Perlindungan Terhadap Buruh Migran
Oleh: Giasinta Angguni
Dalam artikel pertama, Desa Majasari di Kabupaten Indramayu menerapkan regulasi untuk memberi perlindungan bagi warga desa yang menjadi buruh migran. Meski kewenangan terkait TKI berada di pemerintah pusat, namun aparat desa bisa menjadi garda terdepan yang memastikan bahwa warganya menempuh prosedur yang tepat untuk menjadi TKI. Regulasi ini dibuat setelah melihat keadaan bahwa banyak warga desa Majasari yang tertipu karena menempuh jalur perekrutan tidak sesuai prosedur. Peraturan desa mewajibkan pihak perekrut (agen penyalur), pihak sponsor, serta calon TKI melapor ke desa. Selain untuk mengecek kelengkapan dokumen, aparat desa akan memastikan bahwa TKI tersebut baik-baik saja selama bekerja di luar negeri. Pihak desa juga akan membantu mengadvokasi bila ada warganya mengalami masalah saat menjadi buruh migran.
Buat saya, ini hal yang menarik dan inspiratif. Inovasi yang dibuat oleh Desa Majasari perlu dicontoh juga oleh desa-desa lain di Indonesia. Akan lebih baik lagi jika dilakukan juga oleh pemerintah pusat.
Terkait
dengan peran pemerintah, di artikel kedua saya berusaha memahami mengenai UU no
39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
Luar Negeri. Dalam UU tersebut, para
buruh migran hanya dilihat dari konteks bisnis dan penempatannya oleh agen
penyalur. Maka dibuatlah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia (RUU PPMI). RUU ini haruslah menempatkan para pekerja migran sebagai
subyek yang berhak memperoleh perlindungan dari pemerintah Indonesia. Selain
itu, RUU PPMI juga perlu membahas mengenai kewajiban pemerintah dalam mencegah
dan menangani buruh migran yang pergi melalui jalur yang tidak sesuai prosedur.
Saya sungguh berharap ada
langkah-langkah nyata dari pemerintah untuk terus memberi perlindungan para
buruh migran agar tidak ada lagi kasus penyiksaan dan ketidakadilan yang mereka
alami.
Di
artikel ketiga saya membaca sepak terjang Ima Matul Maiasaroh, korban human trafficking asal Kabupaten Malang.
Ima diiming-imingi bekerja di AS dengan gaji yang tinggi pada tahun 1997. Saat
itu umur Ima baru 17 tahun. Ia pun pergi ke AS dengan harapan dapat membantu
perekonomian keluarga. Sayangnya, sampai di sana Ima justru diperbudak dan
disiksa. Ia harus bekerja 12 jam tanpa digaji selama tiga tahun. Ima berhasil
kabur dan mendapat perlindungan dari lembaga penghapusan perbudakan di AS. Ia
pun akhirnya menjadi aktivis yang melawan perdagangan manusia. Ima pun menjadi
Dewan Penasihat Gedung Putih terkait masalah human trafficking.
Pengalaman
buruk Ima ketika menjadi buruh migran justru berhasil membuatnya berbuat
sesuatu agar kasus tersebut tidak menimpa orang lain. Saya salut dengan
kegigihan Ima dalam memperjuangkan penghapusan perbudakan.