Saturday, April 11, 2015

Selamat Tinggal Negeri Impian

Abu-Dhabi adalah ibu kota dan kota terbesar kedua di Uni Emirat Arab. Kota ini juga merupakan rumah bagi lembaga keuangan penting seperti Bursa Efek Abu Dhabi, Bank Sentral Uni Emirat Arab dan salah satu produsen terbesar minyak dunia. Abu-Dhabi adalah kota paling mahal kedua untuk karyawan asing di wilayah tersebut, dan kota termahal ke-67 di dunia. Majalah Fortune & CNN menyatakan bahwa Abu Dhabi adalah kota terkaya di dunia. Fakta-fakta tersebut membuat kota ini menjadi kota impian para TKW kita, dan tergiur untuk mengadu nasibnya ke kota tersebut, dengan harapan pulang membawa harta yang berlimpah. Namun apa daya impian-impian mereka sirna begitu saja tersedot padang pasir tak berbekas, akibat ulah para majikan dan agen-agen yang tak berperikemanusiaan.

Hari Selasa ini saya berkunjung ke RPTC dengan Mbak Vinca, seorang relawan yang setiap hari Selasa memberikan ketrampilan putri (salon) untuk para penghuni RPTC. Saat kami berdua tiba di sana, ada 32 orang pekerja migran yang baru saja dipulangkan dari Abu-Dhabi. Hampir semuanya adalah ibu rumah tangga yang berasal dari berbagai daerah misalnya Cirebon, Cianjur, Ciranjang, Garut, Banten dan juga Pekalongan. Mereka dipulangkan karena berbagai macam masalah, baik dengan agen maupun majikan. Ada yang 1,5 tahun, 6 bulan, 3 bulan tidak digaji dan jam kerja tidak seimbang.


Suasana terlihat agak kaku saat kami memperkenalkan diri dengan mereka.  Kami menyapa mereka dengan senyuman, dan mereka ada yang membalas tersenyum, namun ada juga yang cuek tak peduli karena mereka berjilbab dan mereka melihat saya yang berkerudung. Kami mempunyai persepsi masing-masing diawal perjumpaan tersebut. Mbak Vinca kemudian memulai pelajaran ketrampilan hari itu, yaitu bagaimana membuat make-up yang baik dan efektif. Setiap orang diminta mempraktekkan dengan berpasang-pasangan. Mereka mengikuti instruksi Mbak Vinca dengan antusias dan semangat. Ditengah-tengah praktek mereka saling berkomentar satu sama lain dan bercanda “E..e.. kok kaya ondel-ondel“. Setelah itu mereka pun tertawa bersama. Seperti inilah kami mengawali komunikasi  dan suasana menjadi cair. Disela-sela latihan ketrampilan putri tersebut, mereka bisa langsung bercerita dengan saya tentang masalah yang mereka alami.

Salah satu dari mereka, sebut saja namanya Ibu Wulan. Ibu Wulan berasal dari Ciranjang Jawa Barat. Suaminya bekerja sebagai tukang ojek di kampung halamannya. Ia mempunyai niat untuk membantu suami dalam mencari nafkah untuk menghidupi kelima anaknya. Cita-cita ibu Wulan ini sangat mulia. Sebagai ibu rumah tangga yang sederhana, ia ingin menyekolahkan anak-anaknya agar tidak mengalami nasib seperti dirinya yang hidupnya susah. Bekerja di Abu-Dhabi adalah pengalaman keduanya mencari rejeki di negeri orang. Pengalaman pertamanya adalah ketika ia bekerja di Arab Saudi selama 5 tahun dan ia merasakan nyaman dan tidak ada masalah. Gaji juga lancar ia terima dan dapat membantu menghidupi keluarganya.

Pengalaman yang baik tersebut membuat ia memberanikan diri untuk mencari nafkah lagi untuk kedua kalinya di negeri orang. Namun malang tak dapat ditolak. Di Abu-Dhabi ia harus bekerja ekstra keras.  Ia bangun pagi-pagi jam 4,  kemudian mengurus anak majikannya antar jemput ke sekolah. Selanjutnya ia membersihkan rumah yang berjumlah tiga buah tanpa diberi kesempatan untuk makan. Sampai jam 2 siang ia baru diberi sepotong roti dan segelas teh manis. Setelah itu ia melanjutkan pekerjaannya: memasak, setrika, mencuci dan menyiapkan makan malam. Ia baru bisa beristirahat pada pukul 2 dini hari dan harus bangun kembali pukul 4 pagi. Selama lima bulan bekerja disitu, majikannya hanya memberikan gaji satu bulan saja dan yang empat bulan tidak diberikan kepadanya karena sudah diserahkan kepada agen. Dengan keadaan yang demikian terus menerus, ibu Wulan merasa tidak kuat dan tidak betah. Ia kemudian memutuskan untuk kabur dan lari ke KBRI. Disana ia bertemu dengan petugas KBRI dan bermaksud minta tolong untuk dicarikan pekerjaan lagi. Namun petugas tersebut mengatakan bahwa ia harus pulang ke Indonesia. Maka ditampunglah ibu Wulan bersama para TKW lainnya. Setelah tujuh bulan di penampungan, akhirnya mereka dipulangkan ke Indonesia. Sesampai di sini, untuk sementara waktu mereka ditampung di RPTC dan menunggu dipulangkan ke kampung halaman tanpa membawa hasil apa pun.

Tak terasa Mbak Vinca sudah selesai mengajarkan ketrampilan salon kepada para pekerja migran tersebut. Kami pun mengakhiri kunjungan hari itu dan mohon pamit kepada mereka yang sedang menunggu kepastian nasibnya.  “Selamat tinggal negeri impian…” Mungkin kata-kata itulah yang ingin mereka ucapkan saat mendapat bahwa kenyataan tidaklah seindah mimpi-mimpi mereka.

Salam Solidaritas
Sr.Laurentina PI