"Bersoraklah, seluruh Afrika! Bakhita telah kembali kepadamu: seorang puteri Sudan, yang diperdagangkan dalam perbudakan seperti sebuah barang, namun tetap bebas: bebas dengan kebebasan para kudus." (Paus Yohanes Paulus II)
Pada Tahun 1869, seorang bayi perempuan dilahirkan di sebuah desa di Darfur, Sudan, Afrika dalam sebuah keluarga kaya yang amat mengasihinya. Pada umur 9 tahun, anak perempuan itu diculik oleh para pedagang budak. Rasa takut yang mencekam dan penderitaan-penderitaan yang dialaminya menghapus sebagian ingatannya. Ia bahkan lupa akan namanya sendiri. Bakhita, yang berarti “Untung”, adalah nama yang diberikan oleh para penculiknya. Bakhita diperjualbelikan berulang kali di pasar-pasar El Obeid Dan Khartoum.
Bakhita mengalami penderitaan yang luar biasa sebagai seorang budak belian, apalagi di usianya yang masih begitu muda: ia tak pernah mendapatkan makanan yang cukup dan layak; ia tidur tanpa alas apa pun; ia digabungkan dengan budak-budak lainnya dan harus berjalan jauh melewati hutan, bukit, dan lembah sampai tiba di pasar-pasar tempat mereka akan dijual. Semua ini membuat Bakhita seringkali menangis seorang diri dan dalam tidurnya ia sering bermimpi tentang ibu dan desanya.
Dalam penderitaannya itu, Bakhita berkenalan dengan seorang gadis muda yang kira-kira seusia dengannya. Mereka akhirnya menjadi sahabat. Suatu hari mereka mencoba melarikan diri, namun sayang, usaha itu tidak berhasil dan mereka tertangkap kembali oleh para pedagang budak. Kembali Bakhita harus mengalami penghinaan, siksaan, dan perlakuan-perlakuan kasar. Pernah ia tinggal dalam sebuah keluarga keturunan Arab. “Suatu hari saya secara tidak sengaja melakukan kesalahan yang menyebabkan amarah putera majikan. Ia menjadi sangat berang. Ia merenggut saya dengan kasar dari tempat persembunyian saya dan mulai menghujani tubuh saya dengan cambuk dan tendangan kakinya. Akhirnya ia meninggalkan saya dalam keadaan sekarat, sama sekali tidak sadarkan diri. Beberapa budak menggotong saya dan membaringkan saya di atas tikar. Di sanalah saya terbaring selama lebih dari satu bulan.” Selama hampir satu bulan Bakhita tergeletak tak berdaya, tak ada yang memerhatikan dan merawatnya. Sungguh penderitaan yang amat mendalam dialami oleh gadis cilik itu.
Karena dianggap tidak dapat menguntungkan lagi, maka Bakhita pun dijual kepada orang lain. Kali ini Bakhita dijual kepada seorang jenderal Turki yang tinggal di Kordofan. Setiap hari nyonyanya menghukum Bakhita dengan lecutan cambuk dan pukulan-pukulan. Pada usia tiga belas tahun, Bakhita mengalami siksaan tatto yang mengerikan. Dalam kisah hidupnya Bakhita menuliskan pengalaman pahit itu. “Seorang wanita yang trampil dalam seni tatto datang ke rumah jenderal, dan nyonya kami berdiri di belakang kami dengan cemeti di tangan. Wanita itu membawa sepiring tepung putih, sepiring garam, dan sebuah pisau cukur. Ketika ia selesai membuat gambar-gambar, wanita itu mengambil pisau cukur dan menorehkannya di sepanjang garis-garis gambar. Garam ditaburkan di setiap luka, kecuali wajah saya. Akan tetapi enam gambar dilukis di payudara saya, dan lebih dari enam puluh gambar di perut dan tangan saya. Saya pikir saya akan segera mati, terutama ketika garam ditaburkan ke dalam luka-luka saya. Hanya karena mujizat Tuhanlah, maka saya tidak mati. Ia mempersiapkan saya untuk hal-hal yang lebih baik.”
Penderitaan yang mengerikan itu membuat Bakhita kembali mengalami kesakitan yang luar biasa. Ia terbaring lagi selama satu bulan sampai luka-lukanya mulai mengering. Namun, di sekujur tubuh Bakhita terlihat tatto yang menyerupai anyaman yang tak dapat hilang.
Dua tahun setelah melewati penderitaan yang tak terlukiskan itu, kehidupan Bakhita akhirnya mulai mengalami perubahan. Jenderal Turki, sang majikan, harus kembali ke negaranya, maka ia pun menjual sebagian budaknya, termasuk Bakhita. Kali ini Bakhita dibeli oleh seorang Konsul Italia bernama Callisto Legnani. Ia bermaksud membeli budak yang paling muda untuk dibebaskan atau ditempatkan di lingkungan yang lebih baik. Karena alasan itulah, ia pun membeli Bakhita.
Untuk pertama kalinya sejak ia diculik, Bakhita dengan gembira menyadari bahwa tidak seorang pun menggunakan cambuk ketika memberikan perintah kepadanya. Sebaliknya, ia diperlakukan dengan hangat dan ramah. Di rumah Tuan Legnani, Bakhita merasakan damai, kehangatan, dan sukacita, meskipun kadang-kadang muncul kembali ingatan akan keluarganya yang mungkin tidak akan pernah dilihatnya lagi. Bakhita merasa bahagia karena ia dianggap sebagai seorang manusia dan diperlakukan dengan penuh kasih sayang.
Dalam penderitaannya itu, Bakhita berkenalan dengan seorang gadis muda yang kira-kira seusia dengannya. Mereka akhirnya menjadi sahabat. Suatu hari mereka mencoba melarikan diri, namun sayang, usaha itu tidak berhasil dan mereka tertangkap kembali oleh para pedagang budak. Kembali Bakhita harus mengalami penghinaan, siksaan, dan perlakuan-perlakuan kasar. Pernah ia tinggal dalam sebuah keluarga keturunan Arab. “Suatu hari saya secara tidak sengaja melakukan kesalahan yang menyebabkan amarah putera majikan. Ia menjadi sangat berang. Ia merenggut saya dengan kasar dari tempat persembunyian saya dan mulai menghujani tubuh saya dengan cambuk dan tendangan kakinya. Akhirnya ia meninggalkan saya dalam keadaan sekarat, sama sekali tidak sadarkan diri. Beberapa budak menggotong saya dan membaringkan saya di atas tikar. Di sanalah saya terbaring selama lebih dari satu bulan.” Selama hampir satu bulan Bakhita tergeletak tak berdaya, tak ada yang memerhatikan dan merawatnya. Sungguh penderitaan yang amat mendalam dialami oleh gadis cilik itu.
Karena dianggap tidak dapat menguntungkan lagi, maka Bakhita pun dijual kepada orang lain. Kali ini Bakhita dijual kepada seorang jenderal Turki yang tinggal di Kordofan. Setiap hari nyonyanya menghukum Bakhita dengan lecutan cambuk dan pukulan-pukulan. Pada usia tiga belas tahun, Bakhita mengalami siksaan tatto yang mengerikan. Dalam kisah hidupnya Bakhita menuliskan pengalaman pahit itu. “Seorang wanita yang trampil dalam seni tatto datang ke rumah jenderal, dan nyonya kami berdiri di belakang kami dengan cemeti di tangan. Wanita itu membawa sepiring tepung putih, sepiring garam, dan sebuah pisau cukur. Ketika ia selesai membuat gambar-gambar, wanita itu mengambil pisau cukur dan menorehkannya di sepanjang garis-garis gambar. Garam ditaburkan di setiap luka, kecuali wajah saya. Akan tetapi enam gambar dilukis di payudara saya, dan lebih dari enam puluh gambar di perut dan tangan saya. Saya pikir saya akan segera mati, terutama ketika garam ditaburkan ke dalam luka-luka saya. Hanya karena mujizat Tuhanlah, maka saya tidak mati. Ia mempersiapkan saya untuk hal-hal yang lebih baik.”
Penderitaan yang mengerikan itu membuat Bakhita kembali mengalami kesakitan yang luar biasa. Ia terbaring lagi selama satu bulan sampai luka-lukanya mulai mengering. Namun, di sekujur tubuh Bakhita terlihat tatto yang menyerupai anyaman yang tak dapat hilang.
Dua tahun setelah melewati penderitaan yang tak terlukiskan itu, kehidupan Bakhita akhirnya mulai mengalami perubahan. Jenderal Turki, sang majikan, harus kembali ke negaranya, maka ia pun menjual sebagian budaknya, termasuk Bakhita. Kali ini Bakhita dibeli oleh seorang Konsul Italia bernama Callisto Legnani. Ia bermaksud membeli budak yang paling muda untuk dibebaskan atau ditempatkan di lingkungan yang lebih baik. Karena alasan itulah, ia pun membeli Bakhita.
Untuk pertama kalinya sejak ia diculik, Bakhita dengan gembira menyadari bahwa tidak seorang pun menggunakan cambuk ketika memberikan perintah kepadanya. Sebaliknya, ia diperlakukan dengan hangat dan ramah. Di rumah Tuan Legnani, Bakhita merasakan damai, kehangatan, dan sukacita, meskipun kadang-kadang muncul kembali ingatan akan keluarganya yang mungkin tidak akan pernah dilihatnya lagi. Bakhita merasa bahagia karena ia dianggap sebagai seorang manusia dan diperlakukan dengan penuh kasih sayang.
Tanggal 9 Januari 1890, Bakhita menerima Sakramen Pembaptisan dan memperoleh nama baru: Yosefina. Ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan sukacitanya pada hari itu. Sejak hari itu ia sering terlihat mencium bejana baptis sambil berkata, “Di sinilah, aku menjadi anak Allah!” Bakhita merasa inilah saat-saat terindah dalam hidupnya, ia menjadi anak Allah yang sangat dikasihi. Dengan bertambahnya hari, Bakhita semakin mencintai Tuhan dan semakin ingin lebih lagi mengenal Dia.
Suatu hari ketika Nyonya Michieli kembali dari Afrika untuk menjemput Bakhita, Bakhita dengan tegas dan penuh keyakinan menyatakan keinginannya untuk tetap tinggal bersama Suster-suster Canossian dan melayani Tuhan yang telah membuktikan begitu besar cinta-Nya kepadanya.
Suatu hari ketika Nyonya Michieli kembali dari Afrika untuk menjemput Bakhita, Bakhita dengan tegas dan penuh keyakinan menyatakan keinginannya untuk tetap tinggal bersama Suster-suster Canossian dan melayani Tuhan yang telah membuktikan begitu besar cinta-Nya kepadanya.
Tanggal 8 Desember 1896, Sr. Bakhita mengucapkan kaulnya kepada Tuhan yang biasa ia sapa dengan sapaan manis “Tuan!” Setelah mengucapkan kaulnya, Sr. Bakhita ditugaskan di Schio. Dengan gembira dan penuh semangat ia pun berangkat untuk menjalankan tugasnya di sana.
Selama lima puluh tahun Sr. Bakhita tinggal bersama komunitasnya di Schio, Italia. Ia melakukan pekerjaan sehari-hari, seperti memasak, menjahit, merenda, dan membukakan pintu. Jika sedang bertugas menjaga pintu, Sr. Bakhita akan dengan lembut menumpangkan tangannya yang hitam itu ke atas kepala anak-anak yang setiap hari datang untuk belajar di Sekolah Canossian dan mencurahkan perhatiannya kepada mereka. Karena kulitnya yang hitam legam, semua orang lebih suka memanggilnya “Mama Moretta” (Mama Hitam).
Suaranya yang hangat, dengan nada dan irama lagu daerah asalnya, menyenangkan hati anak-anak, menghibur mereka yang miskin dan menderita, serta membesarkan hati mereka yang datang mengetuk pintu institut. Kerendahan hati, kesederhanaan, dan senyum yang senantiasa menghiasi wajahnya, membuat semua orang suka kepadanya. Saudari-saudarinya dalam komunitas mengagumi sikapnya yang menyenangkan dan penuh dengan kasih Tuhan. Ketika perang dunia I pecah pada tahun 1915, Sr. Bakhita mendapat izin untuk ikut melayani mereka yang menjadi korban perang itu. Dengan penuh kelembutan dan kasih ia mulai menghibur, merawat, dan memberikan perhatian kepada korban-korban yang terluka itu. Karena Sr. Bakhita adalah orang Afrika, maka banyak dari mereka yang dirawat ingin tahu mengapa ia sampai di Italia. Sr. Bakhita pun dengan penuh semangat menceritakan kisah pengalaman hidupnya dan kebaikan Tuhan yang ia terima kepada mereka.
Kisah hidupnya yang istimewa menarik minat banyak orang. Mereka sangat tertarik dan semakin kagum akan kebesaran Tuhan. Maka, pada tahun 1930 diterbitkanlah sebuah buku berjudul “Kisah Ajaib”, yang merupakan biografi dari Sr. Bakhita. Buku itu pun sangat mengesankan dan memikat hati banyak orang, sehingga harus dicetak berulang kali
Sr. Bakhita semakin dikenal di mana-mana dan banyak orang mengundangnya untuk memberikan kesaksian hidupnya ini.. Namun usia yang semakin hari semakin bertambah membuat tubuh Sr. Bakhita tak luput dari sakit. Penyakit yang hebat mendera tubuhnya. Kepada mereka yang menjenguknya serta menanyakan keadaannya, dengan tersenyum ia menjawab, “Seturut kehendak Tuanku.” Selama sakit, Sr. Bakhita tidak bisa lagi pergi melayani ke mana-mana dengan bebas. Sr. Bakhita senantiasa berdoa bagi Gereja dan Afrika dari atas kursi rodanya. Itulah persembahan yang dapat ia berikan dalam penderitaannya.
Dalam penderitaannya yang hebat itu, seolah-olah Sr. Bakhita mengalami kembali masa-masa perbudakannya yang mengerikan. Lebih dari sekali ia memohon kepada perawat yang menjaganya, “Aku mohon, longgarkanlah rantainya … rantai ini sungguh berat!” Bunda Marialah yang datang membebaskannya dari penderitaannya. Menjelang ajal, Bakhita berseru, “Bunda Maria! Bunda Maria!” dan senyum di wajahnya menjadi bukti bahwa jiwanya pun telah berjumpa dengan Bunda Allah.
Setelah melewati penderitaan sakitnya itu, akhirnya Sr. Bakhita menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 8 Februari 1947 di Biara Canossian di Schio, didampingi oleh saudari-saudarinya yang berada di sekeliling pembaringannya. Jenazahnya disemayamkan di biara selama tiga hari. Orang banyak yang segera berdatangan takjub melihat tubuhnya yang tetap lemas dan tidak kaku. Para ibu mengangkat tangan Bakhita dan meletakkannya ke atas kepala anak-anak mereka, memohon berkat darinya.
Setelah wafatnya, banyak rahmat dan mujizat yang terjadi di berbagai tempat. Berita tentang kekudusannya tersebar ke seluruh benua. Ratusan surat diterima dari banyak orang yang doanya dikabulkan dengan memohon bantuan doa dari Sr. Bakhita. Maka, akhirnya Yosefina Bakhita dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 17 Mei 1992 dan dikanonisasi pada tanggal 1 Oktober 2000 oleh Paus yang sama. Hingga saat ini, St. Yosefina Bakhita adalah satu-satunya santa yang berasal dari Sudan.
"Bakhita telah meninggalkan kita dengan kesaksian tentang injili rekonsiliasi dan pengampunan, yang akan membawa penghiburan kepada orang-orang Kristen dari tanah airnya, Sudan, sehingga sangat diadili oleh konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun dan menuai begitu banyak korban. Suster Bakhita telah diberikan kepada kita oleh Tuhan sebagai seorang suster yang universal .... "- Paus Yohanes Paulus II pada kanonisasi St. Bakhita
Disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya, www.carmelia.net dan http://counterwomentrafficking.blogspot.com
Selama lima puluh tahun Sr. Bakhita tinggal bersama komunitasnya di Schio, Italia. Ia melakukan pekerjaan sehari-hari, seperti memasak, menjahit, merenda, dan membukakan pintu. Jika sedang bertugas menjaga pintu, Sr. Bakhita akan dengan lembut menumpangkan tangannya yang hitam itu ke atas kepala anak-anak yang setiap hari datang untuk belajar di Sekolah Canossian dan mencurahkan perhatiannya kepada mereka. Karena kulitnya yang hitam legam, semua orang lebih suka memanggilnya “Mama Moretta” (Mama Hitam).
Suaranya yang hangat, dengan nada dan irama lagu daerah asalnya, menyenangkan hati anak-anak, menghibur mereka yang miskin dan menderita, serta membesarkan hati mereka yang datang mengetuk pintu institut. Kerendahan hati, kesederhanaan, dan senyum yang senantiasa menghiasi wajahnya, membuat semua orang suka kepadanya. Saudari-saudarinya dalam komunitas mengagumi sikapnya yang menyenangkan dan penuh dengan kasih Tuhan. Ketika perang dunia I pecah pada tahun 1915, Sr. Bakhita mendapat izin untuk ikut melayani mereka yang menjadi korban perang itu. Dengan penuh kelembutan dan kasih ia mulai menghibur, merawat, dan memberikan perhatian kepada korban-korban yang terluka itu. Karena Sr. Bakhita adalah orang Afrika, maka banyak dari mereka yang dirawat ingin tahu mengapa ia sampai di Italia. Sr. Bakhita pun dengan penuh semangat menceritakan kisah pengalaman hidupnya dan kebaikan Tuhan yang ia terima kepada mereka.
Kisah hidupnya yang istimewa menarik minat banyak orang. Mereka sangat tertarik dan semakin kagum akan kebesaran Tuhan. Maka, pada tahun 1930 diterbitkanlah sebuah buku berjudul “Kisah Ajaib”, yang merupakan biografi dari Sr. Bakhita. Buku itu pun sangat mengesankan dan memikat hati banyak orang, sehingga harus dicetak berulang kali
Sr. Bakhita semakin dikenal di mana-mana dan banyak orang mengundangnya untuk memberikan kesaksian hidupnya ini.. Namun usia yang semakin hari semakin bertambah membuat tubuh Sr. Bakhita tak luput dari sakit. Penyakit yang hebat mendera tubuhnya. Kepada mereka yang menjenguknya serta menanyakan keadaannya, dengan tersenyum ia menjawab, “Seturut kehendak Tuanku.” Selama sakit, Sr. Bakhita tidak bisa lagi pergi melayani ke mana-mana dengan bebas. Sr. Bakhita senantiasa berdoa bagi Gereja dan Afrika dari atas kursi rodanya. Itulah persembahan yang dapat ia berikan dalam penderitaannya.
Dalam penderitaannya yang hebat itu, seolah-olah Sr. Bakhita mengalami kembali masa-masa perbudakannya yang mengerikan. Lebih dari sekali ia memohon kepada perawat yang menjaganya, “Aku mohon, longgarkanlah rantainya … rantai ini sungguh berat!” Bunda Marialah yang datang membebaskannya dari penderitaannya. Menjelang ajal, Bakhita berseru, “Bunda Maria! Bunda Maria!” dan senyum di wajahnya menjadi bukti bahwa jiwanya pun telah berjumpa dengan Bunda Allah.
Setelah melewati penderitaan sakitnya itu, akhirnya Sr. Bakhita menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 8 Februari 1947 di Biara Canossian di Schio, didampingi oleh saudari-saudarinya yang berada di sekeliling pembaringannya. Jenazahnya disemayamkan di biara selama tiga hari. Orang banyak yang segera berdatangan takjub melihat tubuhnya yang tetap lemas dan tidak kaku. Para ibu mengangkat tangan Bakhita dan meletakkannya ke atas kepala anak-anak mereka, memohon berkat darinya.
Setelah wafatnya, banyak rahmat dan mujizat yang terjadi di berbagai tempat. Berita tentang kekudusannya tersebar ke seluruh benua. Ratusan surat diterima dari banyak orang yang doanya dikabulkan dengan memohon bantuan doa dari Sr. Bakhita. Maka, akhirnya Yosefina Bakhita dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 17 Mei 1992 dan dikanonisasi pada tanggal 1 Oktober 2000 oleh Paus yang sama. Hingga saat ini, St. Yosefina Bakhita adalah satu-satunya santa yang berasal dari Sudan.
NASEHAT-NASEHAT ROHANI ST. BAKHITA
Ø Jadilah orang baik, kasihilah Tuhanmu, berdoalah bagi mereka yang belum mengenal Dia. Sungguh suatu rakhmat yang luar biasa dapat mengenal Tuhan!
Ø Aku telah menyerahkan segala-galanya kepada Tuan-ku. Ia akan memelihara aku…. Yang terbaik bagi kita ialah bukan apa yang kita pikir terbaik, tetapi apa yang Tuhan inginkan bagi kita!
Ø O, Tuhan, jika saja aku dapat terbang kepada orang-orangku dan dengan suara lantang menceriterakan kepada mereka tentang segala kebaikan-Mu: oh, betapa banyak jiwa-jiwa yang akan diselamatkan!
Ø Seandainya saja aku bertemu dengan para pedagang budak yang menculikku dan bahkan dengan mereka yang menyiksaku, aku akan berlutut dan mencium tangan mereka, karena jika semuanya itu tidak terjadi, aku tidak akan menjadi seorang Kristen seperti sekarang ini….
Ø Tuhan telah begitu mengasihiku; kita harus mengasihi semua orang….kita harus penuh belas kasih!
Ø Dengan sejujurnya aku berkata bahwa sungguh merupakan suatu mukjizat aku tidak mati, karena Tuhan telah menentukanku untuk hal-hal yang lebih besar….
Ø Jika seseorang sangat mengasihi seorang yang lain, ia akan berusaha untuk selalu dekat dengan orang yang dikasihinya itu. Jadi, mengapakah harus takut mati? Kematian membawa kita kepada Tuhan!
"Bakhita telah meninggalkan kita dengan kesaksian tentang injili rekonsiliasi dan pengampunan, yang akan membawa penghiburan kepada orang-orang Kristen dari tanah airnya, Sudan, sehingga sangat diadili oleh konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun dan menuai begitu banyak korban. Suster Bakhita telah diberikan kepada kita oleh Tuhan sebagai seorang suster yang universal .... "- Paus Yohanes Paulus II pada kanonisasi St. Bakhita
Disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya, www.carmelia.net dan http://counterwomentrafficking.blogspot.com