Sebagai persiapan pertemuan JCAP yang akan diadakan di Jepang pada akhir Maret 2017 nanti, Sahabat Insan mengadakan pertemuan untuk membahas lebih dalam buku "Left Behind Children". Diskusi ini dimaksudkan untuk mendapatkan tanggapan dan masukan atas buku tersebut, terutama dari kelompok yang sebagian besar selama ini berjuang untuk hak-hak perempuan Indonesia. Pertemuan ini diadakan di rumah Ibu Saparinah Sadli pada tanggal 7 Februari 2017.
Mengawali acara tersebut, Romo Ignatius Ismartono, SJ memperkenalkan Sahabat Insan kepada para undangan sebagai sebuah lembaga non-profit yang memberikan perhatiannya kepada buruh migran.
Romo Benny Juliawan, SJ sebagai editor buku "LEFT BEHIND CHILDREN" kemudian memberikan ringkasan singkat mengenai isi dan tujuan buku tersebut dibuat.
Sebagai bahan diskusi, Romo Benny kemudian menulis poin-poin yang dapat dikembangkan untuk ditanggapi sebagai berikut:
1. Mengapa buku ini
ditulis
·
Serikat
Yesus di Asia Pasifik melihat fenomena migrasi sebagai salah satu penanda zaman
ini. Kemajuan teknologi komunikasi, transportasi dan informasi memungkinkan
mobilitas manusia melintasi batas geografis dan negara secara mudah. Tapi
migrasi juga mengandung banyak resiko terutama bagi kalangan yang lemah,
termasuk pengungsi, pencari suaka dan buruh migran.
·
Ada 7
lembaga di kalangan Serikat Yesus yang bekerja untuk kelompok rentan ini: Tokyo
Migrants Desk, Yiutsari, Rerum Novarum Center, UGAT Foundation, Sahabat Insan,
JRS dan JSS Australia.
·
Buku ini
merupakan hasil kerjasama lembaga-lembaga tersebut untuk mengenali lebih dekat
persoalan terkait keluarga buruh migran. Metodenya adalah etnografis, n-kecil,
memotret kasus-kasus secara mendetil untuk memberi daging pada konsep
“transnational families”.
2. Keluarga migran
·
Asia ini
ditandai oleh migrasi secara masif. Hampir 30% populasi migran dunia ada di
Asia. Tiongkok, Filipina, Vietnam dan Indonesia menempati peringkat 25 besar
negara pengirim migran. Bangkan Tiongkok dan Filipina masuk 10 besar. Koridor
migrasi paling padat juga ada di Asia: Tiongkok ke Hong Kong (2,2 juta),
Indonesia ke Malaysia (1,4), Malaysia ke Singapura (1,1). Pekerja asing semakin
banyak: 3% Thailand, 10% Hong Kong, 21% Malaysia, 40% Singapura. Asia Pasifik
juga mempunyai 21,5 juta pekerja rumah tangga (41% dunia).
·
Rezim
migrasi tenaga kerja di Asia hanya mengenal pekerja sebagai individu, dilarang
membawa keluarga sehingga perpisahan keluarga tak terelakkan.
·
Di
Indonesia, tiap tahun sekitar 400-600 ribu orang berangkat mengadu nasib ke
luar negeri. Total ada sekitar 4-6,5 juta orang buruh migran Indonesia (BMI) di
luar negeri.
3. Keluarga transnasional
·
Keluarga
BMI mengalami praktik berkeluarga yang tidak lazim. Orangtua entah salah satu
atau keduanya terpisah dari anak. Strategi: pengasuhan jarak jauh (alat
komunikasi), pengasuhan oleh kerabat, pergantian peran gender ayah-ibu,
pengasuhan lintas generasi.
·
Keluarga
transnasional: transformasi relasi ibu-anak, relasi antargender, relasi lintas
generasi, praktik sehari-hari keluarga vs lembaga keluarga, materi sebagai
ungkapan kasih sayang.
·
Migrasi
tenaga kerja menantang lembaga keluarga tradisional. Perubahan peran, kegagapan
laki-laki, konsumerisme, pengasuhan lintas generasi, internalisasi perubahan
peran gender dalam diri anak-anak.
·
Resiko
lain: perpecahan keluarga, kehilangan orangtua
·
Apa yang
terjadi pada anak-anak buruh migran? Jutaan jumlahnya di Indonesia.
Berikut kesimpulan yang ditulis oleh Ibu R Astuti Sitanggang sebagai koordinator pertemuan tersebut:
Perpindahan Penduduk dari satu
daerah ke daerah lain telah terjadi sejak awal, dengan berbagai alasan yang
terutama untuk mempertahankan dan atau mendapat kehidupan yang lebih baik.
Gerakan migran yang lumrah ini, semakin besar dan deras selain telah melewati
batas Negara dan Samudra. Tidak lagi per-kelompok keluarga dan kelompok Desa,
namun kelompok per-orangan yang meninggalkan sebagian besar anggota keluarganya
didaerah asal. Pada saat itulah bermunculan keadaan dan kondisi yang tidak
diduga, dimulailah hambatan dan masalah, tidak hanya bagi keluarga yang
ditinggalkan, namun berkembang menjadi masalah Desa dan komunitas menjadi
masalah Bangsa dan Negara.
Tidak ada pilihan bagi keluarga
calon migran ketika lowongan pekerjaan yang tersedia adalah untuk perempuan.
Maka sebagian (besar) perempuan yang ber-migran itu meninggalkan anaknya,
bahkan sekalipun berusi 2 minggu – 2 tahun, dibawah pengasuhan dan pengawasan
suami, kakek dan nenek dari anak ataupun adik atau kakak perempuan dari pekerja
migran. Kebiasaan pribadi dan komunitas untuk mengasuh anak, dicabut begitu
saja sehingga terjadi kegamangan perempuan yang ibu ini berhubungan dengan
anaknya sehingga migran perempuan yang ibu ini, rentan akan kekerasan psykis
dari suami dan keluarga serta anaknya ketika bertumbuh besar.
Situasi ini bukan hal yang mudah
dilalui oleh pihak suami dimana keinginan menjadi pencari nafkah utama
keluarga, diserahkan kepada istri dan pihak suami memerlukan waktu dan peneguhan
untuk menjadi pengasuh tunggal dari anak dan melakukan kegiatan – kegiatan
diranah domestik. Tidak jarang suami gagal dan melakukan “kekerasan” kepada
istrinya, baik dengan cara penggunaan uang penghasilan istri secara tidak
produktif atau bahkan meninggalkan keluarganya. Hal yang sama terjadi pada
kakek dan nenek dari anak yang ditinggalkan, juga pada adik – kakak migran
perempuan yang ibu itu, bahkan terlebih lagi anak yang ditinggalkan, yang
dipaksa berkembang dan hidup dalam keluarga yang berbeda dari anak – anak lain.
Inilah yang terjadi dikomunitas
kecil, keluarga batih. Bila keadaan dan pola ini diletakkan dalam komunitas
Desa kemudian Bangsa, maka pola besar dan dampak besar akan terjadi menjadi
cara hidup baru dan budaya baru, keluarga transnasional, global care chains.
Ketika keluarga – keluarga dan masing – masing anggota keluarga migran tidak
mampu mengatasi perubahan dan berubah, maka lambat namun pasti kehancuran
bangsa akan terjadi.
Mendapati kejadian dan kisah
yang sama diberbagai tempat, perlu dan harus segera dilakukan persiapan untuk
migran perempuan yang Ibu dan pembekalan tentang yang sebaiknya dilakukan
terhadap pasangan dan anak yang akan ditinggalkan. Demikian pula halnya pada
pasangan migran perempuan, perlu persiapan dan masa transisi mengemban tanggung
– jawab sebagai pengasuh tunggal anak dan pekerjaan – pekerjaan diranah
domestik. Perlu waktu, pembicaraan dan kesepakatan pasangan dan keluarga
tentang pengurusan keluarga dan tata cara baru yang akan diterapkan agar cita –
cita dan maksud tuk ber-migran, keluarga yang berhasil dengan tingkat kehidupan
lebih baik, dapat tercapai dengan baik. Usaha ini tidak terlepas dari peran dan
andil Pemerintah dan peran kelompok – kelompok Pemerhati Swasta.
Oleh karena gerakan tuk ber-migran tidak dapat dilarang dan
tidak terhentikan, sekalipun banyak berita – berita negative, maka selain
perlunya persiapan – persiapan yang disebut diatas, cerita dan pengetahuan
tentang pekerja migran yang sukses dan anak pekerja migrant yang meraih
kesuksesan, akan membuka wawasan khususnya keluarga migran, untuk meraih dan
menjadi sukses.. Dirasa perlu untuk mengedepankan hal – hal dan cerita yang
positif agar tercipta dan terpola perubahan menuju hubungan yang harmonis
diantara Pekerja migran – pasangannya dan anak – anaknya yang kemudian akan
menciptakan keluarga – keluarga yang sehat dalam lingkaran Bangsa yang aman dan
sejahtera. Semoga ….