Sunday, March 29, 2015

Mengunjungi Ruang Jiwa

Halo Sahabat!

Hari Jumat tanggal 13 Maret yang lalu, Sahabat Insan kembali berkunjung ke ruang rawat jiwa sebuah rumah sakit di Jakarta. Rentang waktu dengan kunjungan terakhir yang cukup lama membuat kami merasa asing dengan suasana baru yang kami hadapi. Selain lokasinya sudah berpindah sehingga membuat kami bingung, tata letak ruangannya juga berbeda dengan sebelumnya sehingga kami memerlukan penyesuaian diri untuk bergabung dengan para pasien yang ada di sana. Kami kemudian memperhatikan ruangan-ruangan di tempat itu yang terlihat bersih karena masih baru. Ada tiga ruang tidur disitu, yang masing-masing berisi enam ranjang.

Hari itu, tim Sahabat Insan terdiri atas Sr. Murphy, Sr. Louise, Rintan, Tanti dan seorang tamu dari Yogyakarta bernama Desi. Desi adalah  seorang pelajar kelas 2 SMU yang sedang libur sekolah dan ingin mengikuti kegiatan Sahabat Insan dalam mendampingi buruh migran. Saat pertama kali tiba di ruang rawat jiwa, dia merasa takut dan terlihat tegang. Untunglah kami bisa meyakinkannya bahwa keadaan di dalam cukup aman karena ada suster yang berjaga dan kondisi mereka yang akan kita temui tidak terlalu parah. Akhirnya ia bisa masuk dengan tenang. Di dalam, kami disambut hangat oleh para penghuni ruang jiwa dan mulai berkenalan satu persatu. Syukurlah, kunjungan kami kali ini tidak berbarengan dengan kunjungan periodik dokter sehingga kami dapat leluasa mengobrol dengan mereka.      



http://www.deviantart.com/art/Pressure-198584352

Hari itu ada sekitar 20 pasien wanita yang sedang dirawat disana. Hampir dipastikan semua pasien tersebut adalah mantan pekerja migran dari berbagai negara: Malaysia, Taiwan, Hongkong, Dubai dan Arab Saudi. Rentang umur mereka antara 17-50 tahun. Saat kami datang dan membawa makanan kecil, mereka terlihat sangat gembira dan langsung membagi-bagi roti tersebut kepada teman-temannya. Bahkan ada beberapa pasien yang sampai berebut. Untungnya pasien lain berhasil menengahi dan suasana menjadi tenang kembali. Dalam sekejap, makanan kecil yang kami bawa langsung ludes. Ekspresi mereka sangat beragam. Ada yang bertingkah laku seperti orang sehat pada umumnya, ada yang diam saja melihat kami berbincang dengan yang lain, ada yang menyendiri di sudut ruangan, ada yang memonopoli pembicaraan dan mengatur-atur teman-temannya, dan ada juga yang saling berebut memperkenalkan diri pada Suster Murphy. Sosok Suster Murphy yang 'sangat bule' memang menarik perhatian beberapa pasien ruang rawat jiwa tersebut. Bergantian mereka menanyakan negara asal Sr. Murphy, apa tujuannya ke Indonesia, bahkan ada yang bertanya dimana suaminya dan berapa anaknya. Mereka bahkan mencoba berbincang-bincang dengan Suster Murphy dalam bahasa inggris. Sesaat perhatian kami tertuju pada seorang wanita memiliki memar di dahinya. Bekas itu begitu jelas terlihat. Sayangnya ketika kami tanyai, dia tidak ingat apa yang terjadi sebelumnya. 

Berbagai macam tingkah penghuni ruang rawat jiwa ini membuat Desi tertawa. Gadis manis yang terlihat canggung di awal, akhirnya bisa berbaur dan ikut  bercakap-cakap dengan para penghuni ruang jiwa tersebut. Bahkan, salah satu pasien yang terlihat paling muda di situ, kemudian mengajaknya untuk menyanyi bersama. Desi kemudian balik meminta mereka untuk mengajarinya bernyanyi. Dengan antusias, anak muda yang sebelumnya bekerja di Kuala Lumpur itu berjalan menuju kamarnya dan menyalakan radio. Alunan lagu dangdut pun terdengar dan ia pun kemudian bernyanyi dan berjoget. Keempat temannya kemudian mengikuti gerakannya dengan bersemangat. Beberapa orang sempat ditegur oleh suster perawat karena kurang luwes dalam menari. Ada juga yang sudah sangat jago dalam melakukan gerakan tersebut. Mereka mengajak kami bernyanyi bersama saat itu, tapi kami tidak hafal dengan lirik lagu tersebut. Oleh karena itu kami hanya ikut menyemangati mereka. 

Menari dan menyanyi memang salah satu kegiatan yang mereka lakukan untuk sekadar mengusir kejenuhan. Sebagian besar dari mereka memang mengutarakan kebosanannya selama dirawat disitu. Sehari-hari, mereka praktis tidak melakukan kegiatan apa-apa selain makan dan tidur. Minimnya kegiatan membuat mereka didera rasa ingin pulang yang sangat besar. Seorang pasien lain mengisi hari-harinya di situ dengan membaca novel. Dengan bangga ia menunjukkan sebuah novel yang berhasil dia lahap dalam waktu semalam saja. Dia juga mengutarakan keinginannya untuk bisa menulis, karena ia sangat suka menulis, hanya saja dia tidak tahu bagaimana cara menuangkan ide-idenya. Gadis itu berharap kami akan membawa buku atau novel pada kunjungan berikutnya. Beberapa pasien juga mengungkapkan hobi lain mereka, yaitu memasak. Namun sayangnya, mereka dilarang memasak di situ karena bisa menimbulkan bahaya, terutama karena kondisi jiwa mereka yang belum stabil. 

Kami kemudian bertanya pada suster perawat apakah kami diperbolehkan untuk membuat acara kecil ketika kami datang, dan suster mengijinkan. Kegiatan-kegiatan sederhana yang bisa menstimulasi pikiran mereka akan sangat membantu kesembuhan para pasien ini. Kami pun merencanakan untuk membawakan beberapa majalah dan novel untuk mereka baca, atau kertas lipat yang dapat mereka bentuk-bentuk di saat senggang.

Tak terasa jam makan siang pun tiba, dan kami pamit mengundurkan diri. Kami peluk erat mereka satu per satu, sekedar untuk memberikan kehangatan seorang saudara, yang mungkin sudah lama tidak mereka rasakan. Walaupun tatapan mata mereka kosong, namun bibir mereka tersenyum saat tangan kami menjabat mereka untuk mengucapkan salam perpisahan.  Saat kami beranjak meninggalkan ruangan itu, mereka pun kembali berceloteh dengan ramainya. "Kapan datang lagi?", "Jangan lupa bawakan kami coklat ya", "Belikan baju yang bagus buat kami ya", dan kata-kata lain yang tumpang tindih terdengar. Kami pun hanya tersenyum, tidak berani menjanjikan apa-apa.