19 Maret 2015, Migrant Care menggelar sebuah
forum diskusi yang membahas tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 dan agenda
perlindungan buruh migran bertempat di Hotel Oria, Menteng, Jakarta Pusat. Dari
kalangan pemerintah, lembaga penelitian, instansi pendidikan, komunitas
pemerhati buruh migran, dan media massa
turut berpartisipasi dalam forum diskusi tersebut.
Forum ini membahas tentang ASEAN yang cenderung
kurang mengakomodasi buruh migran yang berada di sektor rumah tangga,
perindustrian, perkebunan, perikanan, dan konstruksi dalam AEC 2015. Hal ini
tentu memicu aksi protes mengapa buruh migran terkesan menjadi pihak minoritas. Pada
kenyataannya, Indonesia
menyumbang banyak pasokan tenaga kerja yang terlibat di area tersebut.
Acara tersebut dibuka oleh Analis Kebijakan
Migrant Care, Wahyu Susilo. Beliau menyampaikan apresiasinya kepada seluruh
peserta dan narasumber yang ikut berpartisipasi. Wahyu Susilo sungguh berharap
sumbangan ide dan realisasinya dapat membantu melindungi buruh migran yang berada
di luar negeri. Sebagai pembuka, Direktur Kerja Sama Fungsional ASEAN, J.S
George Luntu, memaparkan tentang posisi Indonesia dalam melindungi buruh migran
di ASEAN. Terkait dengan pernyataan pers tahunan Menteri Luar Negeri yang
mengacu pada penguatan perlindungan hukum buruh migran yang bersifat non
diskriminatif, Kemlu sedang mengupayakan perumusan ASEAN Instrument on the Protection dan Promotion of the Rights of
Migrant Workers yang bersifat legally-binding dan non diskriminatif. J.S.
George Luntu menyayangkan atas perbedaan pandangan dengan negara ASEAN tentang
penggolongan kelompok tenaga kerja tersebut. Seperti yang di ungkapkan oleh
Yuyun Wahyuningrum, senior advisor on ASEAN and
Human Rights at the Human Rights Working Groups (HRWG), bahwa tujuan dari AEC
2015 adalah meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan meminimalkan gaps di kawasan Asia Tenggara, namun
dengan adanya isu buruh migran yang tidak menjadi prioritas kerjasama ASEAN
maka tujuan dari AEC tidak akan tercapai. Hal itu dinilai karena kurang konsistennya
ASEAN atas kebijakan yang dibuat. Sedangkan, Charan Bal, Dosen Hubungan
Internasional di Universitas Parahyangan, mengungkapkan bahwa perlu adanya pemerataan
langkah-langkah konkrit negara ASEAN dalam perlindungan buruh migran. Sehingga kesadaran akan ketidaksetaraan
kelompok pekerja turut dipikirkan oleh negara negara kawasan ASEAN.
Pada sesi kedua, DR. M. Reza Damanik membuat acara forum lebih santai dengan mengajak narasumber untuk duduk bergabung bersama peserta diskusi yang lain. Cetusan ide maupun tanggapan dari narasumber
memicu sumbangan ide dari masyarakat pemerhati buruh migran. Mereka sangat
setuju bahwa AEC 2015 adalah momen yang tepat untuk menggerakkan perlindungan
buruh migran di kawasan Asia Tenggara. Mereka juga menambah akan adanya peningkatan pelatihan di BLK daerah sehingga nantinya buruh migran siap untuk berjuang di pasar bebas.
Forum diskusi AEC 2015 ini berlangsung sampai dengan sore hari. Kemudian, pihak Migrant Care membuat ringkasan dari kumpulan ide dari peserta FGD AEC 2015 yang nantinya akan dibagikan lewat email. Di akhir acara, Wahyu Susilo
mengungkapkan bahwa forum diskusi ini akan terus di-follow up agar kesetaraan
buruh migran dapat tercapai nantinya.