Tuesday, April 16, 2019

Kanisian Mengenal Migran


Pada hari Kamis, 11 April 2019 pukul 10.30 - 12.00 WIB di aula lantai 2 dan 4 dilaksanakan kegiatan Aktualita bagi para siswa Kolese Kanisius kelas X (siswa tahun pertama) dan kelas XI (siswa tahun kedua). Adapun jumlah siswa dua angkatan ini adalah sekitar 480 siswa. Aktualita kali ini dilaksanakan dengan mengusung tema migran, dengan pembicara Romo Ignatius Ismartono, SJ dan Ibu Astuti Sitanggang dari Sahabat Insan.

Acara ini dirancang sebagai pembentukan kepedulian dan kesadaran para siswa terkait isu migran, terutama yang terjadi di Indonesia. Sebagai aksi nyata, para siswa akan menyumbangkan dana APP pra-Paskah untuk mendukung kinerja mereka yang bekerja dan berjuang dalam bidang ini. Diharapkan, sharing pengalaman dari Sahabat Insan bisa membuka hati dan mata para siswa dengan isu-isu yang terjadi di sekitar mereka, terutama isu tentang nasib pekerja migran.

Romo Ismartono membuka sharing dengan memutarkan film "Minah Tetap Dipancung", sebuah film pendek berdurasi 30 menit garapan Denny JA dengan Hanung Bramantyo, yang mengisahkan tentang nasib pekerja migran wanita yang terpaksa mencari rejeki di negeri orang karena himpitan kesulitan ekonomi. Sesampai di sana, bukannya tambahan rejeki yang didapatkan, namun pelecehan seksual oleh majikan lelaki, ditambah lagi dengan tuduhan dari majikan perempuan bahwa ia menggoda suaminya. Sejak saat itu siksaan demi siksaan ia terima. Puncaknya, saat majikan lelaki hendak melakukan pelecehan seksual kembali, ia membela diri dan menyebabkan majikan lelakinya terbunuh, kemudian ia dijatuhi hukuman mati. 

Di kelas yang lain, Ibu Astuti Sitanggang menyajikan isu migran dari sisi hukum. Tema yang dibahas antara lain adalah: Regulasi Internasional tentang Migran, Peraturan di Indonesia, 9 kategori migrasi internasional dan posisi Indonesia dalam konteks migrasi Internasional. Selanjutnya, dibahas juga tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dari segi regulasi dan juga implementasinya di masyarakat. Pada akhir sesi, para siswa diajak untuk merenungkan beberapa pertanyaan: apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka yang menjadi korban, terutama korban perdagangan orang? Ada beberapa poin yang diuraikan berkaitan dengan hal tersebut:
  1. Masyarakat harus berubah dan menyederhanakan kebutuhan, mengendalikan kebiasaan dan mengendalikan nafsu makan dalam kehidupan sehari-hari;
  2. Menyiratkan untuk menghindari dinamika dominasi dan sekedar akumulasi kesenangan;
  3. Kebijakan ekonomi yang memihak keluarga. Perlu kritis dan penilaian etis atas fenomena ekonomi, sosial dan budaya yang membentuk masyarakat modern; kebebasan ekonomi tidak boleh menang atas kebebasan praktis manusia dan atas hak-haknya;  Pasar tidak boleh absolut namun menghormati perlunya keadilan;
  4. Mempromosikan penyadaran tanggung jawab dan kewajiban sisi permintaan perdagangan manusia.
  5. Program khusus pendidikan dan pendidikan mandiri yang bertujuan memperkuat kapasitas untuk pencegahan perlindungan, penuntutan dan kemitraan;
  6. Remaja didik merangkul kehidupan seksual yang bertanggung jawab dalam konteks pernikahan yang setia dan seumur hidup, rasa hormat etis terhadap orang lain, menggunakan internet dengan bijaksana, asal usul produksi barang yang dibeli;
  7. Menjadi 'ragi' dalam masyarakat: berbagi banyak keuntungan, mengubah struktur yang mencegah penciptaan korban dan membuang orang, "tidak" ke ekonomi yang membunuh menjadi "ya" ke ekonomi yang memungkinkan hidup karena berbagi, menggunakan keuntungan untuk menciptakan persekutuan.
Sebagai penutup, Ibu Astuti menekankan bahwa dunia membutuhkan tanda-tanda solidaritas yang konkret terutama pada godaan untuk bersikap acuh tak acuh terhadap sekelilingnya.