Apakah yang dapat kita lakukan untuk sesama kita
yang miskin, lapar, dan tidak memiliki tempat tinggal? Sudahkah kita memberikan
sesuatu kepada mereka yang miskin, makan kepada mereka yang lapar, atau
tumpangan kepada mereka yang tidak memiliki tempat tinggal?
Sebagian orang setiap hari hidup dengan tanpa
memiliki kekhawatiran akan hari esok, tentang uang, pekerjaan, makanan, dan
tempat tinggal. Sementara itu, setiap hari di jalan-jalan terlihat mereka
dengan mata seolah tanpa binar, mulai dari anak-anak yang seharusnya sekolah
sampai nenek-nenek atau kakek-kakek. Mereka meminta-minta, mengamen, berjualan
koran, berdagang asongan, atau menjajahkan payung ketika hujan datang.
Jumat, 9 November 2012, satu hari sebelum hari
Pahlawan, Sahabat Insan menghadiri undangan terkait persoalan pahlawan devisa
di Hotel Sofyan, Jakarta. Acara tersebut bertajuk “Dialog Publik: Minimalisasi
Perlindungan Buruh Migran dengan Konvensi Migran 1990[1]”
yang diselenggarakan oleh Aliansi Rakyat untuk Ratifikasi/Realisasi Konvensi
Migran 1990 (ARRAK). Dari 26 anggota ARRAK ’90[2], ada 16 yang hadir di dalamnya. Dalam acara itu, terdapat beberapa pembicara mulai dari
Kementraian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA),
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, JALA PRT (Jaringan
Advokasi Nasional-Pekerja Rumah Tangga), Komisi 9 DPR RI, dan lainnya. Pada
saat tanya jawab, terjadi diskusi yang menarik karena para peserta pun antusias
dalam menyikapi berbagai hal yang dikemukan pembicara. Acara yang berlangsung dua hari sejak tanggal 8 November ini
mendapat sumbangan dana dari International Catholic Migration Commission (ICMC).
Kehadiran
Sahabat Insan di sana merupakan telinga dan mata yang mau melihat dan mendengar
tentang sesama kita yang tersisihkan. Para pahlawan devisa tersebut seringkali
mendapatkan cap yang buruk, mereka sering dikatakan mencoreng citra Indonesia
di mata negara lain. Padahal, menurut Ina, Guru Besar Fakultas Ekonomi
Unpad, jumlah uang yang dikirim oleh TKI dari luar negeri ke Indonesia hingga
September 2010 sudah menembus angka Rp45,27 triliun, setahun naik 2,44 persen
dibandingkan dengan periode 2009.[3] Artinya,
sumbangan para TKI yang bekerja di luar negeri sangat besar bagi negara
Indonesia. Bahkan, Indonesia sempat dikatakan 1 dari 9 negara pengirim buruh
migran terbesar di dunia.
Pada tanggal 12
April 2012, Pemerintah telah meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang
Perlindungan seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Migran
1990). Kemudian, hasil dari konvensi tersebut sesungguhnya telah dijewantahkan
ke dalam UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja di
Luar Negeri (PPTKILN). Pada bulan Mei 2012, Kementrian Luar Negeri telah
mendaftarkan proses ratifikasi ini secara resmi ke sekretariat PBB. Akan
tetapi, dalam perjalanannya, undang-undang tersebut masih memiliki banyak
kelemahan dari sisi perlindungan untuk buruh migran. Oleh karena itu, atas
desakan berbagai pihak, Pemerintah dan DPR sepakat merevisi undang-undang ini.
Sayangnya, hingga sekarang undang-undang itu belum juga selesai. Hal tersebut
mendorong berbagai lembaga swadaya masyarakat ikut ambil bagian menyempurnakan
undang-undang tersebut.
Penyempurnaan undang-undang tersebut merupakan hal yang mendesak dan
sangat penting untuk dilakukan. Pasalnya, sampai saat ini berbagai
ketidakadilan dan kekerasan telah banyak diterima oleh TKI kita yang bekerja di
luar negeri. Persoalannya pun beragam ditambah dengan berbagai pihak atau calo yang
mengeruk keuntungan dari para TKI. Ada 11 arah yang telah dirumuskan untuk
merevisi UU No. 39 tahun 2004 di antaranya terkait dengan perekrutan dan
penempatan TKI, pendidikan atau pelatihan TKI, sistem pembiayaan penempatan
TKI, sistem asuransi dan jaminan sosial, sistem penanganan kasus dan bantuan
hukum, kelembagaan pelayanan migrasi TKI ke luar negeri, sistem pendataan dan
pengawasan perlindungan TKI, peran serta masyarakat, sistem dan pelayanan
pemulangan TKI, peran PJTKI dalam penempatan TKI.
Ada tiga hal yang menjadi suara ARRAK, yaitu berusaha untuk mendorong
Pemerintah dan DPR untuk segera mengadakan undang-undang perlindungan buruh
migran Indonesia yang mengacu pada Konvensi Migran 1990 dan CEDAW[4] sebagai pengganti UU no. 39 tahun 2004; meratifikasi Konvensi ILO No. 189
tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga; menyegarkan adanya Undang-undang
Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang benar-benar melindungi PRT, dan
berlandaskan pada Konvensi ILO No. 189.
Menyaksikan diskusi acara tersebut, Sahabat Insan tergugah untuk ikut
berharap agar Pemerintah dan DPR sesegera mungkin mewujudkan undang-undang yang
melindungi buruh migran. Semoga sebelum memasuki awal tahun yang baru 2013, undang-undang
perlindungan buruh migran yang baru sudah jadi.
[1] Terkait dengan isi dari Konvensi
Migran 1990 dapat diunduh di http://www.depdagri.go.id/media/documents/2012/05/29/f/i/-1.pdf
[2] Anggota ARRAK ’90: Asosiasi Tenaga
Kerja Indonesia (ATKI), Ardanary Institut, CWGI, Gerakan Perempuan untuk
Perlindungan Buruh Migran (GPPBM), Human Rights Working Group (HRWG), Institute
for National and Democratic Studies (INDIES), IWORK, KOHATI, Jala PRT, LBH Apik
Jakarta, LBH Jakarta, Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran
Perantau-KWI, Migrant Care, Peduli Buruh Migran, Serikat Buruh Migran Indonesia
(SBMI), Solidaritas Buruh Migran Karawang (SBMK), Solidaritas Buruh Migran
Cianjur (SBMC), Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh (KPKB), Solidaritas
Perempuan, Solidaritas Perempuan Komunitas Jabotabek, Perkumpulan Praxis, FSPSI
Reformasi, Yayasan Genta Surabaya, TURC.
[3] Burhani, Ruslan (ed.). ”Pengiriman uang
TKI Perkuat Neraca Pembayaran”. 14 Desember 2010. Diunduh pada 16 November 2012 pkl 09.23, http://www.antaranews.com/berita/1292333936/pengiriman-uang-tki-perkuat-neraca-pembayaran
[4] Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) adalah suatu instrumen standar
internasional yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1979 dan
mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1981. Pada tanggal 18 Maret 2005, 180 negara, lebih dari
sembilan puluh persen negara-negara anggota PBB, merupakan Negara Peserta Konvensi.
CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan. Konvensi menetapkan persamaan hak untuk perempuan,
terlepas dari status perkawinan mereka, di semua bidang: politik, ekonomi,
sosial, budaya, dan sipil. Konvensi mendorong diberlakukannya
perundang-undangan nasional yang melarang diskriminasi dan mengadopsi
tindakan-tindakan khusus-sementara untuk mempercepat kesetaraan de facto antara
laki-laki dan perempuan, termasuk mengubah praktik-praktik kebiasaan dan budaya
yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin
atau peran stereotipe untuk perempuan dan laki-laki (sumber: http://cedaw-seasia.org/docs/indonesia/CEDAW_text_Bahasa.pdf).