Monday, January 27, 2014

Menyambut Calon Ibu

Kunjungan pertama Sahabat Insan di permulaan tahun baru ini untuk menyambut seorang calon ibu, mantan TKI, beserta janin yang dikandungnya. Ibu tersebut telah kurang lebih dua bulan dirawat di ruang jiwa, sebuah rumah sakit di Jakarta. Tepatnya, pada 22 Januari yang lalu, Peduli Buruh Migran meminta bantuan kepada Sahabat Insan untuk menjemput Ibu Warti dari Ruang Eboni, ruang khusus untuk merawat pasien-pasien yang depresi atau mengalami gangguan mental.

O Maria by Joshsbrophy ( http://www.deviantart.com/art/O-Maria-126491502)

Kami menjemputnya karena dia sudah lama sembuh dari depresinya dan tengah mengandung 8 bulan. Diperkirakan sebentar lagi Ibu Warti akan melahirkan. Maka, memang lebih baik sembari menunggu kelahiran anaknya, Ibu Warti dirawat di Rumah Singgah Sahabat Insan.

Kami memang sudah beberapa kali menjumpainya. Ketika melihatnya pertama kali di Ruang Eboni kami begitu terkejut karena dia tengah mengandung. Sangat jarang kami menjumpai pasien mantan TKI yang mengandung di Ruang Eboni. Entah bagaimana perlakuan majikannya dulu, sehingga Ibu Warti sampai ke Ruang Eboni dalam keadaan hamil. Kami tidak dapat membayangkan perlakuan buruk yang dilakukan majikan terhadapnya.

Siang itu, ketika Sahabat Insan sampai ke Ruang Eboni, kami disambut gembira oleh Ibu Warti. Sebenarnya, dia sudah boleh pulang sejak tanggal 21. Namun, kami baru bisa menjemput keesokan harinya. Ibu Warti segera membereskan pakaiannya. Tiga kantong plastik ukuran besar telah siap dibawa. Sementara itu, suster-suster jaga menyiapkan segala dokumen dan hasil kesehatan Ibu Warti selama dirawat di Rumah Sakit.

Sambil menunggu suster menyiapkan berkas-berkas, kami melihat seorang pasien perempuan di ruang tersebut terlihat memperhatikan kami terus-menerus. Dia seolah bicara kepada kami melalui sorotan matanya bahwa dia juga ingin segera pulang dan pergi dari tempat itu. Seorang perempuan lain ketika melihat seorang petugas laki-laki masuk ke ruangan suster, bertanya, ”Kapan saya pulang Pak?”. Dengan segera petugas itu menjawab, ”Segera. Sabar aja ya. Nunggu PT nya dulu.” Lalu perempuan itu menanyakan tas-tasnya, barang-barangnya di bandara yang entah di mana. Petugas itu kembali menenangkan, ”Ada... Ada...” Tapi sesungguhnya kita tidak pernah tahu apakah isi barang-barang perempuan itu masih utuh, ada, seperti sedia kala atau telah lenyap.

Tadinya kami kira setelah suster-suster selesai menyiapkan segala dokumen, kami dapat segera membawa Ibu Warti pergi. Namun, ternyata, masih ada beberapa prosedur yang harus kami penuhi. Suster meminta kami untuk membawa dokumen-dokumen Ibu Warti ke bagian administrasi untuk membuat surat pernyataan membawa Ibu Warti pulang. Usai mengisi formulir, kami kemudian diminta membubuhkan tanda tangan di atas materai, serta memberikan fotokopi KTP. Setelah itu, kami masih harus meminta cap di ruangan lain lagi. Setelah semua persyaratan tersebut kami penuhi, kami pun segera kembali ke Ruang Eboni untuk menjemput Ibu Warti.

Sampai di Ruang Eboni, kami segera menjemput Ibu Warti. Tak lupa dia meminta nomor telepon majikannya di Saudi kepada suster. Kami mencatat dengan seksama nomor tersebut. Kemudian, beberapa kawannya di sana memberikan ucapan selamat tinggal kepada Ibu Warti. Yang agak mengharukan adalah ketika Ibu Warti mengucapkan terima kasih kepada suster-suster yang telah merawatnya sekian lama di ruangan itu. Ibu Warti memeluk erat suster tersebut, lalu pamit meninggalkan mereka.

Ibu Warti berasal dari Lampung, dia bekerja di Arab Saudi selama 6 tahun. Telah dua sampai tiga kali dia berganti majikan. Naasnya, tidak pernah satu bulan pun dia menerima gaji dari majikan-majikannya itu. Majikannya yang terakhir, meskipun seorang yang kaya raya dan memiliki apotek di Saudi, juga tidak murah hati membayarkan gajinya. Karena perbuatan majikan terakhirnyalah itu, akhirnya Ibu Warti hamil dan kemudian dipulangkan ke Indonesia. Ketika ditanya perihal anaknya, dia mengatakan majikannya akan meminta anaknya jika anak itu laki-laki. Dia sendiri sangat bingung terhadap nasib anak yang dikandungnya kelak.

Di perjalanan, Ibu Warti bercerita tentang pengalamannya bekerja begitu lelah di Saudi. Dia juga membandingkan keadaan di Saudi dengan Indonesia. Dia juga meluapkan kecintaannya kepada Indonesia. Jika dibandingkan dengan Saudi, Indonesia lebih ramah. Cuaca tidak sepanas di Saudi dan berbagai sayur mayur tumbuh subur di sini. Ibu Warti juga menyampaikan betapa dia rindu kepada keluarga di kampung halamannya. Ibu Warti  mencoba berulang kali menghubungi keluarganya. Tapi, tidak ada jawaban. Dia juga telah mengirim surat ke alamat rumahnya. Dia berusaha mengabarkan keadaannya kepada suami dan anaknya bahwa dia telah kembali ke Indonesia. Namun, juga tidak ada balasan.
Akhirnya kami sampai di Rumah Singgah. Ibu Warti disambut hangat oleh Mbak Lili, Peduli Buruh Migran. Berulang kali Mbak Lili menyampaikan agar Ibu Warti tidak sungkan kepadanya, menganggap dirinya keluarga, dan memberi tahu apa saja yang menjadi kebutuhannya, bahkan juga makanan-makanan yang diinginkannya. Ibu Warti menyampaikan terima kasih kepada kami berulang kali, juga kepada Ibu Lili dan Sahabat Insan. Terpancar harapan dari sorot matanya yang berkaca-kaca ketika kami pamit pulang. Diam-diam doa kami panjatkan bukan hanya untuk Ibu Warti, melainkan juga untuk janin yang ada di dalam kandungannya.

Mengandung, melahirkan, kemudian (mungkin berusaha) melupakan. Untuk kesekian kalinya Sahabat Insan akan menolong ibu yang akan melahirkan bayi yang tidak pernah diinginkannya. Entah bagaimana sebenarnya perasaan perempuan-perempuan itu terhadap janin yang selalu bersamanya selama 9 bulan. Rasanya tidak mungkin jika tidak tumbuh rasa cinta. Namun, mungkin perasaan benci yang sangat dalam kepada orang yang telah menodainya sanggup mengalahkan rasa sayangnya kepada makhluk mungil tak berdosa yang tumbuh berkembang dalam rahimnya.