Apakah kita sungguh memiliki hak atas tubuh dan
diri kita sendiri? Sedihnya, sebagian perempuan ini tidak. Mereka tidak
benar-benar memiliki secara penuh dan utuh atas tubuh dan diri mereka sendiri. Atas dasar kebutuhan ekonomi, mereka pergi
bekerja meninggalkan orang-orang yang mereka cintai. Hanya sedikit dari mereka
yang dapat mengirimkan uang ke keluarganya ke Tanah Air, sebagian besar lainnya
bernasib malang.
Mbak Um dan Mbak Ari masih tampak muda. Keduanya berasal
dari Jawa Barat, kami temui di Rumah Singgah Sahabat Insan, Jumat 9 November
2012 lalu. Sinar pada mata mereka redup, seolah kehidupan mereka sebelumnya,
telah merenggut seluruh kebahagian dalam diri mereka. Beberapa kali kami
mencoba menguatkan, bahwa mereka dapat kembali pulang ke Indonesia, dapat
berada di rumah singgah untuk menjalani pemulihan, hal tersebut patutlah disyukuri.
Mereka adalah para TKI yang dikirim bekerja ke
Arab Saudi oleh para agen yang tidak bertanggung jawab. Baik Mbak Um atau Mbak
Ari bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sana tanpa kenal waktu istirahat.
Dari subuh bangun, mengerjakan semua pekerjaan domestik, termasuk mengasuh
orang lanjut usia dengan upah minim. Mereka tidak mengenal hari libur. Setiap hari mereka hanya istirahat 3 sampai 4 jam. Hal itu membuat kondisi badan mereka menurun drastis. Ditambah dengan makanan
yang tidak bergizi dari majikan untuk mereka.
Kedua perempuan tersebut, tidak lagi memiliki
kuasa untuk menentukan apa yang mereka inginkan. Seluruh tubuh, tenaga, pikiran
mereka tercurah untuk melakukan segala pekerjaan domestik di rumah majikan
mereka. Demi mendapatkan uang, memperbaiki kehidupan, mereka rela bekerja keras
sampai ke negeri orang. Mereka dieksploitasi, ada pihak-pihak yang mengambil
keuntungan dari kepergian mereka. Sementara itu, banyak dari kita termasuk
Pemerintah seolah tutup mata dan tidak serius menangani penderitaan mereka.
Mbak Um dipulangkan ke Indonesia oleh majikannya
karena menderita benjolan di bagian payudara, yang ternyata itu adalah kanker
payudara. Majikan dan agen yang mengirimnya tidak mau membiayai pengobatannya
di sana. Sementara itu, Mbak Ari yang baru bekerja 9 bulan, menderita penyakit
kelenjar getah bening. Dia berulang kali dibohongi majikan, dengan mengatakan
dirinya tidak apa-apa, namun, keadaannya semakin parah. Mbak Ari memiliki tekad yang kuat untuk sembuh. Dia
terus mendesak majikannya untuk memulangkannya agar dapat berobat. Sementara itu, agen yang mengirimnya tidak mau bertanggung jawab sama sekali atas sakit yang dideritanya.
Salah seorang dari peduli buruh migran yang merawat mereka bercerita tentang Mbak Ari. Ternyata perempuan ini telah menikah. Gajinya dikirimnya setiap bulan untuk suaminya di kampung. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, suaminya mengkhianiti segala perjuangannya. Di kampung, ternyata suaminya menikah lagi. Sekarang ini, Mbak Ari berusaha tegar dan terus melanjutkan hidup.
"Ya... Nasib..." begitu kata Mbak Um, ketika bercerita. Terdengar kalimat demi kalimat bahasa Indonesia yang dia ucapkan terasa kurang fasih bicaranya. Nasib berbeda dengan takdir. Takdir adalah bagian dari masa lalu yang sudah terlewatkan, sedangkan nasib bukan tidak mungkin untuk berubah. Nasib hanyalah kecenderungan seseorang dalam bersikap bertindak dan melakukan suatu. Sekali lagi kami berkata kepada mereka, bahwa yang terpenting sekarang ini adalah sudah berada di Indonesia, sudah dioperasi, dan sebentar lagi dapat kembali berkumpul dengan keluarga. Sesulitnya di negara orang, masih lebih baik di sini, negeri sendiri. Ya, bersyukur karena mereka sudah menjalani operasi di RS.
Polri dan kini menjalani proses pemulihan di rumah singgah Sahabat Insan.