1. Advokasi,
2. Pelayanan Pastoral, agar hirarki paham dan peduli dengan nasib migran
3. Pemberdayaan ekonomi, agar BMI bijaksana memakai uang, dan terbentuk pusat wirausaha di desa asal BMI.
Koalisi Insan Peduli Migran di Ende melalui Kepala Desa Bapak Deni mengungkapkan bahwa, di Ende, dengan 27 paroki dan 10 titik pelayanan, terdapat 19 ribu orang yang melakukan migrasi dan yang non-prosedural mencapai 90%. Tahun 2016 telah dibentuk 9 desa ramah migran dan 1 paroki ramah migran. Pihak gereja sendiri ada yang pro dan kontra dengan gerakan ini, karena menganggap ini adalah pekerjaan koalisi. Di masing-masing desa, ada satuan tugas (satgas) yang terdiri dari para TKI purna migran dan mantan calo yang sudah insaf. Para satgas ini dikukuhkan oleh Romo Vikep Ende. Ende merupakan kabupaten yang rawan migran. Selain merupakan daerah darurat TPPO, selama tahun 2017, mereka menerima 5 jenazah yang semuanya berasal dari paroki ramah migran. Koalisi sendiri saat ini menjadi tempat pengaduan masyarakat dan rajin melakukan sosialisasi ke sekolah dan OMK. Kendala yang sering mereka hadapi adalah kesulitan untuk mendapatkan ambulance saat ada jenazah. Bahkan pernah suatu saat biaya ambulan ditanggung dengan cara patungan antara anggota koalisi. Dalam rangka Hari Migran Sedunia, pada tanggal 18 Desember 2016 lalu koalisi mengumpulkan 100 satgas untuk melihat perkembangannya. Di Ende, koalisi ini dianggap memiliki data yang valid dan sering diajak Disnakertrans untuk melakukan sosialisasi. Saat ini, sudah ada kerja sana antara kolaisi dan kepolisian serta pelabuhan, sehingga diharapkan penanganan kasus akan lebih cepat. Keuskupan Ende sendiri saat ini mengambil tema 'Perdagangan Orang', namun koalisi sendiri berada di luar struktur gereja. Pemberdayaan ekonomi sudah mulai membuat kegiatan pengolahan
kolang kaling dan pembuatan pupuk. Ada 2 desa dampingan koalisi menjadi contoh untuk desmigratif.
Romo Frans Funan, SVD kemudian menambahkan pengalaman beliau saat mengunjungi perantau kelapa sawit asal NTT di Kalimantan pada tanggal 23 Desember 2016 - 2 Januari 2017. Persoalan utama yang dihadapi di sana adalah: (1) pendidikan untuk anak-anak dan generasi muda. PT membuat sekolah tetapi tidak membuat anak menjadi cerdas. Anak tidak naik kelas dan tidak bisa baca tulis. Anak-anak yang lahir di hutan kelapa sawit merasa asing di kampungnya. Saat ini, jumah anak di sana sekitar 2000 orang. (2) Karyawan. Nasib karyawannya pun juga tidak lebih baik. Dengan gaji 700-800ribu sebulan, mereka harus membeli beras dari PT dengan harga 600ribu sekarung. Ada beberapa karyawan yang menjadi tenaga tetap, namun ada juga buruh harian yang sulit naik menjadi karyawan tetap. Buruh harian rata-rata bekerja selama 3-9 tahun. Di sana, warga NTT dianggap sebagai perantau yang hanya bawa badan dan otaknya ditinggal di kampung. Saat sebuah PT dijual, ia memberikan seluruh asetnya kepada pembeli, termasuk karyawannya. (3) Pelayanan Rohani. Di sana ada sekolah tapi tidak ada guru agama Katolik. Ada kapela tapi untuk oukumene. Persoalan iman dan pelayanan Sakramen juga memprihatinkan. Semua tenaga kerja dari NTT berstatus illegal karena tidak membawa
dokumen resmi.
Hasil evaluasi kinerja koalisi selama setahun dapat disimpulkan sebagai berikut:
Tentang
Paroki Ramah Migran:
Koalisi diberi nama Insan Peduli Migran karena banyak
orang yang terlibat dalam pelayanan tidak melulu dari gereja tetapi juga orang
yang beda iman. Koalisi ini memiliki prinsip kemanusiaan sebagai yang utama,
sehingga baik pekerja legal maupun illegal akan tetap diurus jika mereka
menjadi korban. Tindakan ini bukan berarti mendukung pekerja illegal, namun
sebagai bentuk rasa kemanusiaan yang sama untuk semua orang. Koalisi ini
membuat jaringan dengn KKPPMP dan KWI.
Dalam pelaksanaannya, Paroki Ramah Migran sendiri mengambil
konsep desa ramah migran: mendata nama, nomor telpon yang dihubungi, berapa
lama di rantau, serta ada tidaknya pasangan. Paroki ini terbuka 24 jam untuk
pengaduan. Setelah paroki menjadi paroki ramah migran, ada banyak laporan dari
umat. Beberapa kasus yang sering diterima adalah pekerja migran yang tidak bisa
pulang karena punya istri dan anak baru di tempat tujuan. Program yang sedang
disusun saat ini adalah:
·
Pemberdayaan istri migran dan anak yang amat sangat
diperlukan, karena ada perbedaan antara anak yang ditinggal bermigrasi dan anak
yang didampingi oleh orangtuanya
·
Bekerjasama dengan KOMSOS untuk membuat film pendek
tentang persoalan migrasi
·
Memiliki satgas yang terdiri atas satgas dari desa
ramah migran
·
Pemberdayaan ekonomi dilakukan kerjasama dengan
koalisi
·
Sudah melakukan sosialisasi bagi paroki
·
Kerjasama dgn RRI Ende untuk sosialisasi persoalan
migrasi setiap bulan
Hasil evaluasi kinerja koalisi selama setahun dapat disimpulkan sebagai berikut:
Kelebihan:
·
Adanya pihak yang memperhatikan nasib buruh migran,
terutama dari NTT
·
Jaringan sudah mulai terbentuk walaupun belum sempurna
· Adanya sosialisasi-sosialisasi baik melalui radio,
paroki serta OMK, untuk meningkatkan kesadaran adanya resiko bermigrasi ke
tempat lain.
· Sudah memiliki akses dengan polisi dan media jika ada
kasus-kasus migran sehingga mudah mencari solusi.
Kekurangan:
· Belum adanya dukungan dari Pemerintah/Pemda dan gereja
sendiri untuk melaksanakan gerakan ini
·
Keterbatasan dana/prasarana yang digunakan untuk
menunjang pelayanan
·
Belum semua iman, biarawan/wati merasa terpanggil
untuk karya kemanusiaan
·
Keterlibatan masyarakat terhalang oleh praktek
LSM/insentif uang
·
Jaringan menyusut
·
Adanya struktur yang kaku di gereja dan birokrat yang
menghambat jalannya pelayanan
·
Kurangnya komunikasi
·
Pemasaran hasil kerja desa dampingan
·
Masih minimnya jaringan komunitas/organisasi di negara
tujuan (Malaysia)