukum/Laboratorium Hukum]
yang secara intensif melakukan penelitian terkait permasalahan kekerasan
seksual. • Mengembangkan penelitian-penelitian terkait kekerasan seksual
sehingga memahami substansi permasalahan serta solusi penanggulangan sesuai dengan
dinamika kehidupan masyarakat. • Bidang ini terutama bersentuhan dengan aspek
pencegahan dan aspek penanganan korban.
Bidang Pengabdian Pada Masyarakat
• Bidang ini
terfokus pada aspek penanganan korban dan penegakan hukum terhadap pelaku, yang
meliputi: – Membentuk kelembagaan LKBH pada setiap Fakuktas Hukum untuk
mendampingi korban secara hukum bersama masyarakat sipil lainnya; – Melakukan
KIE kepada masyarakat dan Advokasi Kebijakan terkait pencegahan, penanganan
korban, perlindungan korban dan saksi;
Penutup
• Jika RUU PKS
menjadi UU, maka diharapkan secara jelas mengatur: – Pencabutan terhadap
ketentuan-ketentuan concordan dalam UU yang lain, agar tidak menyulitkan dalam
penerapan dan penegakannya; – Perlu sesegera mungkin diterbitkan peraturan pelaksanaannya,
agar memudahkan dalam penerapan dan penegakannya; dan – Perlu kebijakan
anggaran yang jelas untuk mendukung penerapan dan penegakannya.