Pada tanggal 18 Mei 2016, Sahabat Insan membantu pemulangan Ibu Dewi (bukan nama sebenarnya) ke kampung halamannya di Kupang. Ibu Dewi adalah korban perdagangan manusia yang rencananya akan bekerja di Malaysia, namun karena kecelakaan yang menimpanya, ia pulang kembali ke Indonesia (Jakarta) berkat bantuan salah satu lembaga sosial pemerhati buruh migran di sana.
Kisah Ibu Dewi sebagai pekerja migran memang cukup panjang. Pada usia 14 tahun ia direkrut untuk bekerja di Medan sebagai PRT. Selama tiga tahun bekerja, total gaji yang ia terima adalah lima juta rupiah, dengan rincian 4 juta dikirimkan ke rekening milik bapak kecil di Kupang dan 1 juta diberikan kepadanya secara tunai, dengan catatan enam bulan pertama ia tidak menerima gaji sepeser pun. Setelah kontrak selesai, Dewi dikirim oleh agen ke Jakarta. Di sini, ia tidak mampu mengingat di daerah mana tepatnya ia bekerja, karena selama dua tahun bekerja ia tidak diperbolehkan keluar rumah. Selama di Jakarta Dewi tidak pernah menerima gaji karena majikan beralasan bahwa uangnya akan dipakai untuk membeli tiket Dewi pulang ke Kupang. Akhirnya setelah selesai masa kerjanya, ia pun dikembalikan ke kampung halamannya.
Di Kupang, Dewi bekerja mengolah kebunnya sambil memelihara 2 ekor babi jantan dan menjual hasil kebun di pasar. Dari usaha tersebut, Dewi dapat membangun sebuah rumah setengah tembok dan sisanya dari daun-daunan. Suatu hari, ia bertemu seorang agen yang mengajaknya untuk bekerja di Malaysia dengan iming-iming gaji besar. Setelah keluarga mendapat uang sirih pinang dari agen sebesar 2 juta rupiah, Dewi pun ikut ke kota dan bermalam beberapa hari sebelum diberangkatkan ke Medan. Di sana ia tinggal di rumah seorang agen lainnya dan tidak boleh keluar rumah. Dewi kemudian dikirim ke Batam dan tinggal di sebuah penampungan yang dijaga oleh orang-orang berbadan besar dan wajahnya menakutkan. Selama beberapa bulan ia tinggal di tempat tersebut dan ia mulai merasa takut karena mereka berlaku kasar.
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Dewi dibawa ke Malaysia naik perahu dan tinggal di agen Malaysia selama beberapa hari tanpa boleh keluar rumah. Sampai pada suatu hari, saat dibawa oleh agen untuk menemui calon majikan, Dewi mengalami kecelakaan, dan sang agen meninggalkannya dalam keadaan luka parah, karena kakinya remuk terlindas truk. Ia kemudian ditolong oleh lembaga kebajikan global untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit. Namun karena tidak memiliki dokumen apa pun dan agen yang merekrut tidak diketahui keberadaannya, Dewi ditolak oleh pihak rumah sakit. Tenaganita sebuah LSM yang mengurusi persoalan trafficking di Malaysia akhirnya dihubungi oleh lembaga kebajikan global untuk mengurus Dewi agar dapat dirawat di rumah sakit. Luka yang serius menyebabkan ia harus dirawat selama lebih dari tiga bulan. Setelah cukup pulih, Tenaganita berencana untuk memulangkan Dewi ke kampung halamannya. Namun ternyata Dewi juga mengalami gangguan ingatan akibat kecelakaan tersebut, sehingga tidak tahu harus dipulangkan ke mana. Sebagai bagian dari proses pemulihan ingatan dan membuat dia mandiri, Tenaganita memberinya sebuah pekerjaan ringan, yaitu menyuapi seorang nenek yang ada di shelter. Uang yang didapatkan atas pekerjaan tersebut sebesar 900 ringgit menjadi uang saku untuk proses pemulangannya. Karena dia tidak mampu memberitahu secara jelas alamat rumahnya, akhirnya ia diterbangkan ke Jakarta dan tinggal di sebuah rumah singgah beberapa saat untuk mendapatkan pendampingan oleh tim pendamping UTAMA yang akan membantu menelusuri kampung halaman dan menyerahkannya kepada keluarga.
Ibu Dewi tidak bisa membaca, menulis dan berhitung, namun bisa menghitung uang. Selama di rumah singgah, oleh para relawan ia sudah diajak untuk belajar membaca, menulis dan berhitung, namun ia tidak mau dan hanya mau mewarnai. Saat mewarnai, ia dominan menggunakan warna merah. Kemudian setiap
selesai mengerjakan satu kertas mewarnai, beliau akan melamun sebelum
akhirnya mengerjakan lembar lain. Moodnya juga terlihat tidak stabil. Kadang merengek ingin pulang terus, namun tiba-tiba bersemangat mengajak keluar rumah untuk berbelanja. Dari pengamatan para relawan, Ibu Dewi tidak bisa menerima perlakuan tegas. Jika ingin memintanya untuk melakukan sesuatu harus dengan nada rendah dan sedikit bercanda. Saat ia terlihat bosan dan ingin cepat pulang, para relawan akan mengulur waktu dengan berbagai cara, misalnya menyuruh ia mencuci, mandi, makan, nonton dll. Di luar itu, Ibu Dewi malas melakukan apa-apa dengan alasan kakinya sakit. Awalnya, Ibu Dewi seperti memiliki kecurigaan bahwa tim relawan adalah agen yang akan menjualnya lagi, sehingga beliau terlihat berhati-hati saat bicara. Namun seiring berjalannya waktu, ibu Dewi malah gemar bercerita walaupun ceritanya seringkali berbeda-beda.
Sementara Ibu Dewi berada di rumah singgah bersama para relawan, tim pendamping terus menggali data dan melakukan koordinasi dengan tim Kupang agar proses pemulangan berjalan lancar. Karena alamat yang diberikan selalu berubah-ubah, maka tim pendamping memutuskan untuk tetap memulangkan Ibu Dewi, dan jika kemungkinan terburuk yaitu alamat rumah Ibu Dewi tidak ditemukan, maka tim Kupang yang akan mengakomodasinya. Maka pada tanggal 18 Mei 2016, Ibu Dewi diterbangkan ke Kupang bersama seorang anggota tim pendamping dari Jakarta. Sesampai di Kupang, bersama tim pendamping lokal yang sudah siap, bersama-sama mereka mencari alamat Ibu Dewi. Jalan yang berliku-liku ditempuh oleh tim tersebut. Setelah hampir sehari penuh dan menemui berbagai macam kendala, pencarian pun akhirnya membuahkan hasil. Ibu Dewi berhasil diserahkan kembali kepada keluarganya serta pejabat desa setempat. Kepada mereka, tim pendamping berpesan bahwa mereka akan tetap memonitor untuk memastikan bahwa Ibu Dewi tidak lagi menjadi korban perdagangan orang. Pihak desa maupun keluarga perlu bekerja sama menjaga Ibu Dewi dari ancaman tersebut.