Tuesday, January 13, 2015

PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI KAUM MIGRAN DAN PENGUNGSI SEDUNIA KE-101 (2015)



Gereja tanpa batas, Ibu bagi semua orang

Saudara-Saudari yang baik,
Yesus adalah “pewarta kabar gembira yang paling agung dan Injil yang hidup” (Evangelii Gaudium, 209). Perhatian-Nya, khususnya bagi yang paling rentan dan dipinggirkan, mengundang kita semua untuk merawat mereka yang paling lemah dan mengenali wajah derita-Nya, teristimewa dalam diri para korban dari bentuk-bentuk baru kemiskinan dan perbudakan.Tuhan bersabda, “Ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (Mat 25:35-36). Tugas perutusan Gereja sebagai peziarah di dunia dan Ibu bagi semua orang adalah mencintai Yesus Kristus, menyembah dan mengasihi-Nya, khususnya dalam diri mereka yang paling miskin dan terbuang; tentu saja, di antara mereka adalah kaum migran dan pengungsi, yang berjuang untuk menyelamatkan diri dari keadaan hidup yang sulit dan segala bentuk marabahaya. Karena itu, tema Hari Kaum Migran dan Pengungsi Sedunia tahun ini adalah: Gereja tanpa batas, Ibu bagi semua orang.

Gereja membuka tangannya untuk menyambut semua orang, tanpa pembedaan atau pembatasan, untuk mewartakan bahwa “Allah adalah kasih” (1 Yoh 4:8,16). Setelah kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus memercayakan tugas perutusan kepada para murid untuk menjadi saksi-Nya dan mewartakan Kabar Gembira tentang sukacita dan belas kasih. Pada hari Pentakosta, para murid dengan keberanian dan gelora semangat meninggalkan ruang atas tempat mereka berkumpul. Daya kekuatan Roh Kudus mengatasi keragu-raguan dan ketidakpastian mereka, serta membuat semua orang mampu memahami khotbah para murid dalam bahasa mereka sendiri. Semenjak awal, Gereja telah menjadi ibu dengan hati yang terbuka bagi seluruh dunia, tanpa batas. Tugas perutusan ini telah berlanjut selama dua ribu tahun. Namun, bahkan pada abad-abad pertama, para pewarta Injil berbicara tentang ibu Gereja yang universal, yang kemudian dikembangkan dalam tulisan-tulisan para Bapa Gereja dan diangkat oleh Konsili Vatikan II. Para Bapa Konsili berbicara tentang Ibu Gereja (Ecclesia Mater) untuk menjelaskan kodrat Gereja. Ia melahirkan putra-putri dan “memeluk mereka dengan cinta kasih dan perhatiannya” (Lumen Gentium, 14).

Gereja tanpa batas, Ibu bagi semua orang, menyebarluaskan suatu budaya penerimaan dan solidaritas ke seluruh dunia, agar tak seorang pun dipandang tak berguna, aneh, atau hanya seperti barang yang dapat dibuang. Bila menghayati jiwa keibuan ini secara efektif, komunitas Kristiani memelihara, membimbing, menunjukkan jalan, menemani semua orang dengan kesabaran, dan mendekatkan diri dengan mereka melalui doa dan karya belas kasih.

Kini, gerak ini memiliki arti khusus. Dalam kenyataan pada zaman ini, ketika arus perpindahan orang terjadi begitu luas, sejumlah besar orang meninggalkan tanah air mereka, dengan membawa sekoper penuh ketakutan dan hasrat, untuk menempuh perjalanan yang penuh harapan sekaligus bahaya, untuk mencari keadaan hidup yang lebih manusiawi. Namun, perpindahan semacam itu sering menimbulkan kecurigaan dan kebencian, bahkan di kalangan komunitas-komunitas gerejani, sebelum kehidupan kaum migran atau kisah-kisah penganiayaan dan kemiskinan yang mereka alami dipahami. Dalam kasus-kasus semacam itu, kecurigaan dan prasangka bertentangan dengan perintah Injili untuk menyambut dengan sikap hormat dan solidaritas orang asing yang membutuhkan pertolongan.

Di lain sisi, kita merasakan dalam hati dan budi kita panggilan untuk menyentuh penderitaan manusia dan mewujudnyatakan perintah cinta kasih yang diberikan oleh Yesus kepada kita ketika Ia menyamakan diri dengan orang asing, dengan orang yang menderita, dan dengan semua orang yang tanpa bersalah menjadi korban kekerasan dan eksploitasi. Namun, karena kelemahan kodrat kita, “kita tergoda untuk menjadi orang-orang Kristiani yang bersikap dingin terhadap luka-luka Tuhan” (Evangelii Gaudium, 270).

Keberanian yang lahir dari iman, harapan, dan kasih membuat kita mampu mengurangi jarak yang memisahkan kita dari derita manusia. Yesus Kristus selalu menunggu untuk dikenali dalam diri kaum migran dan pengungsi lintas batas negara (refugees), dalam diri para pengungsi dalam negeri (displaced persons), dan mereka yang ada di pengasingan. Melalui mereka, Ia mengundang kita untuk menyediakan milik kita bagi penggunaan bersama, dan sekali-sekali memberikan harta yang kita peroleh. Paus Paulus VI membicarakan ini ketika ia mengatakan bahwa “yang lebih beruntung seharusnya melepaskan sejumlah hak mereka untuk menyediakan harta benda mereka secara lebih murah hati demi pelayanan bagi sesama” (Octogesima Adveniens, 23).

Karakter masyarakat yang beraneka budaya pada zaman ini sebetulnya mendorong Gereja untuk membarukan komitmen-komitmen solidaritas, persekutuan, dan pewartaan Injil. Dalam kenyataan, gerak-gerak migrasi mengundang kita untuk memperdalam dan memperkuat nilai-nilai yang dibutuhkan untuk menjamin kehidupan bersama yang damai antara pribadi-pribadi dan budaya-budaya. Tidak cukuplah mencapai sekadar toleransi yang menghargai keanekaragaman dan cara-cara berbagi di antara orang-orang dengan latar belakang dan budaya yang berbeda. Persis inilah tempat Gereja memberikan sumbangan untuk mengatasi pembatasan-pembatasan dan mendorong “perubahan dari sikap-sikap yang membentengi diri, ketakutan, ketidakpedulian, dan peminggiran ... menuju sikap-sikap yang didasarkan atas budaya perjumpaan, yang merupakan satu-satunya budaya yang mampu membangun dunia yang lebih baik, lebih adil dan bersahabat” (Pesan untuk Hari Kaum Migran dan Pengungsi Sedunia 2014).

Namun, gerak-gerak migrasi ada dalam skala yang sedemikian hingga gerak-gerak migrasi itu hanya dapat diatur dan dikelola secara efektif dalam kerjasama yang sistematis dan aktif antara negara-negara dan organisasi-organisasi internasional. Migrasi memengaruhi semua orang, tidak hanya karena luasnya fenomena migrasi, namun juga karena “masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama yang ditimbulkannya, serta tantangan-tantangan luar biasa yang disebabkannya bagi bangsa-bangsa dan komunitas internasional. (Caritas in Veritate, 62).

Di taraf internasional, sering muncul debat yang berkaitan dengan tingkat kelayakan, serta metode-metode dan norma-norma yang dituntut untuk menghadapi fenomena migrasi. Ada lembaga dan organisasi di tingkat internasional, nasional, dan lokal yang bekerja keras untuk melayani mereka yang mencari perikehidupan yang lebih baik dengan bermigrasi. Kendati daya upaya mereka penuh kemurahan hati dan patut dipuji, tetap diperlukan aksi yang lebih menentukan dan konstruktif, yakni aksi yang mengandalkan jaringan kerjasama universal, yang didasarkan atas dilindunginya martabat dan posisi penting setiap pribadi manusia. Upaya ini akan semakin mengefektifkan perjuangan melawan perdagangan manusia yang merupakan aib dan kejahatan, pelanggaran hak-hak dasar manusia, serta segala bentuk kekerasan, penindasan, dan perbudakan. Namun, kerjasama menuntut hubungan timbal balik, aksi bersama, keterbukaan, dan kepercayaan, karena “tak satu negara pun dapat menghadapi sendiri kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan fenomena migrasi, yang pada saat ini sedemikian luas hingga memengaruhi setiap benua dalam gerak ganda perpindahan ke negara tujuan (immigration) dan dari negara asal (emigration) (Pesan untuk Hari Kaum Migran dan Pengungsi Sedunia 2014).

Globalisasi migrasi perlu ditanggapi dengan globalisasi aksi amal kasih dan kerjasama, untuk membuat keadaan kaum migran menjadi lebih manusiawi. Pada saat yang sama, upaya-upaya yang lebih besar diperlukan untuk menjamin lebih ringannya keadaan, yang sering ditimbulkan oleh perang atau kelaparan, yang memaksa orang untuk meninggalkan negeri kelahirannya.

Solidaritas dengan kaum migran dan pengungsi harus disertai oleh keberanian dan kreativitas yang diperlukan untuk mengembangkan tata keuangan dan ekonomi yang lebih adil dan merata di tingkat global, serta meningkatkan komitmen bagi perdamaian, yang menjadi syarat yang harus ada bagi segenap kemajuan yang otentik.

Kaum migran dan para pengungsi, Anda mendapatkan tempat istimewa di hati Gereja, dan Anda membantu Gereja untuk memperluas hatinya dan mewujudkan jiwa keibuannya bagi seluruh keluarga manusia. Jangan sampai Anda kehilangan iman dan harapan! Marilah mengingat Keluarga Kudus sewaktu mengungsi ke Mesir. Sebagaimana hati keibuan Maria dan hati Yusuf yang lembut tetap memelihara iman bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan mereka, semoga harapan yang sama dalam diri Anda akan Tuhan, tidak akan pernah luntur. Saya memercayakan Anda sekalian dalam perlindungan Keluarga Kudus, dan dalam kehangatan persahabatan, saya memberi Berkat Apostolis bagi Anda sekalian.

Vatikan, 3 September 2014

FRANSISKUS