sumber foto: globalsistersreport.org |
Dr Angela Reed, seorang suster Mercy dari Australia, mewakili Mercy International Association / Mercy Global Action di PBB. Sebagai koordinator Mercy Global Action, ia memiliki fokus pelayanan pada perdagangan perempuan dan anak-anak. Reed memperoleh gelar doktornya di RMIT University Melbourne, Australia, dimana risetnya berfokus pada perdagangan manusia dan pengalamannya menangani korban perdagangan manusia untuk eksploitasi seksual. Dr Angela Reed telah menjadi pembicara di berbagai seminar internasional sehubungan dengan isu ini.
WACANA DOMINAN
Bagaimana perdagangan manusia dibingkai? Wacana dominan yang sering muncul saat
ini adalah tentang globalisasi, ekonomi, migrasi, gender, kejahatan yang
terorganisasi, paradigma lokal dan hak asasi manusia. Untuk beberapa orang mereka melihat
perdagangan manusia adalah melalui globalisasi, dimana perbatasan antar negara
dianggap tidak ada. Pergerakan lintas batas dilihat sebagai hubungan sebab
akibat. Literatur menunjukkan bahwa globalisasi telah menguntungkan
negara-negara kaya. Wacana lainnya adalah tentang ekonomi. Misalnya meningkatnya permintaan akan PSK
murah. Industri ini menghasilkan uang karena membeli ‘bahan baku’ murah dan
mengemasnya dengan baik, dan mengubah kerentanan menjadi menghasilkan
keuntungan. Hubungan yang melekat antara seks dan uang membuat wanita didorong
untuk bekerja di luar negeri dan mengirim uang ke rumah. Untuk itu, perlu dilihat
lebih dalam lagi pola migrasi dan akar penyebabnya, dan perlu berhati-hati dalam menggunakan paradigma ini. Wacana lain
mengatakan ini adalah fenomena gender, yang mengenali aspek dominan wanita terkait dengan diskriminasi dan
kekerasan. Paradigma PBB mengenai perdagangan orang adalah paradigma kejahatan
terorganisir dan ini merupakan masalah peradilan
pidana. Selanjutnya ada paradigma/budaya lokal yang membuat adanya alasan yang berbeda di tempat yang
berbeda akan terjadinya perdagangan orang karena latar belakang budaya.
Misalnya di Filipina, berkaitan dengan trafiking, kita dapat melakukan analisa
tentang kolonialisme, tentang Katolisitas, dan bagaimana
pandangan tentang perempuan dikemas. Di PBB, salah satu tugas yang harus
dilakukan oleh Dr. Angela Reed adalah memastikan bahwa kebijakan yang disajikan
di sana memiliki wajah hak asasi manusia, dan memiliki pendekatan personal untuk kasus per kasus.
Cebu, tempat penelitian dilakukan , adalah kota terbesar kedua di Filipina.
Kota yang indah tapi sekaligus salah satu hotspot trafiking. Pendekatan hak asasi manusia untuk trafiking akan hambar
dan tanpa arti jika tidak melibatkan inti pokok masalah dan mendengarkan suara-suara
perempuan korban perdagangan manusia. Suara mereka bukan hanya tentang hak dan
kesempatan untuk berbicara, namun juga merupakan partisipasi dari orang yang
lemah / korban untuk bersama-sama turut bekerja memerangi ketidakberdayaannya. Bukan
hanya untuk ketersediaan informasi, namun juga untuk diperhitungkan oleh negara
agar memperhatikan nasib mereka.
Kisah-kisah
perempuan, yang diceritakan dengan kata-kata mereka sendiri, mengungkapkan
penindasan yang menyeramkan dan terstruktur dari para perempuan muda yang
menjadi tempat berkembangnya perdagangan seks, memutarbalikkan visi perdagangan
manusia yang yang selama ini populer dan sensasional sebagai penculikan dan penindasan.
Alih-alih menjadi sasaran tindakan kejahatan secara acak, para wanita di I Have a Voice mengungkapkan proses kejahatan
dimulai secara lambat sejak masa kanak-kanak, pengalaman yang membuat mereka
mudah menjadi mangsa para pedagang manusia.
Selama menulis
buku ini, Dr Angela Reed menyadari sebuah kenyataan bahwa perdagangan adalah
hasil dari tindakan kumulatif yang terjadi di sepanjang kehidupan. Bagi
gadis-gadis muda yang diperdagangkan tersebut, ini bukan pertama kalinya mereka
dianiaya. Tingkat kerentanan akan berbeda sesuai dengan yang mereka alami sejak
masa kecilnya. Gadis-gadis muda ini memberi kita wawasan kunci tentang
kerentanan terhadap perdagangan manusia dan mendobrak pandangan umum bahwa
perdagangan manusia adalah tindakan kejahatan yang terjadi secara acak. Penulis
telah bertemu dengan korban perdagangan manusia, tetapi tidak ada satu pun yang
berubah. Jika kita hanya membingkai perdagangan manusia dari sisi itu, maka
akan banyak celah bagi korban untuk jatuh ke tempat yang sama. Sebagian besar
gadis muda ini adalah mereka yang telah mengalami pelecehan seksual dan fisik
sejak awal, perampasan masa kecil.
Banyak ibu harus pergi ke luar negeri. Mereka meninggalkan rumah dan meninggalkan
anak-anak dengan orang lain, sehingga anak-anak menjadi sangat rentan.
Karena edisi cetak buku ini telah habis, maka isi dari buku ini dapat diunduh di link https://www.ourcommunity.com.au/ihaveavoice
KONDISI KEHIDUPAN YANG OPTIMAL
Kondisi hidup yang optimal ditentukan
oleh tiga cluster/pengelompokan:
1 MASA KECIL
- Standar hidup yang layak, sehingga tidak memaksa anak-anak untuk meninggalkan sekolah dan mencari uang,
- Rasa kemanusiaan dan saling memiliki dalam keluarga, dengan memberikan memori baik di masa kanak-kanak mereka,
- Kualitas pendidikan, dengan memberikan pendidikan setinggi-tingginya,
- Kenyamanan, keamanan, dan kesehatan emosional,
- Hubungan sosial dan komunitas yang baik di masa kecil,
- Persamaan gender, tidak membedakan perlakuan kepada anak lelaki dan perempuan.
2. MASA REMAJA
• Kesehatan psiko-sosial dan pengembangan diri,
• Ketrampilan dan kapabilitas,
• Keterlibatan sosial,
• Pemberdayaan ekonomi.
3. MASA DEWASA
- Pekerjaan yang layak dan pemberdayaan ekonomi,
- Kebersamaan dalam komunitas dan juga kepercayaan diri,
- Penentuan jati diri,
- Rasa peduli dan kasih sayang kepada sesama.
PANDUAN
PENCEGAHAN: MARTABAT YANG MELEKAT
Upaya-upaya untuk memerangi perdagangan
manusia telah dimulai dari pandangan sempit tentang perdagangan manusia sebagai
masalah peradilan pidana, dengan fokus pelaku perdagangan dan pada tingkat yang
lebih rendah: melindungi para korban. Jarang yang memperhatikan faktor-faktor
sosial ekonomi sebagai akar masalah.
Upaya intervensi harus
bergerak ke hulu sehingga pencegahan bahaya terjadi di tempat pertama.
Undang-undang dan advokasi anti-perdagangan manusia saat ini terus memberi
terlalu sedikit perhatian pada akar penyebab dari eksploitasi ini. Kurangnya
penekanan pada pencegahan mencerminkan gagasan populer bahwa 'penyelamatan'
adalah apa yang dibutuhkan.Mengingat besarnya kekurangan sosial ekonomi di
berbagai bagian dunia, mudah untuk mengabaikan panggilan untuk strategi
pencegahan substantif yang terlalu tinggi atau tidak praktis. Tetapi kenyataan
bahwa jutaan nyawa tetap berisiko untuk perdagangan manusia menuntut kami
menerima tantangan ini. ”(Chuang p.155)
Sebagai penutup dikutip pernyataan dari Paus Fransiskus:
“Harus diakui bahwa sangat sedikit yang telah dilakukan
untuk mengatasi "mengapa" banyak anak muda ditipu atau dijual untuk
perdagangan dan perbudakan ... Permintaan dan pasokan, pada gilirannya, berakar
dalam pada tiga masalah besar konflik dan perang, ekonomi privasi dan bencana
alam, atau apa yang dialami para korban sebagai kemiskinan ekstrem,
keterbelakangan, pengucilan, pengangguran dan kurangnya akses ke pendidikan”