Sentul, 5 September 2025 – Hari pertama Perayaan 10 Tahun Ensiklik Laudato
Si Indonesia (LSI) resmi dibuka di Sentul, Bogor, pada Jumat, 5 September
2025. Acara yang mengusung tema “CONNECT, LEARN & CELEBRATE” ini menyatukan
150 peserta dari 11 regio di Indonesia, menegaskan kembali komitmen umat
Katolik—dan seluruh masyarakat—terhadap "rumah kita bersama" (our
common home).
Bagi Sahabat Insan, yang turut menjadi bagian penting dalam Gerakan Laudato Si, momentum ini adalah refleksi mendalam, bertepatan dengan Tahun Yubileum 2025 (Peziarah Pengharapan) dan peringatan 800 Tahun Gita Sang Surya (Pujian Segala Makhluk) Santo Fransiskus Asisi.
Anggur Baru dalam Kantong yang Baru: Seruan Pertobatan
Ekologis
Perayaan diawali dengan Misa Pembukaan yang inspiratif, dipimpin oleh Romo
I. Ismartono, SJ. Dalam homilinya, beliau menggunakan perumpamaan Injil tentang
"anggur baru dan kantong yang baru" (Lukas 5:37-38). Ia menegaskan
bahwa Gerakan Laudato Si adalah "anggur baru" yang diberikan oleh Roh
Kudus kepada Gereja, namun anggur ini hanya akan bermanfaat jika dimasukkan ke
dalam "kantong yang baru", yaitu sebuah pertobatan mendasar dalam
cara kita hidup.
“Gerakan Laudato Si akan hilang bila dimasukkan dalam kebiasaan lama, atau
program lingkungan hidup yang lama, ada korupsi, ekonomi eksploitatif,” tegas
Romo I. Ismartono, SJ.
Beliau menekankan bahwa pertobatan ekologis harus menjadi budaya baru yang mewujudkan keadilan antar-generasi. Tanpa perubahan radikal dalam pola pikir dan gaya hidup, kita gagal dalam tanggung jawab untuk mewariskan bumi yang layak bagi anak cucu.
Pembukaan
Setelah Misa, panitia yang diwakili Agustinus Harsono dan Lilik
dari Tim Koordinasi Nasional (TKN) Laudato Si’ menyampaikan rasa syukur
atas terselenggaranya acara ini. Meski sempat mengalami keterbatasan dana dan
waktu persiapan, dukungan banyak pihak membuat acara ini tetap terlaksana.
“Ini bukan sekadar forum nasional, melainkan perjumpaan sahabat lama untuk
saling menyalakan api semangat ekologis,” ujar Lilik dalam sambutannya
Acara kemudian resmi dibuka secara simbolis dengan lingkaran bersama para
perwakilan, dipandu oleh Sr. Vincentia HK.
Sharing Komitmen dan Praktik Baik
Sesi siang dipandu oleh Sr. Dra. Vincentia HK, M.Si. Peserta dari
berbagai komunitas dan keuskupan berbagi praktik baik hasil komitmen sejak
pertemuan nasional tahun sebelumnya. Aksi nyata yang dihadirkan
antara lain:
- pengolahan
sampah dengan eco-enzym dan kompos,
- menanam pohon
dan sayuran organik,
- edukasi
lingkungan di paroki dan sekolah,
- advokasi paroki
hijau dan bank sampah,
- keterlibatan
kaum muda dalam kampanye lingkungan
Panel Pembicara: Krisis Ekologis, Migrasi Iklim dan Arah
Pastoral
Sore harinya, sesi panel menghadirkan para tokoh penting yang memberi landasan teologis, etis dan pastoral:
- Romo
Ismartono SJ: menyoroti
krisis ekologis yang melukai martabat manusia, terutama pengungsi iklim.
Ia mengingatkan Gereja untuk hadir memberi perlindungan, solidaritas dan
advokasi bagi mereka yang kehilangan rumah akibat bencana.
- Romo
Ferry SW (Eco Camp Bandung):
memaparkan Laudato Si’ Action Platform (LSAP) dengan tujuh sektor
aksi, dari perlindungan keanekaragaman hayati hingga ekonomi ekologis. Ia
menekankan perlunya sinergi komunitas global untuk menjawab jeritan bumi
dan kaum miskin.
- Romo Marthen Jenarut, Pr:
menjelaskan arah pastoral Gereja Indonesia ke depan. Ia menekankan pentingnya pastoral kolaboratif
lintas-keuskupan, gerakan lintas iman, serta dukungan terhadap komunitas
adat yang menjaga hutan dan tanah leluhur.
- Dr.
Sonny Keraf: membawakan
perspektif etika lingkungan. Ia mengingatkan bahwa krisis ekologis adalah
ancaman nyata bagi kehidupan: dari krisis air, pangan, hingga migrasi
penduduk pesisir akibat kenaikan permukaan laut. “Menyelamatkan kehidupan
berarti menyelamatkan bumi ini dengan segala isinya,” tegasnya.
Menutup hari pertama, pesan Paus Fransiskus menggema
kembali: "Krisis lingkungan adalah krisis martabat."
Perayaan 10 Tahun ini bukan sekadar merayakan dokumen, tetapi merayakan komitmen untuk menjadi agen perubahan. Komitmen ini adalah tanggung jawab moral untuk menyuarakan dan menindaklanjuti, menggerakkan umat dan masyarakat untuk menjadi pelindung martabat manusia yang paling terancam oleh kerusakan alam. Momentum Sentul ini telah menyalakan semangat bagi semua Peziarah Pengharapan untuk kembali ke komunitas masing-masing dengan gairah yang baru.
Penulis: Saraswati