Wednesday, March 15, 2017

Refleksi Artikel: Perlindungan Terhadap Buruh Migran



Perlindungan Terhadap Buruh Migran
Oleh: Giasinta Angguni

Saya memilih tiga buah artikel dari Kompas dengan judul: ‘Perlindungan TKI Dimulai dari Desa’ (24 Agustus 2016); ‘RUU Perlindungan Pekerja Migran’ (9 September 2016); dan ‘Ima Matul Maisaroh: Pendekar Anti Perdagangan Manusia’ (20 Desember 2016). Ketiga artikel ini menarik perhatian saya karena saya ingin mengetahui sudah sejauh apa langkah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam melindungi warganya yang menjadi buruh migran.

Dalam artikel pertama, Desa Majasari di Kabupaten Indramayu menerapkan regulasi untuk memberi perlindungan bagi warga desa yang menjadi buruh migran. Meski kewenangan terkait TKI berada di pemerintah pusat, namun aparat desa bisa menjadi garda terdepan yang memastikan bahwa warganya menempuh prosedur yang tepat untuk menjadi TKI. Regulasi ini dibuat setelah melihat keadaan bahwa banyak warga desa Majasari yang tertipu karena menempuh jalur perekrutan tidak sesuai prosedur. Peraturan desa mewajibkan pihak perekrut (agen penyalur), pihak sponsor, serta calon TKI melapor ke desa. Selain untuk mengecek kelengkapan dokumen, aparat desa akan memastikan bahwa TKI tersebut baik-baik saja selama bekerja di luar negeri. Pihak desa juga akan membantu mengadvokasi bila ada warganya mengalami masalah saat menjadi buruh migran.  

Buat saya, ini hal yang menarik dan inspiratif. Inovasi yang dibuat oleh Desa Majasari perlu dicontoh juga oleh desa-desa lain di Indonesia. Akan lebih baik lagi jika dilakukan juga oleh pemerintah pusat.

Terkait dengan peran pemerintah, di artikel kedua saya berusaha memahami mengenai UU no 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.  Dalam UU tersebut, para buruh migran hanya dilihat dari konteks bisnis dan penempatannya oleh agen penyalur. Maka dibuatlah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI). RUU ini haruslah menempatkan para pekerja migran sebagai subyek yang berhak memperoleh perlindungan dari pemerintah Indonesia. Selain itu, RUU PPMI juga perlu membahas mengenai kewajiban pemerintah dalam mencegah dan menangani buruh migran yang pergi melalui jalur yang tidak sesuai prosedur.

Saya sungguh berharap ada langkah-langkah nyata dari pemerintah untuk terus memberi perlindungan para buruh migran agar tidak ada lagi kasus penyiksaan dan ketidakadilan yang mereka alami. 
 
Di artikel ketiga saya membaca sepak terjang Ima Matul Maiasaroh, korban human trafficking asal Kabupaten Malang. Ima diiming-imingi bekerja di AS dengan gaji yang tinggi pada tahun 1997. Saat itu umur Ima baru 17 tahun. Ia pun pergi ke AS dengan harapan dapat membantu perekonomian keluarga. Sayangnya, sampai di sana Ima justru diperbudak dan disiksa. Ia harus bekerja 12 jam tanpa digaji selama tiga tahun. Ima berhasil kabur dan mendapat perlindungan dari lembaga penghapusan perbudakan di AS. Ia pun akhirnya menjadi aktivis yang melawan perdagangan manusia. Ima pun menjadi Dewan Penasihat Gedung Putih terkait masalah human trafficking.

Pengalaman buruk Ima ketika menjadi buruh migran justru berhasil membuatnya berbuat sesuatu agar kasus tersebut tidak menimpa orang lain. Saya salut dengan kegigihan Ima dalam memperjuangkan penghapusan perbudakan.