Tidak ada yang tahu pasti bagaimana kue berbentuk bulat dengan lubang di tengah yang menyerupai cincin itu berasal. Ada yang mengatakan bahwa donat dibawa ke Amerika Utara oleh imigran asal Belanda. Ada pula yang mengatakan donat diciptakan kapten kapal asal Denmark bernama Hanson Gregory. Saat dia menyetir kapal dengan kedua tangan, sang kapten yang tengah makan donat memasukkan kue tersebut ke roda kemudi kapal, sehingga kue menjadi bolong. Dan taraaa... terciptalah ide kue donat yang berbentuk cincin tersebut.
Donat-donat
dengan berbagai rasa manis yang beraneka ragam kami bagikan kepada pasien-pasien
mantan TKI di ruang jiwa salah satu rumah sakit di Jakarta pada Jumat, 20
Desember 2013 yang lalu. Pagi itu mungkin hari yang penuh sukacita untuk
mereka. Biasanya mereka hanya makan dengan lauk-pauk yang ala kadarnya. Mereka sering sekali lapar, mungkin karena obat-obatan yang mereka konsumsi. Tapi
hari itu, kami boleh sedikit berbagi kasih dan kecerian kepada mereka dalam suasana
menjelang Natal dan tahun baru melalui donat-donat yang kami bawakan.
Hari itu, kami
juga mendengar kabar gembira dari salah seorang mantan TKI yang telah
berbulan-bulan kami jumpai di sana. Kabar gembira itu adalah ada keluarganya
yang menjemputnya untuk pulang. Mendengar berita itu kami ikut bersukacita. Sebab telah sekian lama kami tahu
bahwa dia sudah sembuh, namun masih terus berada di sana. Kegembiraan satu
orang menjadi kegembiraan semua orang.
Makan-makan
donat untuk seluruh penghuni ruang eboni itu kemudian dilanjutkan dengan saling
berbagi cerita seputar pengalaman mereka ketika menjadi TKI di negeri orang
sampai kembali ke Tanah Air. Ketika hampir semua sudah selesai makan donat, seorang perempuan muda dengan malu-malu meminta satu lagi kepada kami. Frater Mike memberikannya. Setelah habis, dia meminta lagi kepada Frater Mike. Lalu, dengan penuh kasih kami sampaikan kepadanya kalau donat-donat itu akan dibagikan kepada teman-temannya yang lain di ruang lain.
Kami
melanjutkan kunjungan ke ruang ICU. Di sana ada seorang ibu mantan TKI bernama
Fatma yang sakit sehingga tenggorokkannya perlu dibuat lubang untuk membantunya
bernafas. Perjumpaan dengannya membawa kami ikut merasakan duka yang dipikulnya
melalui kisah dan air mata yang diteteskannya.
Dengan
suara yang tidak terdengar, kami membaca kata demi kata yang diucapkannya
melalui gerak bibir. Berulang kali dia meminta bantuan kami untuk sebuah
keinginan yaitu pulang. Dia memegang erat tangan kami sembari bercerita. Lalu, air mata menetes berulang kali. Dia katakan, dokter sudah tak dapat membantunya lagi, dan dia hanya ingin semua peralatan yang dipasang di tenggorokkannya dilepas saja. Dia ingin pulang dan kemudian berobat sendiri saja.
Perjumpaan
dengan Ibu Fatma membawa banyak tanya di kepala kami. Mengapa dia tidak segera
dipulangkan? Uang-kah permasalahannya? Birokrasi-kah yang membuatnya berlama-lama di sana? Mengapa keluarga yang
tinggal masih di sekitar Jabodetabek tak selalu datang berkunjung merawatnya?
Untuk air minum saja Ibu Fatma diberikan bantuan oleh Peduli Buruh Migran. Maka, hari itu, kami pun menyelipkan
sedikit uang untuk membeli minum. Akhirnya, enam
donat yang masih ada tersisa itu, kami berikan semua untuknya. Sembari pamit, berulang kali dia mengucapkan terima kasih karena merasa kami diutus Yang Kuasa untuk membantunya supaya ia segera pulang ke rumahnya. Sesulit, sesakit, seterbatas apa pun keadaannya di rumahnya nanti, dia tetap hanya ingin pulang.
Maka, ketika hari ini tulisan ini dinaikkan. Kami sempat bertanya perihal Ibu Fatma kepada Peduli Buruh Migran. Syukur kami haturkan karena Ibu Fatma telah pulang ke rumahnya.
Donat-donat yang kami berikan kepada mereka membuat kami merenung-renung lama. Melihat donat
dengan bentuk lingkaran seolah seperti melihat ruang eboni dengan isinya. Selalu ruang tersebut diisi dengan mantan TKI yang mengalami berbagai trauma karena bekerja di negeri orang. Mereka datang dan kemudian pergi. Selalu berulang tak pernah sepi atau berhenti. Seolah donat-donat yang berbentuk lingkaran seperti menggambarkan segala permasalahan
yang dihadapi para TKI yang tidak berujung, tidak ada habisnya.