Abu-Dhabi adalah ibu kota dan kota terbesar
kedua di Uni Emirat Arab. Kota
ini juga merupakan rumah bagi lembaga keuangan penting
seperti Bursa Efek Abu Dhabi, Bank Sentral Uni Emirat Arab dan salah satu produsen terbesar minyak dunia. Abu-Dhabi adalah kota paling mahal kedua untuk karyawan asing di
wilayah tersebut, dan kota termahal ke-67 di dunia. Majalah Fortune & CNN menyatakan bahwa Abu Dhabi adalah kota
terkaya di dunia. Fakta-fakta tersebut membuat kota ini menjadi kota impian
para TKW kita, dan tergiur untuk mengadu nasibnya ke kota tersebut, dengan harapan pulang membawa harta
yang berlimpah. Namun apa daya impian-impian mereka sirna begitu saja tersedot padang pasir tak
berbekas, akibat ulah para majikan dan agen-agen yang tak berperikemanusiaan.
Hari Selasa ini saya berkunjung
ke RPTC dengan Mbak Vinca, seorang
relawan yang setiap
hari Selasa memberikan ketrampilan putri (salon) untuk para penghuni
RPTC. Saat kami berdua tiba di sana,
ada 32 orang pekerja
migran yang baru saja dipulangkan dari Abu-Dhabi. Hampir semuanya adalah ibu rumah
tangga yang berasal dari berbagai daerah misalnya Cirebon, Cianjur, Ciranjang, Garut, Banten dan juga
Pekalongan. Mereka dipulangkan karena berbagai macam
masalah, baik dengan agen maupun majikan. Ada yang 1,5
tahun, 6 bulan, 3 bulan tidak digaji dan jam kerja tidak seimbang.
Suasana terlihat agak kaku saat kami memperkenalkan diri dengan
mereka. Kami menyapa mereka dengan
senyuman, dan mereka ada yang membalas tersenyum, namun ada juga yang cuek tak peduli karena mereka
berjilbab dan mereka melihat saya yang berkerudung. Kami mempunyai persepsi
masing-masing diawal perjumpaan tersebut. Mbak Vinca
kemudian memulai pelajaran
ketrampilan hari itu, yaitu
bagaimana membuat make-up yang baik dan efektif. Setiap orang diminta mempraktekkan dengan
berpasang-pasangan. Mereka mengikuti instruksi Mbak Vinca dengan
antusias dan semangat. Ditengah-tengah praktek mereka saling berkomentar satu sama lain dan bercanda “E..e.. kok kaya ondel-ondel“. Setelah itu
mereka pun tertawa bersama.
Seperti inilah kami mengawali komunikasi dan suasana menjadi cair. Disela-sela latihan ketrampilan putri tersebut,
mereka bisa langsung bercerita dengan saya tentang masalah
yang mereka alami.
Salah satu dari mereka, sebut saja namanya Ibu Wulan. Ibu Wulan berasal dari Ciranjang Jawa Barat. Suaminya bekerja sebagai tukang ojek di kampung
halamannya. Ia
mempunyai niat untuk membantu suami dalam mencari nafkah untuk menghidupi kelima anaknya. Cita-cita ibu Wulan ini sangat mulia. Sebagai ibu rumah tangga
yang sederhana, ia ingin menyekolahkan anak-anaknya agar tidak mengalami nasib
seperti dirinya yang hidupnya susah. Bekerja di Abu-Dhabi adalah pengalaman keduanya mencari rejeki di negeri orang. Pengalaman pertamanya
adalah ketika ia bekerja di Arab Saudi selama 5 tahun dan ia merasakan nyaman
dan tidak ada masalah. Gaji juga lancar ia terima dan dapat membantu menghidupi keluarganya.
Pengalaman yang baik tersebut membuat ia memberanikan diri untuk mencari
nafkah lagi untuk kedua kalinya di negeri orang. Namun
malang tak dapat ditolak. Di
Abu-Dhabi ia harus
bekerja ekstra
keras. Ia bangun
pagi-pagi jam 4, kemudian mengurus anak majikannya antar jemput
ke sekolah. Selanjutnya ia membersihkan rumah yang berjumlah tiga buah tanpa diberi kesempatan untuk makan. Sampai jam 2
siang ia baru diberi sepotong roti dan segelas teh manis.
Setelah itu
ia melanjutkan pekerjaannya: memasak, setrika, mencuci dan
menyiapkan makan malam. Ia baru bisa beristirahat pada pukul 2 dini hari dan harus bangun kembali pukul
4 pagi. Selama lima bulan bekerja
disitu, majikannya hanya memberikan gaji satu bulan saja dan yang empat bulan tidak diberikan
kepadanya karena sudah diserahkan kepada agen. Dengan keadaan
yang demikian terus menerus, ibu Wulan merasa tidak kuat dan tidak betah. Ia kemudian memutuskan untuk kabur dan lari ke KBRI. Disana ia bertemu dengan petugas KBRI dan bermaksud minta tolong untuk dicarikan pekerjaan
lagi. Namun
petugas tersebut mengatakan bahwa ia harus pulang ke Indonesia.
Maka ditampunglah ibu Wulan bersama para TKW lainnya. Setelah tujuh bulan di penampungan, akhirnya mereka dipulangkan ke Indonesia. Sesampai di sini, untuk sementara waktu mereka ditampung di RPTC dan menunggu dipulangkan ke kampung halaman tanpa membawa hasil apa pun.
Tak terasa Mbak Vinca sudah selesai mengajarkan ketrampilan salon kepada
para pekerja migran tersebut. Kami pun mengakhiri kunjungan hari itu dan mohon
pamit kepada mereka yang sedang menunggu kepastian nasibnya. “Selamat tinggal negeri
impian…” Mungkin kata-kata itulah
yang ingin mereka ucapkan saat mendapat bahwa kenyataan tidaklah seindah
mimpi-mimpi mereka.
Salam Solidaritas
Sr.Laurentina PI