Kunjungan ke
rumah sakit kali ini terasa lebih istimewa. Mengapa demikian? Karena pada Jumat
(3/8) yang lalu, kami membawakan makanan bagi mereka, pasien-pasien mantan TKI,
di ruang jiwa sebuah rumah sakit di Jakarta, untuk buka bersama.
Mbak Lili dari
Peduli Buruh Migran bersyukur karena ada seorang donatur yang menyumbangkan
uang untuk berbuka puasa bersama pasien-pasien jiwa tersebut. Maka, dari pagi
dia telah pergi ke Pasar berbelanja bahan-bahan makanan untuk dimasaknya. Ketika
saya sampai di rumahnya, Mbak Ade dan dua orang tetangganya telah sibuk
membantu Mbak Lili memasak.
Ketika saya
datang, kami mulai bercerita dan dia sempat mengeluh karena semua bumbu masakan
naik dan mahal sekali. Saya lalu ikut serta membantu memasak. Kami menyiapkan
nasi dengan lauk ayam gulai, kentang kecap, tahu goreng, dan lalapan. Semua
berjumlah 40 kotak yang akan dibagikan juga untuk suster dan penjaga di ruang
jiwa tersebut.
Setelah makanan
siap di dalam kotak, bersama Suster Santi dan Mbak Lili kami pergi ke rumah
sakit membawa makanan tersebut. Ketika sampai di sana, seorang petugas dengan
wajah sumringah menyambut kami dan membawakan kantong berisi kotak makanan itu.
Pasien-pasien di
sana berganti-gantian bersalaman dan memeluk kami. Mereka sangat gembira
melihat kami datang. Mereka kemudian mengambil bangku, seperti yang biasa kami
lakukan, kami semua duduk melingkar. Suster kemudian mulai menyapa dengan menanyakan kabar mereka. Ada di antara
mereka bahkan yang menanyakan mengapa Suster Murpi, yang biasa juga datang
bersama kami tidak datang. Perhatian dari pertanyaan mereka menyentuh hati
kami.
Tak lama kemudian
Pak Kus mempersilahkan kami untuk memakan makanan-makanan itu. Ternyata, sebagian besar pasien tidak
berpuasa karena ada obat-obatan yang mereka konsumsi. Hanya tiga atau empat
orang yang berada di dalam kamar dan tidak makan.
Saat kotak
makanan tersebut dibagikan mereka secara bergantian tak henti mengucap terima
kasih kepada kami. Kegembiraan pun terlukiskan di raut wajah mereka. Secara
berkelompok mereka duduk di lantai dan makan bersama. Meskipun ada pasien yang
masih mengurung diri di ruang isolasi, ada yang tidak mau berbaur dengan kami,
dan ada yang terlihat dengan mata kosong seperti kebingungan, pasien yang
lainnya memperhatikan mereka dengan ikut membantu membagikan makanan pada
mereka. Perhatian yang mereka
berikan satu sama lain mungkin tumbuh seiring kebersamaan dan perasaan senasib.
Mungkin persahabatan antara mereka di sana, menguatkan satu sama lain.
Seorang pasien,
sebut saja Ida, sangat memperhatikan teman-temannya yang lain. Dia memberikan makanan kepada teman-teman
yang berada di dalam ruangan serta memastikan semua mendapatkan jatah makanan. Setelah
semua mendapat makanan, kami pun makan bersama makanan yang telah Mbak Lili
masak.
Kami begitu
gembira ketika sembari makan, Pak Kus bercerita bahwa telah ada 12 orang yang
sudah dinyatakan sembuh oleh dokter dan boleh pulang dari rumah sakit. Namun,
sedihnya, keluarga mereka telah dihubungi, namun belum ada satu pun yang datang
menjemput mereka.
Selesai makan,
kami kembali mengobrol dengan pasien-pasien. Seorang ibu, sebut saja Ibu Is,
yang bulan lalu kami jumpai sangat emosional dan bicara ngelantur, kini
terlihat lebih tenang dan lebih baik. Ibu Is bahkan sempat bercerita kalau dia
rindu pulang dan dapat merayakan Lebaran bersama keluarga di kampung. Tentu,
perasaan keinginan yang begitu mendalam untuk pulang ke kampung halaman,
bertemu sanak keluarga, menjadi harapan besar semua pasien, bukan hanya Ibu Is.
Ketika mengobrol
bersama, kemudian salah seorang pasien meminta Suster mengajarinya bahasa
Inggris. Lalu, lama kelamaan kami membicarakan film dan lagu-lagu India.
Seorang pasien bernama Rum kemudian menyanyikan lagu Kuch-Kuch Hota Hai yang diikuti oleh beberapa pasien lainnya.
Jadilah kemudian kami tertawa bersama mendengar mereka menyanyi dan disertai
dengan sedikit joget.
Lis kemudian ikut
serta menyanyikan sebuah tembang lagu dangdut dengan lirik agak menyedihkan.
Pak Kus pun memberi tahu kepada kami bahwa Lis berada di ruang jiwa itu untuk
yang kedua kalinya. Setelah sembuh dari pertama dia masuk ke ruang jiwa dan
kembali ke kampung, dia pergi lagi untuk bekerja di Oman, beberapa bulan
kemudian Lis dikembalikan ke Indonesia dan masuk kembali ke ruang jiwa itu.
Agak terkejut juga kami mendengar ceritanya.
Pak Kus kemudian
meminta Rini untuk menyanyi. Kami mendengar suaranya yang sedikit tidak jelas ketika melafalkan kata. Pak Kus ternyata sengaja memberi tahu
kepada kami kekurangan Rini. Menurut Pak Kus, sekalipun Rini tidak jelas
bicaranya, tapi dia pandai dan bisa menyanyikan banyak lagu.
Sebelum akhirnya
kami pamit pada mereka, sempat beberapa dari mereka bertanya kapan kami akan
datang kembali. perasaan sukacita dari raut wajah mereka sampai ke dalam hati
kami. Sekali lagi di ruang jiwa tersebut, perhatian berupa salam, senyuman, dan
cerita kembali menjadi obat yang membawa tawa di raut wajah mereka.