Pada hari Jumat, 9 Juni 2017 pukul 15.00 WIB di Gedung PBNU diadakan peluncuran buku "Miqat Kebinekaan: Sebuah Renungan Meramu Pancasila, Nasionalisme, dan NU sebagai Titik Pijak Perjuangan" yang ditulis oleh A. Helmy Faisal Zaini. Peluncuran ini dihadiri oleh para pemuka lintas agama di Indonesia, yaitu Romo Agus Ulahayanan (Komisi HAK KWI), Pendeta Andreas Anangguru Yewangoe (PGI), Bhiksu Wiraduta (Budha), Romo Daniel Bambang Dwi Byantoro (Gereja Ortodoks Indonesia) dengan keynote speaker Ketua PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj. Buku ini merupakan kumpulan naskah dari penulis dalam merespons berbagai persoalan nasionalisme kebinekaan Indonesia dari sudut pandang Nahdlatul Ulama.
Acara diawali dengan penandatangan giant cover, dilanjutkan dengan penyerahan buku secara simbolis dari penulis kepada nara sumber, sambutan-sambutan, serta diskusi oleh para nara sumber yang ditutup dengan buka puasa bersama.
Sambutan diawali oleh Direktur Penerbit Erlangga Bapak Marulam Hutahuruk. Beliau mengatakan bahwa buku ini lahir oleh jiwa yang rindu akan kedamaian dalam kebinekaan, di tengah konflik SARA yang saat ini sangat kental di Indonesia. Buku ini kaya rasa karena membahas dari sisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Penulis sendiri menjelaskan, bahwa judul buku ini menggunakan kata miqat, yang dalam bahasa Arab artinya 'batas'. Miqat Kebinekaan menggabungkan antara miqat zamani (waktu) dan miqat makani (ruang). Dimensi ruang dan waktu yang bertemu menjadi kebersamaan itulah yang disebut Miqat Kebinekaan. Lebih jauh penulis mengatakan, bahwa motivasinya menulis buku ini adalah karena banyaknya gerakan yang jauh dari nilai keislaman. Di buku ini ia ingin menampilkan Islam yang ramah, merangkul dan cinta damai.
Sebagai keynote speaker, Ketua PBNU Prof. Dr. KH. Said Agil Siroj dalam kesempatan ini menegaskan bahwa keragaman agama dan budaya di Indonesia merupakan penghargaan dari Tuhan. Lahir di Indonesia, artinya sudah sengaja didesain dan disiapkan oleh Tuhan sebagai bangsa yang bineka dan ini tidak bisa ditawar. Fakta ini sudah diungkap oleh KH Hasyim Ashari, bahwa Islam dan nasionalisme harus saling memperkuat. Nasionalisme adalah bagian dari iman, karena keimanan belum sempurna kalau belum ada semangat nasionalisme. Sejak jaman dulu, NU adalah pembentuk karakter dan jati diri bangsa yang kuat dan solid, akur, gotong royong, cinta damai, tidak menebar fitnah dan kebencian. Para Ulama bergerak di akar rumput dengan menggunakan acara Tahlilan sebagai media rekonsiliasi. Terciptanya kebinekaan salah satunya karena karena para pendiri bangsa punya empati yang besar terhadap minoritas, dan kebinekaan harus dirawat agar tetap dapat dinikmati oleh generasi-generasi mendatang.
Sebagai kata penutup, seluruh perserta sepakat bahwa untuk mengatasi kondisi saat ini, yang diharapkan bukanlah bagaimana mengubah orang yang intoleran menjadi toleran, namun bagaimana orang toleran dapat menjadi agen toleransi. Narasi dalam bentuk tagline/pesan singkat juga sedang dikembangkan agar hal-hal yang disampaikan dapat ditangkap dengan mudah oleh masyarakat. Agar masyarakat tahu, bahwa Pancasila adalah sebuah perkawinan antara local wisdom dan ajaran agama sebagai sesuatu yg indah dan tidak bertentangan . Yang tidak kalah penting adalah mengingatkan bahwa Pancasila digali dari nilai-nilai bangsa, sehingga sebenarnya sudah hidup mengakar di masyarakat kita dan hanya disarikan oleh para pendiri bangsa. Negara hanya bisa mengatur secara kebijakan agar nilai-nilai tersebut selaras dengan kesepakatan kita dalam Pancasila. Oleh sebab itu, cara paling tepat untuk menghidupkan kembali Pancasila di masyarakat adalah dengan pendekatan bottom up, bukan top down. Akhir kata, semua pihak bersyukur dengan adanya NU yang sejak jaman dahulu sampai hari ini dengan gigih memperjuangkan kebinekaan. Diharapkan lembaga-lembaga keagamaan lain pun memiliki semangat yang sama sehingga dapat saling memperkuat dan membentengi diri terhadap semua pengaruh buruk yang dapat merusak kedamaian NKRI.