Sebuah refleksi yang ditulis berdasarkan 3 buah artikel yang pernah dimuat di koran.
Oleh Marsiana Inggita
Ketika saya masih duduk di bangku sekolah, saya tidak mengerti betul apa itu TKI, seperti apa pekerjaannya. Setelah saya mencari tahu dengan bertanya kepada orang tua dan teman-teman saya, barulah saya mengerti mengapa banyak orang dari kalangan menengah kebawah, terutama di daerah-daerah terpencil ingin menjadi TKI. Saya teringat dengan nasib teman saya sewaktu saya duduk di bangku Sekolah Menengah. Ibu dari teman saya itu ada yang menjadi TKI. Dibenak saya, menjadi TKI itu hal yang luar biasa. Mencari nafkah sampai harus terbang ke luar negeri demi menafkahi keluarganya. Berpenghasilan besar dan berpikir pendek bahwa enak sekali bisa bekerja dan jalan-jalan ke luar negeri. Saya saja belum pernah sama sekali menginjakkan kaki ke luar negeri.
Saya hanya melihat kehidupan TKI hanya dari luar saja. Setelah saya melihat beberapa video dan artikel yang mengutip kehidupan para TKI, barulah saya merasa kaget. Ternyata apa yang mereka perjuangkan selama ini kurang mendapatkan dampak yang positif. Banyak sekali TKI dari Indonesia yang berjenis kelamin perempuan, harus meninggalkan anak dan suaminya dan diperlakukan tidak adil oleh majikan selama bekerja.
Saya sempat membaca 3 artikel yang mengutip tentang dampak negatif yang dialami oleh para TKI. Artikel pertama yang saya baca mengenai Dampak Psikologi dan Sosial yang dialami oleh keluarga yang ditinggalkan oleh para TKI.[1] Artikel ini sebenarnya bukan menjelaskan tentang kehidupan seorang TKI, melainkan keluarga para TKI. Indramayu merupakan salah satu daerah asal tenaga kerja Indonesia (TKI) terbesar, dari total sekitar enam juta orang buruh migran yang terbesar di sejumlah negara. Sebagian besar buruh migran di Indramayu adalah perempuan. Banyak resiko yang mereka alami, salah satunya jarang sekali bertemu bahkan dengan anak-anaknya. Memang kehidupan mereka semakin lama semakin berubah, semisal sudah bisa membeli rumah dan lain sebagainya.
Resiko lainnya seperti kurang lancarnya komunikasi pun
terjadi. Banyak yang menyebabkan persoalan pernikahan bahkan berujung
perceraian. Terkadang masalah para suami yang tidak bekerja pun juga memicu
hubungan pernikahan. Bagaimana dengan dampak anak-anak? Salah satu guru di PAUD
Melati, Indramayu mengatakan bahwa mereka diberikan perhatian secara khusus,
apalagi buat yang sering ditinggal kerja ayahnya. Hal seperti ini membuat para
guru memahami persoalan yang dihadapi biasanya dalam masalah belajar dan rasa
kehilangan. Tak heran jika perubahan psikologis dan sosial dapat dialami oleh
bapak dan anak yang ditinggal ibunya bekerja di luar negeri sebagai TKI.
Masalah keuangan pun terjadi pula di dalam kehidupan para
TKI ketika pulang ke tanah air. Seperti pada artikel harian Kompas, Jumat 11
September 2015 yang mengutip tentang para Mantan TKI Masih Terbelit
Kemiskinan.[2]Mereka
tak mampu mengelola uang hasil bekerja di luar negeri sehingga ketiba tiba di
tanah air, mereka terjebak untuk memenuhi kebutuhan konsumtif dan terbelit
kemiskinan. Umumnya uang hasil bekerja dipakai untuk memenuhi kebutuhan
konsumtif seperti televisi, rumah, atau sepeda motor. Sedikit TKI yang memiliki
kemampuan mengatur uang. Uang tersebut dijadikan modal usaha untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Kecelakaan Kerja juga menjadi dampak negatif yang dialami
para TKI tiap tahunnya. Banyak TKI yang meninggal bukan hanya karena kekerasan
melainkan karena kecelakaan kerja. Salah satu artikel yang saya pilih dan
tertarik untuk saya bahas adalah kasus pengiriman 4 Jenazah
TKI ke Kupang Tiap Bulan,[3]
dimana setiap bulan rata-rata empat jenazah TKI asal Nusa Tenggara Timur (NTT)
dikirim dari Malaysia ke daerah asal melalui Bandara El Tari Kupang. Mereka
meninggal di luar negeri dan disebutkan akibat kecelakaan kerja. Sebagian para
TKI tidak memiliki dokumen keimigrasian kecuali dokumen kematian yang menyertai
jenazah itu. Tetapi tidak semua TKI asal NTT yang meninggal dibawa pulang. Jika
TKI meninggal karena mengalami sakit-penyakit atau kecelakaan kerja bisa saja
dikuburkan di Malaysia. Mereka adalah anak-anak, istri, suami atau orang tua
yang ikut TKI bekerja disana. TKI yang meninggal sebagian besar adalah TKI
Ilegal yang tidak mendapatkan perlindungan keselamatan kerja yang memadai di
luar negeri.
Bagi saya, Pemerintah harus benar-benar serius
memperhatikan dampak-dampak negatif yang dialami oleh setiap TKI yang bekerja
di luar negeri, terutama dalam hal finansial dan keselamatan kerja. Ini
bertujuan agar mereka tidak terus terjerembab dalam kemiskinan selama
bertahun-tahun di luar negeri dan mendapatkan rasa aman dan selamat dalam bekerja.
[1]Sri
Lestari,”Keluarga TKI di Indramayu, rentan terkena dampak psikologi dan
sosial”,diakses dari http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/01/160124_majalah_buruhmigran_indramayu,pada
tanggal 20 Februari 2017 pukul 15.30
[3]Kompas,
30 September 2015, hlm. 17