Monday, November 30, 2015

Lewat Foto Mereka Bersuara

Dari Jambore Nasional Buruh Migran Indonesia 2015

Ada hal yang menarik perhatian di salah satu sudut ruangan Gedung Soetardjo Universitas Jember, ruangan yang selama ini dipakai sebagai pusat kegiatan selama acara Jambore Nasional Buruh Migran 2015 ini. Ada pameran foto-foto bertemakan buruh migran. Kisah-kisah sukses, derita, kegalauan sampai harapan mereka tertumpah dengan apik dalam gambar-gambar tersebut.




Sekilas, tidak ada yang istimewa dari pameran foto ini. Namun, setelah diamati lebih jauh, dan melihat profil yang tertera di bagian bawah gambar, barulah kita bisa berdecak kagum, karena ternyata gambar-gambar serta kalimat-kalimat indah yang dipamerkan disini adalah hasil karya ibu-ibu buruh migran, khususnya dari NTT dan NTB. Para fotografer berasal dari desa Darek (Kecamatan Praya Barat Daya), Desa Gerunung (Kecamatan Praya), dan Desa Nyerot (Kecamatan Jonggat) di kabupaten Lombok Tengah (NTB), serta Desa Beutaran, Desa Tagawiti dan desa Dulitukan, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata - NTT. Desa-desa tersebut merupakan beberapa desa dampingan dari Migrant Care.


Martina Lipat, salah satu fotografer yang juga mantan buruh migran asal desa Dulitukan, Lembata - NTT menceritakan bahwa mereka, yang tergabung dalam Komunitas Buruh Migran Sonata,  menerima pembekalan ketrampilan dari Program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan) bekerjasama dengan Migrant CARE, pada bulan Maret 2015. Selama seminggu penuh mereka diberikan pengetahuan tentang fotografi, cara  mengoperasikan kamera dengan benar, cara memilih gambar, serta cara membuat keterangan gambar (caption). Selanjutnya setelah teori diberikan, mereka diberi tugas untuk mencari tema gambar dari masing-masing alphabet, dari huruf A, B, C, D, sampai Z, yang berhubungan dengan buruh migran. Masing-masing tema kemudian diambil gambarnya dan dibuat caption. Dengan bimbingan dari pelatihnya, semakin lama mereka semakin terasah untuk peka melihat keadaan sekeliling dan menyuarakan dalam bentuk foto. Martina menambahkan, bahwa selesai pelatihan, komunitas mereka diberi sebuah kamera yang cukup canggih, yang bisa dipinjam untuk membuat sebuah foto jika sedang menemukan inspirasi.

Jagung adalah Makanan Pokok Kami - " Di desa kami, makanan pokok adalah jagung. Namun tidak mencukupi kebutuhan seharian hidup kami. Terpaksa kami menjadi buruh migran di perantauan untuk menambah kebutuhan ekonomi kami.". Demikian hasil jepretan dari Theresia Tuto, atau yang lebih akrab dipanggil Mama Theresia. Mama Theresia tidak pernah merantau menjadi buruh migran, namun beliau diminta untuk bergabung dengan komunitas buruh migran di desanya, yang bernama Komunitas Sonata. Karena hasil panen jagung di desa itu sangat melimpah, bersama anggota lainnya, Mami Theresia kemudian mengolahnya menjadi keripik jagung. Proses pembuatan keripik jagung ini memakan waktu kurang lebih satu minggu, karena di setiap proses dilakukan secara manual, sehingga waktu yang diperlukan juga lama. Dalam seminggu, mereka bisa memproduksi sekitar 100 bungkus keripik jagung, dengan catatan cuaca bersahabat/panas, sehingga mereka bisa menjemur jagung-jagung tersebut di bawah terik matahari. Namun, jika mulai musim penghujan, mereka menghentikan produksinya dan melakukan kegiatan lainnya seperti menenun atau membuat kerajinan-kerajinan lainnya.

Masih banyak tema yang diangkat oleh para fotografer handal ini, tentang air sungai yang tak lagi bening, tentang anak yang harus diasuh sang nenek karena orang tuanya merantau, tentang hasil bumi, tentang perubahan nasib, dan lain sebagainya. Jika gambar bisa berbicara lebih banyak daripada kata-kata, maka kegiatan fotografi para mantan buruh migran ini bisa jadi merupakan sarana yang efektif untuk menggali lebih dalam apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat di desa tersebut untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Berikut beberapa foto yang dipamerkan dalam Jambore ini dengan segala kisah suka dan duka:
Ratapan Anak Buruh Migran:
Ternyata uang hasil menjadi buruh migran di luar negeri tidak bisa menggantikan kasih sayang ibunya

Berhasil Membantu Sekolah Ponakan:
Ternyata tanpa merantau pun, tetap bisa membiayai pendidikan, dengan berjualan dan memanfaatkan hasil bumi.
Pupusnya Harapan:
Angan-angannya untuk meningkatkan taraf hidup sirna setelah mendapatkan musibah di negeri jiran.

Membuat Perubahan:
Setelah suami istri merantau, akhirnya mereka berhasil mewujudkan mimpinya untuk membangun sebuah rumah.

Tiada Pilihan:
Keempat anak pemulung, yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, memilih untuk merantau mencari peruntungan di negeri orang.


Ikan Segar:
Untuk menambah penghasilan, mereka juga berjualan ikan segar, walau hasilnya tidak sebanding dengan merantau menjadi pekerja migran