Hari ini, Jumat
(11/10/2019) aku dan Venny mengikuti diskusi Panduan Deteksi Dini Trauma pada
Korban Perdagangan Orang dan Kekerasan Berbasis Gender Lainnya yang
diselenggarakan oleh Rumah Harapan. Kegiatan ini berlangsung di Shelter Rumah Harapan. Ada 9 lembaga
yang diundang dalam kegiatan diskusi ini, yaitu LBH APIK NTT, P2TP2A NTT, Rumah
Perempuan Kupang, Lembaga Perlindungan Anak NTT, Susteran PI Kupang, PPA Polda
NTT, PPA POLRES Kupang Kota dan PPA POLRES Kabupaten Kupang.
Kegiatan ini dimulai
pukul 09.30 WITA, terlambat setengah jam dari waktu yang ditentukan dalam surat
undangan. Kegiatan dibuka dengan doa yang dipimpin oleh salah satu relawan
Rumah Harapan. Mama Ferderika Tadu Hungu. Ketua Pengurus Rumah Harapan tersebut menyapa
semua yang hadir serta mengucapkan terima kasih atas kehadiran peserta. Mama
Ferderika menjelaskan bahwa diskusi Panduan Deteksi Dini Trauma pada Korban
Perdagangan Orang dan Kekerasan Berbasis Gender Lainnya merupakan lanjutan kegiatan yang dilakukan pada bulan Juni lalu tentang Deteksi Dini Korban sebagai salah satu bentuk penguatan
kapasitas staf, relawan/pendamping. Hal ini dikarenakan staf,
relawan/pendamping berasal dari latar belakang pendidikan yang berbeda sehingga perlu untuk memiliki pengetahuan tentang Psikologi. Diskusi hari ini akan dipimpin oleh Ibu Andriyani Lay yang merupakan seorang Psikolog. Sebelum Ibu Andriyani
memulai, terlebih dahulu kami semua meneriakkan yel-yel sebagai penyemangat di
pagi hari ini dan karena beberapa yang hadir dalam diskusi hari ini tidak
mengikuti diskusi sebelumnya, maka Ibu Andriyani memberikan review pertemuan
sebelumnya yaitu tentang panduan deteksi dini trauma. Menurut Ibu Andriyani, di lapangan yang paling banyak ditangani adalah masalah stress, trauma, PTSD, depresi. Selama ini, para relawan banyak berhadapan dengan klien yang mengeluh namun belum bisa mengkategorikannya dan belum tahu penanganannya, dan hari ini Ibu Andriyani akan memberikan panduan mendeteksi dini trauma pada korban.
Yang pertama dan yang paling penting dalam mendeteksi trauma pada korban adalah
dengan mengenal para korban, misalnya latar belakang dari korban. Latar belakang
itu bisa berupa agama yang menguatkan atau budaya yang melemahkan seperti
budaya yang menganggap perempuan posisinya lebih rendah daripada laki-laki. Selain itu pengalaman yang dialami di masa lalu serta respon terhadap tantangan
merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap frekuensi dan intensitas masalah
yang dialami klien. Data diri yang dikumpulkan oleh para relawan itu memiliki
hubungan dengan permasalahan yang dialami.
Ibu Andriyani memulai
materinya yang pertama tentang stress
(distress=negatif, oestress=positif) dan trauma. Dua kata ini seringkali
disamakan namun sebenarnya berbeda. Ada kecenderengan dimana masyarakat
mendefinisikan stress sebagai suatu gangguan jiwa yang berat, oleh karena itu
perlu tahu perbedaannya sehingga bisa merujuk korban kepada professional.
Stress adalah suatu
keadaan tidak nyaman pada seseorang karena adanya perubahan dalam diri atau
lingkungan yang menuntut adanya penyesuaian pada seseorang yang mengalaminya.
Perubahannya yaitu baik dan buruk. Penyesuaian terhadap kondisi itu akan
menentukan seseorang mengalami stress atau tidak tergantung dari respon
terhadap perubahan tersebut. Stress bisa dimanifestasikan dalam pikiran, emosi,
fisik, perilaku. Kategorinya adalah ringan sampai berat dan akut sampai kronis.
Berat dan ringan itu mempengaruhi seberapa banyak aspek dari diri korban yang
terkena dampaknya. Akut adalah stress yang langsung terjadi, segera, mendadak,
tiba-tiba dan dalam rentang waktu yang singkat dan responnya pada saat itu
juga. Kronis adalah stress yang sudah berlangsung lama, jangka waktunya satu
atau dua bulan. Semakin banyak yang terganggu aspek dalam diri korban artinya
stress yang dialami semakin berat.
Trauma merujuk pada
peristiwa negatif yang mengakibatkan kesukaran/penderitaan dan
kesukaran/kesulitan itu sendiri. Trauma secara umum berarti semua pengalaman
yang menyebabkan perasaan takut, ketidakberdayaan, disasosiasi, kebingungan,
dan mengganggu fungsi dan aspek-aspek dari seseorang. Trauma terjadi karena ada
peristiwa yang dialami secara langsung, menyaksikan (tidak hanya korban),
merasakan, konfrontasi dan penyebabnya bisa berupa bencana alam, perilaku
manusia (misalnya penyiksaan) atau sakit serius yang mengakibatkan kematian
atau ancaman kematian, luka serius atau kehilangan anggota tubuh. Yang
mengalaminya adalah individu atau diri sendiri atau orang lain (keluarga,
teman, kenalan, dan lain-lain) dengan respon yang intens, berupa rasa takut,
ketidakberdayaan, kengerian/sangat ketakutan (tiga hal yang menjadi ciri khas
trauma). Trauma terjadi bila ancaman eskternal lebih besar daripada sumber daya
internal dan esksternal untuk melakukan coping (cara mengatasi stress) terhadap
ancaman tersebut. Jadi, fungsi menilai latar belakang/identitas penyintas
(klien) adalah untuk mengukur sumber daya internal dan eksternal yang dimiliki,
untuk melihat apakah dia mampu melakukan coping. Trauma merupakan suatu respon
yang normal, tergantung cara memaknai peristiwa itu. Trauma berakibat buruk
pada korban tergantung dari proses merespon dan gejala yang muncul berlangsung,
lamanya frekuensi dan intensitas yang terjadi. Respon itu ada yang aktif
(menanggapi, berupaya untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah dari aspek
yang ada dalam diri) dan ada yang menghindar (tidak mau menghadapi dan
mengatasi masalah-masalah tersebut).
Gejala respon dari
trauma adalah kognitif, emosional, tingkah laku, diagnosa gangguan (PTSD,
amnesia). Orang yang mengalami trauma hidupnya penuh dengan diisi dengan
ingatan, mimpi-mimpi, kecemasan, gelisah, dan merasa bahwa peristiwa yang
dialami seolah-olah berulang kembali. Memori dan ketegangan ingatan yang muncul
terus-menerus membentuk gejala dari Acute
Stress Disorder dan Post Traumatic
Stress Disorder. Reaksi trauma yg muncul tidak selalu negatif, ada juga
positif. Misalnya reaksi positif terhadap aspek sosial adalah terhubung secara
sosial, perilaku menolong dan mementingkan kepentingan orang lain.
Selanjutnya, Ibu
Andriyani menjelaskan perbedaan antara PTSD dan ASD. Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) adalah gangguan traumatik
paska stress, sedangkan Acute Stress Disorder
(ASD) adalah gangguan stress akut.
Kriteria Diagnostik
PTSD, yaitu:
a.
Individu mengalami peristiwa traumatis
b.
Terus menerus mengalami peristiwa traumatis, melalui ingatan
atau mimpi,
c. Terus menerus menghindari rangsangan yang berhubungan dengan
trauma dan kaku/mati rasa dalam menghadapi
d.
Gejala-gejala peningkatan ketegangan yang menetap (tidak muncul
selama trauma)
e. Durasi dari gangguan (gejala pada kriteria b, c, dan d) lebih
dari satu bulan. Penting untuk mengetahui peristiwa terjadi kapan, gejala
muncul sejak kapan dan sudah berlangsung berapa lama, untuk menentukan diagnosa
f.
Ganggungan tersebut menyebabkan distress yang signifikan secara
klinis atau merusak fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi area penting lainnya.
Reaksi fisiologisnya ada
aspek internal eksternal, yaitu:
1. Upaya menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan, tempat, aktivitas
yang berhubungan dengan trauma.
2.
Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari trauma
3.
Ditandai dengan hilangnya minat atau keterlibatan dalam
aktivitas penting
4.
Merasa jauh atau asing dengan orang lain
5.
Terbatasnya jarak afek atau perasaan (contohnya tidak memiliki
perasaan cinta)
6.
Perasaan akan masa depan suram
7.
Sulit tidur atau tetap terjaga
8.
Mudah marah atau meledak-ledak
9.
Sulit konsentrasi
10.
Waspada berlebihan
11.
Respon ketakutan yang berlebihan
Untuk melihat akut atau
kronisnya PTSD yang dialami dilihat dari durasi waktu. PTSD akut jika durasi
gejala kurang dari tiga bulan dan PTSD kronis jika durasi gejala tiga bulan
atau lebih. Penting untuk melihat korban mengalami PTSD adalah ada penundaan
gejala minimal enam bulan setelah peristiwa traumatis. Ada 3 kelompok besar
gejala PTSD, baik pada anak maupun orang dewasa, yaitu:
· Mengalami trauma yang berulang, tidak hanya melibatkan memori
yang menyakitkan namun pengalaman berulang yang dialami memiliki kualitas
gangguan di luar control
·
Secara efektif menghindari stimulus yang membangkitkan peristiwa
traumatis
· Menunjukkan gejala meningkatnya ketegangan seperti sulit tidur
atau tidak tenang, panik.
PTSD pada anak agak
sulit didiagnosis karena sulit untuk menemukan gejalanya, karena anak bisa bermain
seperti biasanya. Oleh karena itu perlu untuk mengetahui tumbuh kembang anak
sehingga bisa melihat mana respon perilaku normal dan tidak normal. Mimpi anak
yang mengalami trauma sering berubah menjadi ketakutan yang umum seperti mimpi
diserang monster. Anak seringkali memunculkan kembali peristiwa tersebut
bersama orang lain. Selanjutnya, pada anak ada acting out artinya anak bertingkah laku menunjukkan perasaan
terpendamnya. Tantangannya adalah orangtua seringkali mengatakan anak tidak
terpengaruh dengan trauma.
Berikut Kriteria
Diagnostik ASD (Acute Stress Disorder)
a.
Individu mengalami peristiwa traumatis
b. Baik sementara mengalami atau setelah mengalami peristiwa yang
menyedihkan, individu mengalami dua atau lebih gejala disosiatif.
c. Peristiwa traumatis dialami terus menerus dialami kembali.
gejala-gejala peningkatan ketegangan yang menetap (tidak muncul sebelum trauma)
d.
Ditandai dengan menghindar dari stimulus yang membangkitkan
kembalinya trauma
e.
Ditandai dengan gejala-gejala kecemasan atau meningkatnya
ketegangan
f. Gangguan terjadi secara klinis menyebabkan distress atau
ketidakmampuan sosial, lingkungan pekerjaan atau fungsi area penting lainnya
atau ketidakmampuan individu mengerjakan tugas yang dibutuhkan
g.
Gangguan berlangsung selama minimum dua hari maksimum empat
minggu
h. Gangguan bukan dikarenaka efek psikologis langsung dari zat
(rokok, alkohol, obat tertentu)
Berikut adalah
reaksi/respon/gejala disasosiatif yang ditunjukkan oleh korban dengan ASD:
1.
Mati rasa atau tidak adanya respon emosional
2.
Turunnya kesadaran akan lingkungan sekitarnya (linglung)
3.
Deperzonalitation (merasa hal-hal disekitarnya tidak nyata)
4.
Dissacociative Amnesia
5.
Muncul bayangan berulang, pikiran, mimpi, ilusi, episode flashback, atau menghidupkan
kembali peristiwa itu; perasaan tertekan mengingat peristiwa traumatis itu
PTSD dan ASD memiliki
perbedaan. Perbedaannya adalah sebagai berikut, pada ASD onset lebih cepat dan
berlangsung lebih pendek, melibatkan gejala yang lebih parah (3 gejala
disasosiatif), intensitasnya lebih kuat dari PTSD. Sedangkan pada PTSD onset
lebih lama atau ada penundaan, intensitasnya kuat.
Ibu Andriyani juga
memberikan materi tentang cara mengasesmen korban. Beliau mengatakan bahwa dalam
melakukan asesman kata kuncinya adalah fact
(fakta). Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam asesmen, yang pertama
adalah first asses yaitu melakukan
wawancara dengan pertanyaan terbuka tertutup untuk bisa menggali informasi
tentang peristiwa traumatis yang dialami, yang kedua adalah conceptualize yaitu tugas dari konselor
untuk mensintesis informasi klien. Pada saat wawancara pastikan klien yang
lebih banyak bicara dan sebagai konselor membuat kesimpulan dan menyusun
rencana penanganannya, yang ketiga adalah treat
atau penganganan
Ada dua hal yang perlu
diperhatikan saat dalam proses asesmen yaitu:
1.
Aspek kriteria stressor: identifikasi peristiwa trauma, klien
mengidentifikasi mana trauma yang paling mengganggu, menilai tentang respon
ketakutan dan ketidakberdayaan
2. Aspek fisik dan psikologis: membutuhkan waktu yang lama,
dilakukan dengan wawancara dan psikotes, kondisi medis (masalah endokrin,
trauma otak, gangguan syaraf), psikosomatis, konsumsi obat-obatan (herbal,
vitamin, suplemen)
Hal penting yang perlu
dinilai yaitu informasi tentang fungsi individu, sumber dukungan sosial, resiko
bunuh diri atau melukai diri, faktor resiko mengalami trauma (jenis kelamin,
sosial-ekonomi, kepribadian, kehadiran gangguan sebelumnya, pengalaman masa
kecil).
Pengetahuan yg didapat perlu diterapkan dalam penanganan, tidak hanya sekedar meminta data namun semua ada hubungannya dalam penanganan korban.
Pengetahuan yg didapat perlu diterapkan dalam penanganan, tidak hanya sekedar meminta data namun semua ada hubungannya dalam penanganan korban.
Selesai dengan
materinya, kami diberikan kesempatan untuk beristirahat sejenak dan menikmati snack yang disediakan. Kegiatan
dilanjutkan dengan berlatih melakukan asesmen terhadap korban untuk melihat
gejala-gejala yang dialami mengarah pada ASD, PTSD atau depresi. Mungkin ini
adalah sesi yang paling menyenangkan, karena di sini kami diperlihatkan
bagaimana seseorang yang mengalami trauma berhadapan dengan para psikolog.
Meskipun bukan korban yang sebenarnya namun disini para peserta yang lebih
berpengalaman dalam menangani korban diminta untuk berakting sebagai korban dan
sebagai konselor. Seorang ibu berperan sebagai seorang anak berusia delapan tahun
yang mengalami pelecehan seksual dan salah satu relawan Rumah Harapan berperan
sebagai Psikolog yang menangani anak tersebut, sedang kami yang lain sebagai
pengamat diberikan kertas yang merupakan daftar cek gejala gangguan PTSD, ASD,
dan Depresi serta kertas berisikan Asesmen Kebutuhan Mendesak dari Survivor. Dari wawancara tersebut kami
diminta untuk melihat trauma yang dialami oleh anak tersebut apakah PTSD, ASD,
atau depresi. Sayangnya hasil wawancara itu tidak cukup untuk melihat gejala
dari anak tersebut merujuk pada PTSD, ASD, atau trauma, sehingga dilakukan
wawancara kedua dengan Ibu Andriyani sendiri sebagai Psikolognya dan salah satu
relawan Rumah Harapan sebagai korbannya. Disini aku melihat perbedaan antara
amatir dan professional, Ibu Andriyani memberikan pertanyaan-pertanyaan lugas
namun lembut sehingga kami semua bisa sampai pada satu kesimpulan bahwa korban
mengalami Acute Stress Disorder. Meskipun sebenarnya untuk mengetahui trauma
yang dialami tidak bisa hanya dengan satu kali pertemuan atau wawancara.
Di akhir wawancaranya,
Ibu Andriyani menjelaskan bahwa saat melakukan wawancara klinis harus berfokus
pada gejala/respon dari korban dan tidak mencampurnya dengan kronologis
peristiwa yang dialami. Paling penting untuk dilihat adalah frekuensi dan
intensitasnya. Dalam melakukan wawancara, tujuan-tujuan yang bisa dijadikan
acuan untuk membuat pertanyaan adalah yang pertama untuk mengumpulkan informasi
latar belakang korban, yang kedua untuk menilai masalah psikologis, dan yang
ketiga adalah menilai relasi dengan keluarga serta sumber dukungan sosial.
Selanjutnya Ibu Andriyani menambahkan bahwa pertanyaan yang diberikan harus
sesuai dengan penanganan yang di ambil. Persiapan sebelum melakukan wawancara
itu penting dan harus mengarah pada yang ingin dicapai. Untuk hal ini memang
perlu banyak belajar dan pengenalan akan klien itu penting. Selain wawancara,
yang perlu untuk diperhatikan adalah perlu adanya catatan observasi.
Ibu Andriyani juga menegaskan
bahwa sebagai pendamping, atau sebagai orang yang membantu korban kita perlu
untuk melakukan hal menyenangkan yang dilakukan setiap harinya. Ibu Andriyani
membagikan kami kertas untuk menuliskan daftar aktivitas menyenangkan yang bisa
dilakukan setiap harinya meskipun hanya beberapa menit untuk melepaskan stress
yang dialami, karena sebagai pendamping bukan tidak mungkin tidak mengalami
stress. Kami diminta untuk menuliskan serta melakukannya. Beberapa orang
pendamping diminta untuk membacakan daftar aktivitas selama satu minggu yang
mereka buat sebagai referensi bagi yang belum menemukan aktifitas menyenangkan,
selanjutnya kegiatan ditutup dengan doa makan siang.
Laporan Jeni Lamao dari Kupang, NTT