Kunjungan pertama
Sahabat Insan di permulaan tahun baru ini untuk menyambut seorang calon ibu, mantan TKI, beserta janin yang dikandungnya. Ibu tersebut telah kurang lebih dua bulan dirawat di ruang
jiwa, sebuah rumah sakit di Jakarta. Tepatnya, pada 22 Januari yang lalu,
Peduli Buruh Migran meminta bantuan kepada Sahabat Insan untuk menjemput Ibu Warti
dari Ruang Eboni, ruang khusus untuk merawat pasien-pasien yang depresi atau
mengalami gangguan mental.
O Maria by Joshsbrophy ( http://www.deviantart.com/art/O-Maria-126491502) |
Kami menjemputnya
karena dia sudah lama sembuh dari depresinya dan tengah mengandung 8 bulan. Diperkirakan
sebentar lagi Ibu Warti akan melahirkan. Maka, memang lebih baik sembari
menunggu kelahiran anaknya, Ibu Warti dirawat di Rumah Singgah Sahabat Insan.
Kami memang sudah
beberapa kali menjumpainya. Ketika melihatnya pertama kali di Ruang Eboni kami
begitu terkejut karena dia tengah mengandung. Sangat jarang kami menjumpai
pasien mantan TKI yang mengandung di Ruang Eboni. Entah bagaimana perlakuan
majikannya dulu, sehingga Ibu Warti sampai ke Ruang Eboni dalam keadaan hamil.
Kami tidak dapat membayangkan perlakuan buruk yang dilakukan majikan
terhadapnya.
Siang itu, ketika
Sahabat Insan sampai ke Ruang Eboni, kami disambut gembira oleh Ibu Warti. Sebenarnya,
dia sudah boleh pulang sejak tanggal 21. Namun, kami baru bisa menjemput
keesokan harinya. Ibu Warti segera membereskan pakaiannya. Tiga kantong plastik
ukuran besar telah siap dibawa. Sementara itu, suster-suster jaga menyiapkan
segala dokumen dan hasil kesehatan Ibu Warti selama dirawat di Rumah Sakit.
Sambil menunggu suster
menyiapkan berkas-berkas, kami melihat seorang pasien perempuan di ruang
tersebut terlihat memperhatikan kami terus-menerus. Dia seolah bicara kepada kami melalui sorotan
matanya bahwa dia juga ingin segera pulang dan pergi dari tempat itu. Seorang
perempuan lain ketika melihat seorang petugas laki-laki masuk ke ruangan
suster, bertanya, ”Kapan saya pulang Pak?”. Dengan segera petugas itu menjawab,
”Segera. Sabar aja ya. Nunggu PT nya dulu.” Lalu perempuan itu menanyakan
tas-tasnya, barang-barangnya di bandara yang entah di mana. Petugas itu kembali
menenangkan, ”Ada... Ada...” Tapi sesungguhnya kita tidak pernah tahu apakah
isi barang-barang perempuan itu masih utuh, ada, seperti sedia kala atau telah lenyap.
Tadinya kami kira
setelah suster-suster selesai menyiapkan segala dokumen, kami dapat segera
membawa Ibu Warti pergi. Namun,
ternyata, masih ada beberapa prosedur yang harus kami penuhi. Suster meminta
kami untuk membawa dokumen-dokumen Ibu Warti ke bagian administrasi untuk
membuat surat pernyataan membawa Ibu Warti pulang. Usai mengisi formulir, kami kemudian
diminta membubuhkan tanda tangan di atas materai, serta memberikan fotokopi KTP. Setelah itu, kami
masih harus meminta cap di ruangan lain lagi. Setelah semua persyaratan
tersebut kami penuhi, kami pun segera kembali ke Ruang Eboni untuk menjemput
Ibu Warti.
Sampai di Ruang
Eboni, kami segera menjemput Ibu Warti. Tak
lupa dia meminta nomor telepon majikannya di Saudi kepada suster. Kami mencatat dengan
seksama nomor tersebut. Kemudian, beberapa kawannya di sana memberikan ucapan selamat tinggal kepada Ibu Warti.
Yang agak mengharukan adalah ketika Ibu Warti mengucapkan terima kasih kepada
suster-suster yang telah merawatnya sekian lama di ruangan itu. Ibu Warti memeluk
erat suster tersebut, lalu pamit meninggalkan mereka.
Ibu Warti berasal
dari Lampung, dia bekerja di Arab Saudi selama 6 tahun. Telah dua
sampai tiga kali dia berganti majikan. Naasnya, tidak pernah satu bulan pun dia
menerima gaji dari majikan-majikannya itu. Majikannya yang terakhir, meskipun
seorang yang kaya raya dan memiliki apotek di Saudi, juga tidak murah hati
membayarkan gajinya. Karena perbuatan majikan terakhirnyalah itu, akhirnya Ibu
Warti hamil dan kemudian dipulangkan ke Indonesia. Ketika ditanya perihal
anaknya, dia mengatakan majikannya akan meminta anaknya jika anak itu
laki-laki. Dia sendiri sangat bingung terhadap nasib anak yang dikandungnya
kelak.
Di perjalanan, Ibu Warti bercerita tentang pengalamannya bekerja begitu lelah di Saudi. Dia juga membandingkan keadaan di Saudi dengan Indonesia. Dia juga meluapkan kecintaannya kepada Indonesia. Jika dibandingkan dengan Saudi, Indonesia lebih ramah. Cuaca tidak sepanas di Saudi dan berbagai sayur mayur tumbuh subur di sini. Ibu Warti juga menyampaikan betapa dia rindu kepada keluarga di kampung halamannya. Ibu
Warti mencoba berulang kali menghubungi keluarganya. Tapi, tidak ada
jawaban. Dia juga telah mengirim surat ke alamat rumahnya. Dia berusaha mengabarkan keadaannya
kepada suami dan anaknya bahwa dia telah kembali ke Indonesia. Namun, juga
tidak ada balasan.
Akhirnya kami sampai di Rumah
Singgah. Ibu Warti disambut hangat oleh Mbak Lili, Peduli Buruh Migran. Berulang
kali Mbak Lili menyampaikan agar Ibu Warti tidak sungkan kepadanya, menganggap
dirinya keluarga, dan memberi tahu apa saja yang menjadi kebutuhannya, bahkan
juga makanan-makanan yang diinginkannya. Ibu Warti menyampaikan terima
kasih kepada kami berulang kali, juga kepada Ibu Lili dan Sahabat Insan. Terpancar
harapan dari sorot matanya yang berkaca-kaca ketika kami pamit pulang. Diam-diam doa kami panjatkan bukan hanya untuk Ibu Warti, melainkan juga untuk janin yang ada di dalam kandungannya.
Mengandung, melahirkan, kemudian (mungkin berusaha) melupakan. Untuk kesekian kalinya Sahabat Insan akan menolong ibu yang akan melahirkan bayi yang tidak pernah diinginkannya. Entah bagaimana sebenarnya perasaan perempuan-perempuan itu terhadap janin yang selalu bersamanya selama 9 bulan. Rasanya tidak mungkin jika tidak tumbuh rasa cinta. Namun, mungkin perasaan benci yang sangat dalam kepada orang yang telah menodainya sanggup mengalahkan rasa sayangnya kepada makhluk mungil tak berdosa yang tumbuh berkembang dalam rahimnya.