Every step toward the goal of justice requires sacrifice, suffering, and struggle;
the tireless exertions and passionate concern of dedicated individuals.
(Martin Luther King, Jr.)
The Electric Brain by Ahermin ahermin.deviantart.com |
Tidak pernah
ada kata selesai bagi mereka yang memperjuangkan keadilan untuk sesama yang
termarginalkan, sekalipun perjuangan itu membutuhkan pengorbanan dan mengalami
penderitaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Martin Luther di atas.
Berdasarkan data dari Laporan Perdagangan Orang (2011), Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat memperkirakan 69% dari 6,5—9 juta pekerja migran Indonesia (PMI) adalah perempuan dan hampir setengahnya (3—4,5 juta) diindikasi sebagai korban perdagangan orang dan mayoritas bekerja di sektor domestik (pekerja rumah tangga). Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Indonesia (BNP2TKI) pada tahun 2013, melaporkan bahwa selama tahun 2012 terdapat 31.528 PMI yang bermasalah atau terjerat kasus hukum. Dari data itu dapat dikatakan bahwa permasalahan yang menimpa PMI sampai detik ini, tidak ada habisnya dan kebanyakan di antaranya tidak berujung pada penyelesaian berkeadilan bagi mereka.
Tentu sudah menjadi rahasia umum bahwa begitu banyak persoalan yang dihadapi PMI mulai dari pra-keberangkatan, keberangkatan, dan kepulangan. Oleh karena itu, sekarang ini, sebuah undang-undang sedang digodok oleh DPR RI (Komisi IX), yaitu Rancangan Undang-undang Penempatan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPILN) sebagai pengganti UU. No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN). Maka, dirumuskanlah pengaturan mengenai sistem pemberian bantuan hukum yang aksesibel dan berkualitas bagi para pekerja migran.
Dengan demikian, para pengacara publik, pendamping, masyarakat sipil di berbagai negara kawasan ASEAN, khususnya Indonesia dan Malaysia—mengingat banyak kasus perihal pekerja migran Indonesia di sana—perlu bersinergi dalam melengkapi dan membangun sistem pemenuhan hak atas bantuan hukum bagi para pekerja migran Indonesia.
Oleh karena itu, pada tanggal 22—23 Maret 2013, Jaringan Advokasi Revisi Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (JARI PPTKILN), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, American Bar Association Rule of Law Initiative (ABA ROLI), yang didukung oleh TIFA Foundation, menyelenggarakan lokakarya bertema ”Early Access to Legal Aid for Indonesia Migrant Workers”. Sekitar 20 orang dari beberapa NGO yang fokus pada persoalan buruh migran dan tergabung dalam JARI ikut hadir dan menyumbangkan pikirannya terkait RUU PPILN tersebut.
Pada hari pertama (22 Maret 2013) peserta fokus membicarakan bantuan hukum untuk PMI di negara tujuan. Awalnya, peserta diajak untuk mengerucutkan segala permasalahan yang dialami oleh PMI. Kemudian sampai pada rekomendasi dan langkah konkret yang dapat dilakukan lembaga di kemudian hari untuk mengurangi penderitaan mereka. Ada enam solusi yang akhirnya dirumuskan oleh peserta, antara lain:
Berdasarkan data dari Laporan Perdagangan Orang (2011), Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat memperkirakan 69% dari 6,5—9 juta pekerja migran Indonesia (PMI) adalah perempuan dan hampir setengahnya (3—4,5 juta) diindikasi sebagai korban perdagangan orang dan mayoritas bekerja di sektor domestik (pekerja rumah tangga). Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Indonesia (BNP2TKI) pada tahun 2013, melaporkan bahwa selama tahun 2012 terdapat 31.528 PMI yang bermasalah atau terjerat kasus hukum. Dari data itu dapat dikatakan bahwa permasalahan yang menimpa PMI sampai detik ini, tidak ada habisnya dan kebanyakan di antaranya tidak berujung pada penyelesaian berkeadilan bagi mereka.
Tentu sudah menjadi rahasia umum bahwa begitu banyak persoalan yang dihadapi PMI mulai dari pra-keberangkatan, keberangkatan, dan kepulangan. Oleh karena itu, sekarang ini, sebuah undang-undang sedang digodok oleh DPR RI (Komisi IX), yaitu Rancangan Undang-undang Penempatan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPILN) sebagai pengganti UU. No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN). Maka, dirumuskanlah pengaturan mengenai sistem pemberian bantuan hukum yang aksesibel dan berkualitas bagi para pekerja migran.
Dengan demikian, para pengacara publik, pendamping, masyarakat sipil di berbagai negara kawasan ASEAN, khususnya Indonesia dan Malaysia—mengingat banyak kasus perihal pekerja migran Indonesia di sana—perlu bersinergi dalam melengkapi dan membangun sistem pemenuhan hak atas bantuan hukum bagi para pekerja migran Indonesia.
Oleh karena itu, pada tanggal 22—23 Maret 2013, Jaringan Advokasi Revisi Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (JARI PPTKILN), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, American Bar Association Rule of Law Initiative (ABA ROLI), yang didukung oleh TIFA Foundation, menyelenggarakan lokakarya bertema ”Early Access to Legal Aid for Indonesia Migrant Workers”. Sekitar 20 orang dari beberapa NGO yang fokus pada persoalan buruh migran dan tergabung dalam JARI ikut hadir dan menyumbangkan pikirannya terkait RUU PPILN tersebut.
Pada hari pertama (22 Maret 2013) peserta fokus membicarakan bantuan hukum untuk PMI di negara tujuan. Awalnya, peserta diajak untuk mengerucutkan segala permasalahan yang dialami oleh PMI. Kemudian sampai pada rekomendasi dan langkah konkret yang dapat dilakukan lembaga di kemudian hari untuk mengurangi penderitaan mereka. Ada enam solusi yang akhirnya dirumuskan oleh peserta, antara lain:
- Pemberian informasi
- Aturan/ketentuan hukum (misalnya terkait dengan PMI yang tidak memiliki dokumen lengkap, tidak melapor, sehingga kewarganegaraannya menjadi hilang)
- SOP/aturan internal
- Sumber daya tersedia
- Substansi pembelaan
- Terkait ketidakjelasan aturan/ketentuan pidana di luar negeri, sedangkan di Indonesia tidak (sehingga tidak dapat di-ekstradisi), inkonsisten ke bawah, diskriminatif
- Proses klaim asuransi, larangan menikah
- Kerangka hukum
- Negara
- ASEAN (Asean Committee for Migrant Workers)
- Diplomasi
- Bentuk bantuan hukum
- Target kasus, pilihan BMI
- Mediasi
- Konsiliasi
- Pendampingan
- Tindakan hukum
- Mengadu/melapor
- Menggugat ganti kerugian
- Menggugat restitusi
- Merujuk kebutuhan lain
- Medis
- Konseling
- Pemberdayaan
Hari
berikutnya (23 Maret 2013), para peserta diajak untuk mengkaji RUU PPILN dan
memberikan beberapa catatan terhadap isi undang-undang yang dianggap kurang
tepat.
Pada akhirnya, semoga dengan adanya pembahasan mendalam tersebut, maka nantinya kebijakan yang ada, terutama melalui UU PPILN dapat membangun sebuah sistem serta mekanisme bantuan hukum yang aksesibel dan berkualitas bagi PMI. Tentunya peran aktif dari berbagai pihak, khususnya dari Pemerintah sangat diperlukan.
Semoga jalan ini dapat mewujudkan keadilan untuk PMI yang merupakan sebuah langkah besar yang membawa titik terang pada mendungnya cakrawala kehidupan mereka.
Pada akhirnya, semoga dengan adanya pembahasan mendalam tersebut, maka nantinya kebijakan yang ada, terutama melalui UU PPILN dapat membangun sebuah sistem serta mekanisme bantuan hukum yang aksesibel dan berkualitas bagi PMI. Tentunya peran aktif dari berbagai pihak, khususnya dari Pemerintah sangat diperlukan.
Semoga jalan ini dapat mewujudkan keadilan untuk PMI yang merupakan sebuah langkah besar yang membawa titik terang pada mendungnya cakrawala kehidupan mereka.